Dewasa ini, terjadi kehebohan di kalangan publik ketika diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terkait Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 yang diajukan pada tanggal 14 November 2022. Salah satu isu yang mencuat adalah mengenai bocoran putusan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang menyebutkan kemungkinan penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 jika MK memutuskan untuk menggunakan sistem proporsional tertutup. Permohonan uji materi ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Meskipun delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI menolak penggunaan sistem proporsional tertutup, seperti yang dinyatakan oleh partai-partai seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasional Demokrat, PAN, PKB, PPP, dan PKS, terdapat beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pengajuan permohonan tersebut. Mereka berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menekankan kemenangan individu dalam pemilu, sedangkan seharusnya kompetisi terjadi antara partai politik. Mereka juga menyoroti beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3).
Setelah melalui 16 kali sidang, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, membacakan amar putusan yang menyatakan penolakan, "Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman pada hari Kamis (15/6/2023).
Hal ini berarti bahwa dalam Pemilu 2024, pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon legislatif (caleg) secara langsung agar dapat menjadi anggota dewan. Indonesia sendiri telah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2004. MK dengan tegas menyebutkan keunggulan dari sistem proporsional terbuka.
Dengan sistem proporsional terbuka, proses pemilihan menjadi lebih sederhana dan mudah, serta memastikan bahwa mereka yang memperoleh dukungan terbanyak dari rakyatlah yang berhak terpilih. Meskipun hasil perubahan UUD 1945 sebenarnya tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk legislatif, pelaksanaan sistem proporsional terbuka memiliki keuntungan dalam mengurangi dominasi partai tertentu, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru dengan sistem proporsional tertutup. Selain itu, sistem ini juga membuka peluang bagi perempuan caleg untuk memiliki kesempatan tinggi untuk terpilih dalam pemilu.
Di sisi lain, kegaduhan seputar sistem pemilu 2024 sempat dikritisi oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, berpendapat bahwa permohonan judicial review untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup seharusnya tidak dikabulkan oleh MK. Hal ini disebabkan karena permohonan tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dan juga untuk menjaga konsistensi MK terhadap putusan sebelumnya yang telah mengubah sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Beliau juga menyarankan agar MK mempertimbangkan sistem yang telah diberlakukan dalam Pemilu sebelumnya pada tahun 2009, 2014, dan 2019 yang telah sesuai dengan ketentuan konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H