Dalam Storey (2018: 1), Raymon Williams menyebut budaya sebagai salah satu dari dua atau tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris. Ia mengajukan tiga definisi luas, pertama budaya dapat digunakan untuk merujuk sebuah perkembangan umum intelektual, spiritual, dan estetika. Lalu yang kedua, budaya dapat digunakan untuk merujuk pada sebuah cara hidup tertentuk baik dari seseorang, periode, ataupun kelompok. Kemudian yang terakhir, William mengatakan bahwa budaya dapat digunakan untuk merujuk karya-karya dan praktik dari intelektual dan terutama aktivitas artistik. Dengan kata lain, dalam konteks ini, budaya mengacu pada pada teks-teks dan praktik-praktik yang fungsi utamanya adalah untuk menyimbolkan, menghasilkan, atau menjadi kesempatan untuk menghasilkan makna.
Merujuk dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh Williams, kebudayaan itu berkaitan erat dengan intelektual dan juga estetika. Seiring bertambahnya zaman, terutama di masa globalisasi seperti saat ini tentu produk intelektual dan estetika turut mengalami perkembangan. Teknologi yang makin canggih membuat seluruh informasi yang ada di dunia mudah diakses oleh khalayak meski lintas negara. Manusia kini dapat melakukan komunikasi dengan mudah walau terpisah oleh jarak. Kemudahan akses ini juga memudahkan adanya pertukaran budaya, terlebih dalam bidang estetika. Hal ini yang menyebabkan mengapa generasi muda senang mengonsumsi budaya dari negara lain. Dalam Jayadi (2022:72), disebutkan alasan mengapa budaya konsumen dan pasca modernisme merupakan fenomena yang terjalin erat, antara lain karena globalisasi kini menggeser dunia Barat serta kategori filosofisnya dari jagat raya dan pertumbuhan penampilan dan status budaya pop yang makin cepat karena media elektonik menunjukkan tidak relevannya lagi pemisahan antara budaya rendah dan budaya tinggi.Â
Budaya popular atau yang kerap disebut budaya pop dalam Storey (2003:10) oleh William diartikan sebagai budaya yang banyak digemari dan karya yang dibuat untuk membuat penikmatnya senang. Konsep budaya pop ini merupakan anti tesis dari budaya tinggi (high culture) yang memang tidak dapat disatukan dengan kriteria budaya tinggi. Budaya pop sendiri terdiri dari berbagai macam, baik itu musik, film, pakaian, sampai drama atau serial TV. Salah satu budaya pop yang banyak digemari masyarakat Indonesia saat ini adalah serial drama, terutama serial drama Korea Selatan. Perkembangan pesat industri ini yang juga mudah diakses oleh siapa pun membuat budaya-budaya populer dari Korea Selatan mudah mempengaruhi penontonnya.Â
Salah satu serial drama Korea Selatan yang banyak digemari oleh masyarakat khususnya anak muda di Indonesia saat ini adalah The Glory. The Glory merupakan sebuah serial drama Korea Selatan yang bertemakan balas dendam oleh seorang karakter utama bernama Moon Dong Eun yang diperankan oleh Song Hye Kyo. Drama ini menceritakan bagaimana karakter utama mengalami perundungan selamat masa SMA-nya sampai ia harus keluar dari sekolah. Setelah tumbuh besar, akhirnya sang karakter utama menyusun rencana untuk balas dendam ke para pelaku yang juga teman sekolah sekolahnya dulu. Ketenarannya terbuktikan dengan keberhasilannya menduduki peringkat pertama untuk konten TV tidak berbahas Inggris di 79 negara, termasuk Indonesia.Â
