Mohon tunggu...
renita sukma melati
renita sukma melati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UNJ

Pendidikan Sosiologi FIS UNJ 2020 Kelas B

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bungkamnya Korban Kekerasan Seksual di Kampus dalam Pandangan Interaksionisme Simbolik George H. Mead

26 Desember 2021   21:34 Diperbarui: 26 Desember 2021   22:28 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan pada dasarnya merupakan hak bagi semua orang dan seharusnya tidak dibatasi oleh latar belakang ekonomi, letak geografis, gender, atau lainnya. Dalam hal ini pendidikan dapat ditempuh melalui pendidikan formal, nonformal, serta informal. Salah satu bentuk dalam penerapan pendidikan formal adalah sekolah dan perguruan tinggi. Akan tetapi, sampat saat ini masih banyak terjadi ketidaksetaraan dalam ruang pendidikan, khususnya bagi kaum perempuan. Sampai saat ini, kedudukan perempuan dalam masyarakat masih di bawah kekuasaan laki-kali di mana umumnya masyarakat menomorduakan perempuan. Maka kedudukan yang timpang ini membatasi kemerdekaan perempuan. Fenomena yang kerap kali terjadi sampai dewasa ini yakni bagaimana perempuan kurang dihargai bahkan belum banyak kesempatan perempuan untuk berperan sentral di berbagai bidang. Bahkan, masih ada orang tua menyekolahkan anak laki-laki setinggi-tingginya, namun anggapan orang tua terkotakkan bahwa perempuan dalam kehidupan hanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang tak perlu di menempuh pendidikan tinggi-tinggi.


Tantangan bagi perempuan tidak hanya dalam akses terhadap pendidikan, bahkan ketika menjalaninya pun perempuan kerap kali menemui kesulitannya tersendiri. Salah satunya, perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual di ruang akademis, seperti sekolah atau kampus. Dilansir dari Kumparan.com, berdasarkan data yang didapatkan oleh Komnas Perempuan sepanjang 2020, diketahui 2.389 kasus kekerasan dan 53% di antaranya adalah kekerasan seksual. Di tahun 2020 ada lebih dari 67 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Baik itu dari mahasiswa ke mahasiswa, dosen ke mahasiswa, dosen ke dosen, atau karyawan dan pekerja lain. Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan Kemendikbudristek, diketahui bahwa 70% mahasiswa, civitas akademika, tenaga pendidik, hingga karyawan menyatakan kasus kekerasan seksual memang terjadi di kampus.


Kasus kekerasan seksual di kampus yang terlaporkan seperti puncak dari gunung es, tidak semua korban dari kekerasan seksual di Indonesia berani melaporkannya. Berdasarkan laporan yang dilakukan oleh ValueChampion, perusahaan riset di Singapura, ditemukan bahwa Indonesia merupakan negara paling berbahaya kedua bagi perempuan. Banyak dari korban yang tidak ingin melapor karena takut mendapatkan stigma atau pandangan buruk dari masyarakat. Melansir dari Tirto.id, pelaku kekerasan dan pelecehan seksual di kampus beragam sekali. Mulai dari dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus. Dalam laporan Tirto, dari 174 penyintas sebanyak 129 penyintas menyatakan mereka pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan. Juga, kurang dari 20 persen dari para penyintas yang berani melaporkannya. Hal ini karena merasa malu, takut, minimnya bukti, dan khawatir dianggap berlebihan. Bahkan, tidak lama ini, sebuah kasus pelecehan oleh dosen berinisial DA di suatu universitas negeri di Jakarta ramai diperbincangkan di media sosial. Diketahui bahwa pelaku mengirim pesan tidak senonoh pada mahasiswinya, bahkan ternyata hal ini telah terjadi sejak lama. Laporan ini kemudian ditanggapi dengan dinonaktifkannya dosen tersebut.


Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kasus kekerasan seksual seperti puncak gunung es. Banyak korban yang memilih bungkam karena merasa tidak terjamin keamanannya. Hal ini dapat terjadi karena masih kentalnya budaya patriarki. Dalam penelitian mengemukakan bahwa budaya patriarki memposisikan lakilaki sebagai pihak yang gagah dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan hal ini yang menyebabkan tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia (Bunga, wilodati, dan Udin, 2021). Korban sering kali justru disalahkan atau lebih dikenal dengan istilah victim blaming. Tidak jarang pelaku yang dominan laki-laki dijustifikasi perbuatannya karena menganggap apa yang mereka lakukan itu normal karena memiliki libido tinggi. Menurut padangan interaksionisme simbolik, dalam budaya patriarki interaksi yang terbentuk membentuk suatu simbol, yakni bahwa lelaki adalah simbol maskulinitas yang lebih kuat dari perempuan. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) di mana individu tersebut menetap.  Oleh karena itu pelecehan diwajarkan karena dianggap normal dan wajar. Hal tersebut terlihat bagaimana ketika korban dari dosen DA mencoba melaporkannya, tetapi ditanggapi dengan pernyataan bahwa perkataannya hanya sebuah candaan. Dalam hal ini interaksi antar masyarakat memengaruhi bagaimana mereka berpikir dan memaknai sesuatu. Interaksi masyarakat dalam budaya patriarki membuat individu menganggap perkataan-perkataan senonoh dari dosen DA itu merupakan sebuah candaan.


Kasus kekerasan seksual di ruang pendidikan menunjukkan kurangnya ruang aman bagi perempuan. Seperti yang dikatakan Mead, manusia bukanlah binatang karena manusia memiliki anugerah akal dan pikiran. Manusia dapat memodifikasi atau membuat perubahan simbol. Maka, sebagai individu (Self) kita perlu memodifikasi simbol tersebut, yakni melepaskan budaya patriarki dalam interaksi sosial. Terlebih dalam ruang akademis yang sejatinya merupakan tempat aman bagi seluruh manusia mendapatkan pengetahuan.

Refrensi Bacaan
Siregar, N. S. S. (2012). Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. Perspektif, 1(2), 100-110.
Shopiani, B. S., Wilodati, W., & Supriadi, U. Fenonema Victim Blaming pada Mahasiswa terhadap Korban Pelecehan Seksual. SOSIETAS, 11(1), 940-955.
Zahra, Wan Ulfa Nur. 2019. Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota. https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW (diakses pada 25 Desember 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun