Di mana manusia berpijak, di situ kucing berada. Meski kalimat tersebut kedengaran berlebihan dan terlalu mengada-ada, tapi begitulah kenyataan di lapangan tentang fenomena over populasi pada kucing, khususnya kucing liar. Sehingga bukan hal aneh lagi kalau kita bisa menjumpai para kucing ini hampir di setiap sudut tempat. Keluar rumah ketemu kucing, ke pasar ketemu kucing, ke sekolah ketemu kucing, bahkan mau jajan ke Alfamart pun di depan pintu sudah ada si kucing yang sedang goleran santuy.
 Anehnya dari sekian banyaknya kucing di muka bumi ini, amat sangat jarang sekali kita menjumpai kucing yang mati di jalanan. Padahal secara logika, dengan banyaknya kucing liar yang bertebaran serta ruang gerak terbatas (khususnya di perkotaan), harusnya jasad kucing ini sangat mudah ditemui di jalanan. Namun pada kenyataannya para kucing liar yang menguasai suatu wilayah ini hanya akan menghilang secara tiba-tiba, lalu digantikan dengan kucing muda lainnya. Kalaupun kita melihat kucing mati di jalan, itu hanya ada dua kemungkinan, pertama si kucing ketabrak kendaraan dan kedua, si kucing di-prank manusia makan racun tikus.
Saya dulu bahkan sampai menyangka kalau para kucing ini sebenarnya mengamalkan ilmu moksa, layaknya pendekar-pendekar zaman dulu yang suka menghilang begitu saja ketika meninggal tanpa meninggalkan jejak. Setelah membaca berbagai macam artikel dan buku ensiklopedia kucing, serta mengamati kucing di sekitar, ternyata menghilangnya kucing-kucing dari peradaban ini bukan tanpa alasan. Berikut beberapa alasan yang sesungguhnya yang menyebabkan kita jarang melihat jasad kucing di jalanan:
1. Kucing Itu Makhluk Soliter
Lagu berjudul Angka Satu milik Caca Handika yang sangat fenomenal dan terkenal di sepanjang zaman, sepertinya sangat cocok sekali dengan kehidupan para kucing, khususnya kucing jalanan. Makan, makan sendiri. Tidur, tidur sendiri. Melahirkan, melahirkan sendiri. Bahkan yang paling ngenes, ya mati, mati sendiri. Berbeda dengan para anjing yang nenek moyangnya dulu hidup berkelompok, kucing juga mewarisi sifat soliter nenek moyangnya, para kucing hutan. Sadar diri kalau mereka hanya sebatang kara di dunia ini, makanya para kucing ini sudah mempersiapkan kematiannya dengan serapi mungkin. Mereka tak mau sampai merepotkan orang lain di sisa hidupnya.
Kadang perilaku ini tidak hanya dilakukan oleh kucing liar, tapi kucing rumahan juga. Banyak kucing rumahan itu yang ketika mendekati ajalnya, mereka memilih untuk pergi dari rumah, agar kematiannya tidak diketahui oleh pemiliknya. Mungkin mereka tak sampai hati melihat pemiliknya ini sedih ketika ia mati, makanya mending mereka memilih mengasingkan diri biar tidak terjadi drama.
2. Kucing Itu Makhluk Introvert
Mengacu pada teori milik Bapak Carl Gustav Jung tentang introvert-ekstrovert, para kucing ini condong memiliki kepribadian introvert. Bukan berarti mereka antisosial, tapi sebagian hidupnya itu lebih berfokus pada dirinya sendiri ketimbang sibuk dengan urusan makhluk lain. Mereka lebih suka menyendiri, menyepi, dan memaknai hidup dengan kesendirian. Toh, pada akhirnya punya pasangan pun juga hanya sekadar formalitas semata. Mereka lebih suka menjalani hidup sendiri-sendiri ketimbang hidup berdampingan dengan pasangannya.
Menurut pemaparan para kucing, mereka ini sebenarnya kurang merasa nyaman di keramaian. Mereka sangat tertekan hidup di tengah hiruk pikuk dunia yang begitu fana. Sehingga ketika mereka akan menemui ajal, mereka memilih tempat sunyi yang jauh dari makhluk lain.
3. Menghindari musuh