Hampir 4 bulan sejak pertama kalinya layanan Transjabodetabek beroperasi dari Bekasi. Dalam sekejap, layanan transportasi ini pun berubah menjadi primadona baru bagi warga pinggiran. Bagaimana tidak? Harganya yang murah, ketersediaan armada yang banyak, waktu berangkat yang hampir pasti terjadwal, serta keunggulan dapat melalui jalur Transjakarta menjadi kelebihan layanan Transjabodetabek dibandingkan bus umum biasa.
Meski sesekali halte penuh sesak, penumpang tak khawatir bus tidak mampu menampung mereka semua sebab bus-bus itu berjajar rapi di depan mata di halte Bekasi Barat. Satu jadwal bus keberangkatan penuh dan enggan berdiri? Tinggal menunggu 5 menit, mereka bisa mengikuti jadwal keberangkatan selanjutnya. Penumpang tenang, kepadatan di halte pun dapat terurai dengan mudah.
Menjelang kemerdekaan RI ke-71 kemarin, suasana sedikit berbeda tampak dari halte Bekasi Barat, tempat perhentian pertama layanan Transjabodetabek. Waktu sudah menunjukkan hampir setengah 6. Tak ada lagi bus yang mengantre di sana. Sepi. Yang ada hanya antrean manusia yang membludak di dalam halte. Ke manakah para bus Transjabodetabek yang biasanya berbaris rapi? Apa mereka tak beroperasi menjelang kemerdekaan?
Ternyata terjadi perubahan peraturan per 15 Agustus. Heran pun menghinggapi mengingat pada Senin, 15 Agustus 2016 halte Bekasi Barat masih tampak normal. Ya, sehari persis sebelum Indonesia berulang tahun, layanan Transjabodetabek kebagian mendapatkan "kado" berupa rumah alias pool baru di daerah Summarecon Bekasi. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar 6 menit (2 km) perjalanan dari halte Bekasi Barat dalam keadaan jalan yang kosong melompong. Tapi untuk menuju ke sana, jangan harap angkutan umum dapat ditemui, apalagi pada saat matahari belum muncul.
Kepindahan bus tercinta ini pun disambut dengan mencak-mencak oleh beberapa penumpang yang sudah berjejalan di halte. Kepastian yang selama ini mereka dapatkan seolah diambil paksa. Mereka harus kembali ke pola lama, menunggu tanpa tahu kapan yang ditunggu akan tiba. Halte tak lagi mampu menampung, si biru yang ditunggu tak kunjung terlihat batang hidungnya.
Lima menit menuju 10 menit. Si biru dengan cahaya oranye yang dinantikan muncul. Dia akan menuju Hotel Indonesia. Segera saja, gelombang manusia berebut masuk ke dalam bus yang hanya diisi oleh 2 orang penumpang. Tak sampai 1 menit, bangku-bangku terisi penuh dan mereka mulai berdiri di dalam bus.Â
Bus yang biasanya hanya diisi 4-10 orang dalam keadaan berdiri, kini penuh tanpa menyisakan tempat untuk orang lain ikut berdiri di dalamnya. Mungkin mereka takut menunggu tanpa kejelasan lagi. Suasana ramai yang biasa baru ditemui setelah bus memasuki Jakarta, kini bahkan tak menyisakan tempat bagi warga Jakarta untuk ikut bergabung di dalamnya.Â
Satu minggu berlalu. Moda transportasi yang tadinya nyaman perlahan-lahan keluar dari zona nyamannya. Penumpang mulai melayangkan protes kepada petugas yang berjaga di dalam bus mengadukan kondisi yang tak nyaman ini, "Harusnya jangan kaya gini. Orang dari Summarecon saja ndak ada yang naik." Tapi, protes tinggal protes. Bisikan hati kecil pun ikut memaklumi, "Ya, mau berharap apa sih dari 3.500? Sudah bagus kemarin sempet enak."
Kepindahan si biru menuju rumah barunya adalah hal yang tepat. Sama sekali tak menyalahi aturan. Malah, jika ia bertahan menempati rumah lamanya, berbaris di depan halte Bekasi Barat, itulah yang salah. Tentu saja, itu halte. Hanya sebatas tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Bukan tempat parkir.Â
Namun, itulah yang biasa terjadi di Indonesia. Masyarakatnya dibiarkan bahkan dibiasakan dengan pelanggaran di awal, setelah tercipta kenyamanan, baru dengan paksa kenyamanan itu diambil. Kita lihat saja kasus penggusuran warga. Dibiarkan menempati tanah yang dimiliki negara puluhan tahun, kemudian dipaksa pergi. Mendirikan mal sudah bertahun-tahun tanpa izin, kemudian ditutup. Terbiasa melihat bus berjajar rapi bukan di tempatnya, tiba-tiba harus menerima kenyataan bus dipindah ke tempat yang seharusnya.
Solusi apa yang bisa ditawarkan untuk mengatasi masalah penumpukan penumpang dan berkurangnya kenyamanan transportasi ini? Sebagai penumpang dan juga pengamat transportasi dadakan ala-ala, masalah penumpang yang selalu bertumpuk ini sebenarnya bisa diatasi tanpa perlu memindahkan lagi lokasi si biru.Â