Alam dan leluhur menjadi salah satu acuan untuk kehidupan. Alam telah menyediakan semuanya, tinggal bagaimana cara kita menjaga dan mengolahnya. Keberadaan leluhur sangat diagungkan, karena setiap leluhur mampu menjaga dan melindungi kita dari segala marabahaya. Itulah mengapa kepercayaan sunda wiwitan masih dipegang teguh oleh masyarakat lokal, terutama Kuningan Jawa Barat.
Sunda wiwitan bukan menjadi salah satu kepercayaan yang asing di telinga kita. Keyakinan ini merupakan bentuk asli masyarakat tradisional Sunda yang percaya terhadap kekuatan alam dan leluhur.Â
Kepercayaan Sunda wiwitan berpegang teguh kepada kekuasaan tertinggi pada Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) yang memiliki kedudukan sama dengan Tuhan Yang Maha Esa. Penyebaran penganut ajaran ini terdapat dibeberapa daerah Provinsi Banten dan Jawa Barat seperti kanekes, Sukabumi, Garut, Cigugur, Kuningan.
Masyarakat sunda wiwitan selalu menanamkan diri pada Adat Karuhun Urang (AKUR) dengan berperilaku dan hidup berdasarkan ajaran adat istiadat karuhun. Keyakinan ini lebih mengarah pada kegiatan positif dimana ajaran Sunda Wiwitan mengajarkan tentang melestarikan lingkungan, perlakuan baik terhadap alam, sumber air, dan adanya perlakuan yang mulia terhadap Dewi Sri atau Dewi Padi.
Dari kehidupan masyarakat sunda wiwitan kita dapat melihat bahwa dimensi orientasi nilai dari Kluckhohn and Strodtbeck yaitu Hubungan Manusia dengan Alam: Human Subject to Nature (Manusia tunduk pada alam) sangat tertanam. Berdasarkan (Samovar, Porter, McDaniel, & dkk, 2017) menyatakan budaya Human Subject to Nature ini berorientasi pada kepercayaan dengan kekuatan yang berada di luar kendali manusia. Kekuatan tersebut adalah Tuhan, takdir, atau hal magis yang mana seseorang tidak dapat mengatasinya dan mau tidak mau harus belajar menerimanya. Budaya ini percaya bahwa alam merupakan suatu yang dasyat mengenai kehidupan manusia.Â
Masyarakat sunda wiwitan melihat bahwa alam diciptakan untuk memberikan segala kebutuhan manusia terutuma padi, oleh karenanya manusia yang harus menjaga alam dengan baik demi keberlangsungan hidup.Â
Tidak hanya itu, hal magis terlihat dalam budaya sunda wiwitan ini dimana mereka masih kental dengan kepercayaan para leluhur. Semua aktivitas yang akan dilakukan pasti diawali dengan meminta perlindungan para leluhur dengan tujuan niat baik akan berjalan dengan baik pula.
Ternyata, budaya kolektivitas dari Hofstede ini pun ikut membentuk masyarakat sunda wiwitan. Budaya kolektif ini memerlukan ketergantungan emosi yang lebih bessar dibanding dengan masyarakat indiviualisme (Samovar, Porter, McDaniel, & dkk, 2017).Â
Pada budaya ini pun setiap individu menganut keyakinan yang sama yang telah ditentukan kelompok daripada memiliki keyakinan yang membedakan diri dari kelompok, yaitu keyakianan Ajaran Djawa Sunda (ADS) yang dianut secara turun temurun. Norma -- norma sosial dan tugas/kewajiban nya ditentukan oleh kelompok daripada sesuatu untuk mendapatkan kesenangan. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat sunda wiwitan yang memiliki tugas/kewajiban dalam menjaga alam yang telah diberikan oleh Hyang Kersa, dan tetap menjaga hubungan yang intens kepada para leluhur serta tidak hidup mewah karena terbawa oleh faktor duniawi.
Kepentingan kelompok pada masyarakat sunda wiwitan sangat erat. Merka akan selalu melakukan ritual bersama untuk menjaga hubungan dengan leluhur, merka pun selalu bekerjasama dalam menjaga alam. Kelompok sunda wiwitan menjadi sebuah kelompok kecil yang tetap memegang erat kebersamaan.