Selama ini banyak sekali perdebatan dari ungkapan 'Jodoh itu cerminan diri'. Singkatnya pola pikir kebanyakan orang berasumsi bahwa kalau diri kita baik maka kita akan berjodoh dengan orang baik, begitu juga sebaliknya kalau jodoh kita kebetulan kurang baik maka kita harus sadar diri bahwa diri kita juga kurang baik. Pertanyaan yang muncul berikutnya, kenapa fakta di lapangan itu banyak orang-orang baik justru jodohnya orang yang kurang baik?
Misalnya saja kita ambil contoh di sinetron azab Indosiar ya, Â si istri ini orangnya baik, rajin ibadah, sayang keluarga, eh kok dapat suami yang pemabuk, penjudi, tukang selingkuh, udah gitu KDRT lagi. Kok bisa? Apakah si istri ini kurang baik jadi manusia, sehingga dia bertemu orang yang kurang baik. Atau sebenarnya suaminya ini baik, hanya saja belum tobat dan kena azab?
Meski kedengarannya sederhana, namun nyatanya efek dari ungkapan kayak gini jadi mindset banyak orang. Sehingga kalau kita balik lagi di lapangan, ketika ada seorang suami yang selingkuh maka yang dicerca dan yang disuruh introspeksi diri itu justru istrinya, bukan si suami. Alih-alih di situasi ini si istri yang tadinya adalah korban, justru dibalikkan menjadi tersangka dalam cerita ini. Yah, balik lagi ke teori awal bahwa suami yang baik itu karena istrinya baik, sehingga kalau ada suami yang perilakunya kurang baik maka sudah jelas ini semua karena salah istrinya yang kurang baik ke suami. Begitu kan ya cara mainnya?
Meski hal ini terlihat konyol, tapi yah begitulah dunia ini bekerja. Dengan paham ini juga banyak orang-orang yang mengalami KDRT hingga puluhan tahun tetap terus bertahan dan terus menyalahkan dirinya karena merasa kurang baik. Dengan pemikiran seperti ini juga banyak orang korban perselingkuhan yang merasa tak berguna karena menganggap dirinya kurang kompeten dalam melayani suaminya. Padahal yah, nggak gitu sebenarnya.
Jodoh adalah cerminan diri. Itu ungkapan yang tidak salah, hanya saja menurut saya orang-orang kurang memaknai arti dari cermin itu sendiri. Orang hanya fokus pada cermin, tapi lupa bahwa cermin di dunia ini nggak hanya cermin datar. Kalau kita masih ingat pelajaran fisika, di sana disebutkan bahwa cermin itu ada  tiga, cermin cembung, cermin datar, dan cermin cekung. Di mana ketiganya ini memiliki sifatnya masing-masing.
Besar bayangan sama dengan besar benda, jarak benda ke cermin sama dengan jarak bayangan ke cermin, bayangan tidak terbalik atau tegak. Bukankah begitu cara kita mendefinisikan jodoh dalam perspektif cermin? Tapi sayangnya nggak semua orang bercermin di kaca rias, sebagian orang kadang harus bercermin lewat kaca spion mobil dengan cermin cembung atau ada juga yang melihat dirinya lewat cermin mikroskop dengan cermin cekung. Sehingga tak heran, kalau kadang orang itu suka dijodohkan dengan orang yang sifatnya ada yang maya, tegak, diperkecil dan ada juga yang nyata, terbalik, serta diperbesar.
Kalau kita hanya berkiblat dengan cermin datar, ya, maka kita bakalan kecewa saat bayangan kita ternyata sifatnya tidak sama persis dengan diri kita. Begitu juga sebaliknya, jika bayangan kita ternyata tak serupa dengan diri kita, tidak lantas kitanya yang salah. Mungkin kitanya cuma salah ambil cermin saja.
Masalah jodoh memang rumit, ada sebagian orang yang memaknai jodoh sebagai takdir yang tak bisa diubah, namun ada sebagian orang yang menganggap jodoh itu sebuah nasib yang masih bisa diupayakan lewat jalur doa dan usaha. Dari sudah terjawab ya, kenapa ada orang baik yang cerminan jodohnya itu kurang baik, yah karena dia salah pilih cermin aja. Bukankah bagaimana bayangan dari benda itu hanya tergantung cermin yang dipakainya untuk bercermin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H