Fenomena perundungan yang diangkat oleh serial drama ini tentu tidak hanya lahir dari sebatas imajinasi penulis saja, namun juga cerminan realita sosial atau disebut dengan culture as mirror (budaya sebagai cermin). Dalam Griswold (2013:23) dijelaskan bahwa asumsi dibalik dari wacana budaya sebagai refleksi adalah budaya mencerminkan realitas. Maka, makna dari objek budaya tertentu berdasrkan pada struktur sosial dan pola sosial yang dicerminkan. Kebanyakan orang percaya, misal, kekerasan dan penganiayaan yang ditayangkan di televisi merefleksikan kekerasan dan penganiayaan yang memang ada di masyarakat. Menurut teori refleksi, kita akan berekspetasi bahwa kekerasan di televisi, dengan memperhitungkan jeda waktu tertentu, akan naik dan turun sejalan dengan tingkat kekerasan dalam kehidupan nyata. Hal ini pun dibuktikan di dalam serial drama Korea Selatan, yakni The Glory yang sebagian dari ceritanya berdasarkan kisah nyata. Melansir dari CNN Indonesia, adegan pada episode 1 ramai dibahas oleh penonton karena menampilkan sebuah adegan yang diangkat dari sebuah kisah nyata. Setelah diisut, adegan itu menyerupai sebuah kasus perundungan yang dilaporkan pernah terjadi di Korea Selatan pada tahun 2006 lalu. Dari laporan BBS News, aksi perundungan itu terjadi di salah satu sekolah di daerah Cheongju. Â Bahkan menurut laporan Tempo.co, seorang komisari sekolah Korea Selatan menyatakan bahwa kekerasan di sekolah yang terjadi di kehidupan nyata jauh lebih kejam dari adegan serial drama The Glory.Â
Refleksi fenomena perundungan ini pun tidak hanya dicerminkan di serial drama The Glory, namun sudah banyak diangkat baik di serial drama atau film lainnya seperti di serial drama True Beauty, Angry Mom, Class of Lies, dan sebagainya. Tanggapan dari penonton pun beragaman, umumnya para penonton menjadi marah karena aksi-aksi yang dicerminkan dalam TV, terlebih setelah mereka mengetahui bahwa adegan-adegan yang ditayangkan merupakan cerminan dari kasus yang benar terjadi di kisah nyata. Di lain sisi, The Glory juga meninkatkan kepekaan masyarakat terhadap fenomena ini dan juga mendorong para korban untuk berani berbicara atas kisah mereka. Sejak ditayangkannya The Glory, bahkan korban yang menuntut keadilan melalui media sosial mengenai pengelamannya saat dirundung dahulu.
Industri serial drama Korea Selatan ini menjadi bukti adanya komersialisasi kebudayaan, hal ini pun berkaitan dengan perkembangan kapitalisme pada masyarakat. Paul Hirsch menciptakan sebuah skema khusus yang memberikan gambaran bagaimana suatu sistem industri kebudayaan dapat berlangsung masyarakat masa kini. Pertama, dimulai dari sub-sistem teknikal, yang mana pada contoh kasus serial drama Korea Selatan The Glory ditunjukkan oleh penulis yang menghasilkan gagasan kebudayaan atau menulis cerita dari drama tersebut. Kemudian dari hasil karya penulisannya disaring oleh organisasi industri kebudayaan dalam sistem manajerial yang mana ditunjukkan dengan Netflix yang menjadi rumah produksi dari The Glory. Kemudian dalam sub-sistem institusional yakni bagaimana The Glory menentukan tanggal penayangan dan promosi yang dilakukan agar orang tertarik dan bertahan di dalam pasar. Setelah dipasarkan, serial drama Korea Selatan The Glory akan menyeleksi produk tersebut, apakah mereka ingin menerima produk tersebut atau tidak yang mana dapat dilihat dari umpan balik masyarakat. Dalam hal ini, nyatanya The Glory diterima oleh masyarakat, baik masyarakat Korea Selatan ataupun penjuru dunia. Bahkan, memunculkan fenomena di media sosial dalam penuntutan keadilan atas perundungan.
Kebudayaan tidaklah hadir dari ruang kosong, bahkan kebudayaan dapat disebut sebagai cermin yang merefleksikan realitas sosial. The Glory menjadi salah satu bukti cerminan keadaan sosial di masyarakat Korea Selatan, tak hanya itu ia juga menjadi bukti bahwa budaya kini sudah terindustrialisasi yang berarti mengkomersilkan budaya. Indonesia sendiri menjadi salah satu pasar yang memberikan kesempatan besar bagi produk kebudayaan Korea Selatan ini.
REFERENSI
Jayadi, Suparman. (2022). Konsep Dasar Sosiologi Budaya: Definisi dan Teori. Yogyakarta: Pustaka Egaliter.
Griswold, Wendy. (2013). Cultures and Societies in A Changing World. Sage.