Dia selalu menatapku dari tempat duduknya. Setiap hari. Di saat pagi. Di barisan depan, tidak pernah luput. Tatapannya menghujam dada. Bahkan ketika pertama mataku bersirobok dengannya, daksaku serasa tak mampu berpijak ke bumi. Entahlah... Aku ingin berlari saja pergi atau bertahan dengan menundukkan kepala, tanpa harus lurus berhadapan dengannya begini. Apakah hanya karena perempuan berambut panjang, berkulit bersih serta berlesung pipi yang menambah degup panjang di hati, aku harus meniadakan yang telah sekian lama kulakukan tiap hari?
Perempuan itu nampak tak peduli. Tatapannya terus tajam di setiap gerak langkahku. Menghujam bagian dada terdalam. Kuambil nafas berulangkali bahkan ketika aku harus memberi pesan singkat, aku sempat tersedak dengan pandangannya itu.
Hingga ketika saat penghormatan itu tiba, perempuan berambut hitam terurai itu rupanya mulai memalingkan tatapannya dariku. Ganti ia menatap sungguh apa yang sedang kulakukan seperti yang pernah dilakukan olehNya. "Terimalah dan minumlah: Inilah piala Darah-Ku, darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku."
Ya Tuhanku dan Allaku.... Aku tiada akan menghianati Engkau. Tak akan pernah. Bahkan sehabis ini, ketika mataku kembali harus menatap matanya.... (#daksa)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H