Beberapa waktu lalu seorang adik sedang menyiapkan segala sesuatu tentang wisudaannya. Segala kebanggaan akan menyandang gelar ST ia berikan pula bagi orang tua yang selama ini mendukung penuh pendidikan serta cita-citanya. "Aku ikut wisuda ini juga karena Papa yang pengen kok, Mbak... Aku sih males. Udah cape-cape dandan, nanti diarak. Ujung-ujungnya dibanjur air. Haddduuuhhh...."
Tapi, dengan kesdaran penuh, ia mau mengikuti semua proses tersebut Kebahagiaan ini memang sangat berarti bagi orang tua serta keluarganya.
Sambil menyiapkan itu, kami berbincang ringan tentang segala cerita semasa dia kuliah. Banyak hal yang bisa ia dapat. Namun, banyak hal pula yang mengecewakan hatinya. Hal yang dia maksud itu antara lain tentang bagaimana dia sudah dilengkahi oleh adik angkatannya.
"Gile aje, adik angkatanku bakal wisuda bareng denganku," keluhnya.
"Tapi, kan kamu dapat nilai bagus dan langsung kerja," dalih saya.
"Iya sih... Dia belum tahu juga gimana..."
Meski pada akhirnya ia masih merasa dilengkahi pada akhirnya adik saya itu mengakui bahwa dia memang bisa lebih unggul dari adik angkatan yang sudah bisa wisuda bareng dengannya itu.
Tentang hal ini, saya teringat pada suatu masa ketika teman-teman seangakatan sudah banyak yang sukses. Jadi bos, punya mobil, rumah atau bahkan berkeluarga dengan sekian anak. Terselip rasa tak menyenangkan tiap kali saya ingat bahwa saya nggak ada apa-apanya dibanding mereka. Apalagi ketika tahun berganti tahun, adik-adik saya pun mencapai hal seperti teman-teman saya tersebut. Bahkan ada yang melejit pesat.
Saya sempat merasa terpuruk.
Seramnya, saya juga sempat menyalahi hidup dan Yang Di Atas sebab memilih saya seperti sekarang. Masa-masa itu adalah masa dimana saya merasa tidak berarti dan minder dengan sekeliling serta diri saya sendiri. Butuh waktu yang sungguh-sungguh menjadikan saya berusaha keras agar bisa keluar dari keterpurukan tersebut.