Sejauh ini saya selalu memiliki pandangan bahwa menjadi perempuan Bali itu sungguh menyenangkan. Mereka nampak begitu cantik dengan balutan baju tradisional. Pesona mereka juga begitu bersinar ketika mereka menari di atas panggung. Membuat semua mata yang melihatnya terhipnotis.
Bisa dibilang Pulau Bali itu 'surganya' Indonesia. Tak hanya popular di negeri ini, tapi Pulau Dewata ini sangat terkenal di kancah manca negara. Selain memiliki begitu banyak keindahan pantai yang memukai, Bali memiliki kebudayaan serta tradisi yang begitu mengagumkan. Bali seolah tak pernah tertidur dari keramaian para tamu yang ingin singgah dan menikmati keindahan. Namun siapa sangka, bahwa pulau yang penuh gemerlap tersebut menyimpan begitu banyak ratapan perempuan-perempuan Bali dengan kisahnya yang mengundang air mata.
 Lewat sebuah buku karya Oka Rusmini yang berjudul 'Tarian Bumi', saya diajak untuk mengenal lebih dalam tentang kehidupan perempuan Bali yang sesungguhnya. Dalam buku tersebut Oka Rusmini secara halus menguliti sisi-sisi kelam tentang kisah perempuan-perempuan Bali yang mungkin belum kita ketahui secara gamblang.
"Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak biasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur masih tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka juga menyusui laki-laki. Menyusi hidup itu sendiri." -- Hlm 25.
Lewat penggalan kutipan tersebut, kita bisa sedikit memiliki gambaran bagaimana cara hidup seorang perempuan Bali. Itulah kehidupan mereka. Di mana budaya patriarki masih berlaku di sana. Perempuan seolah tercipta di dunia ini hanya untuk melayani para kaum lelaki. Mereka harus mau tak mau memerankan semua tokoh di kehidupan ini. Harus mengurus rumah, harus melayani suami, harus mencari makan, harus mengandung serta merawat anak-anaknya sendiri, dan semua masalah yang ada harus bisa diselesaikan. Mereka tak tak boleh mengeluh karena mereka harus tetap berpeluh.
Berbeda dengan kerasnya kehidupan perempuan, lelaki seolah tercipta di dunia ini sebagai tuan. Sejak kecil mereka sudah dirawat oleh seorang ibu, saat besar mereka dilayani oleh istrinya. Pekerjaan pokok sehari-hari bisa jadi adalah ikut sambung ayam, berjudi, mabuk, dan main perempuan. Mereka adalah raja dalam kerajaan kecilnya tersebut.
Dalam buku ini diceritakan tentang tiga sosok perempuan lintas usia. Sagra, Kenangan, dan Telaga. Ketiganya terombang-ambing dalam pusaran kasta yang berlaku di sana. Harus dipahami, bahwa masyarakat Bali tentunya masih menganut paham kasta. Di mana manusia yang terlahir di dunia ini memiliki tingkatan tersendiri. Kita tak bisa asal bergaul, apalagi sampai menikah dengan mereka yang berbeda kasta. Mereka yang berdarah bangsawan tentu tak bisa hidup bersama dengan mereka dari kaum sudra.
Nyatanya kasta yang berlaku ini sungguh amat menyakitkan bagi mereka yang jatuh cinta bukan dari golongannya. Kasta bahkan bisa membuat seorang anak bisa lebih terhormat dari ibu kandungnya sendiri. Sehingga sang ibu bahkan tak bisa menyentuh buah hati yang ia kandung selama sembilan bulan di rahimnya. Ada seorang anak dari kaum bangsawan yang kehilangan keluarganya sendiri gara-gara mereka menikah dengan kaum sudra.
Penari-penari Bali tak mesti bernasib indah seperti halnya tarian mereka yang begitu memesona. Pada kenyataannya banyak orang pintar yang memelajari tradisi ini hanya untuk sekadar mencari uang. Mereka tak benar-benar mencintai kebudayaan tersebut. Dan benarkah para orang asing itu benar-benar tertarik dengan tradisi dan budaya kita tersebut?
Lewat buku ini juga kita akan disuguhi tentang sebuah ejekan yang dilontarkan untuk pemerintah kita dari seorang penari Bali. Di mana Bali memiliki banyak penari berbakat. Mereka menari atas nama Negara. Banyak piagam penghargaan yang didapat. Tapi pada kenyataannya, piagam dan prestasi tersebut tak bisa membantu seorang penari untuk hidup layak di hari tuanya. Tragis sekali.
Perempuan Bali begitu tegar menghadapi nasib yang begitu berat dalam takdir hidupnya. Mereka begitu gigih dalam melakoni perannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H