“jangan pergi,,,, aku mau ngomong hal yang sangat penting ..” ucapnya dengan suara serak.
Aku berdiri dengan ragu.
Erick mengeluarkan sesuatu dari saku celana nya. Secarik kertas putih. Dia mengulurkannya padaku. Dengan ragu aku menerimanya. Sekilas itu seperti sebuah alamat.
“itu alamat rumahku dan Laura…” dia memberitahuku.
“mas mau saya antarkan pulang…?” aku mencoba menebak.
Dia menggelengkan kepalanya. “aku ingin…. Setelah aku mati nanti… kamu pergi kesana dan memberitahu mereka..”
“saya..? tapi mas, saya ndak bisa…. Bulan depan saya akan menikah dengan Mas Arya… jadi …”
“tolong….” Dia memohon.
Aku terdiam. Tidak tau harus menjawab apa, karena aku tidak yakin bisa memenuhi permintaannya.
“dan kalau nanti disana kamu bertemu dengan Laura…” dia menatap wajahku lekat. “tolong katakana padanya….. aku sayang banget sama dia… bahkan lebih dari yang dia pikir …” air matanya menetes lagi saat mengatakan itu. “aku yakin suatu hari nanti dia pasti bahagia…… tapi… katakana padanya… jangan lupakan aku…” suaranya semakin parau…. Dia menangis…. Terisak dengan bahu berguncang-guncang karena kesedihan. Tanpa sadar aku ikut menangis bersamanya. Seolah-olah bisa merasakan penderitaan yang sedang dialami nya.
Tiba-tiba seseorang masuk kedalam kamar sempit itu. Dia Arya, calon suamiku. Dia menatap kami berdua tapi tidak bertanya tentang tangisan kami. Dia berpaling padaku.