Setelah menikah tentu pertanyaan, 'Kapan hamil?' merupakan momok menakutkan bagi seorang perempuan. Terlebih jika usia pernikahan sudah berlangsung dalam kurun waktu yang lama.Â
Tak bisa dimungkiri, fenomena pertanyaan sederhana dan sangat lazim ditanyakan pada orang yang sudah menikah ini mungkin kelihatannya sepele. Â Tapi jangan salah, tak sedikit orang yang merasa despresi karena dihujani pertanyaan semacam ini secara berulang-ulang.
Setiap pasangan yang sudah menikah tentu berkeinginan agar lekas diberi momongan. Tapi kembali lagi, manusia hanya bisa berencana sedangkan Tuhan yang menentukan. Pada kenyataannya tak semua pasangan yang sudah menikah itu segera diberi kepercayaan dengan hadirnya si buah hati. Ada yang harus menunggu setahun, dua tahun, tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun, atau ada juga yang sampai dua puluh tahun dalam penantian.
Percayalah, mereka yang suka ditanyai 'kapan punya anak?' ini juga tak tahu menahu perihal kapan mereka akan diberi anak. Seperti yang kita tahu bersama, anak merupakan hak preogratif Tuhan.Â
Kelahiran, kematian, jodoh, dan anak merupakan satu paket dalam kendaali Tuhan. Sebagai manusia kita mungkin hanya bisa mengupayakan dengan terus berusaha dan berdoa, tapi hasil akhirnya tetap dipegang oleh Tuhan.
Memangnya siapa orang di dunia ini yang bisa membuat anak sendiri? Meski kelihatannya sepele, tapi masalah anak ini merupakan Campur Tangan Tuhan.Â
Kalau kita renungkan sejenak, kenapa ada orang yang sudah pakai alat kontrasebsi, tapi tetap saja kelolosan dan hamil? Kenapa orang yang sudah mencoba pakai obat ini pakai obat itu, program ini program itu, tapi kok malah gak jadi-jadi? Manusia bisa apa coba?
Saya sendiri sudah hampir jalan enam tahun lebih menikah, tapi belum juga diberi momongan. Jangan tanya berapa juta kali orang yang bertanya pada saya kapan hamil dan kapan punya anak.Â
Pertanyaan semacam itu sudah sangat familiar saya dengar, baik itu dari pihak keluarga, kerabat, teman, atau bahkan orang asing yang baru lima menit saya kenal di kereta. Entah pertanyaan tersebut merupakan bentuk peduli, penasaran, atau hanya sekadar formalitas basa-basi.
Saya selalu menanamkan kepercayaan dalam diri saya bahwa anak itu Hak Tuhan, itu bukan merupakan kesalahan, kekurangan, ataupun aib bagi saya. Jadi saya tak perlu malu, minder, ataupun merasa rendah diri saat berkumpul dengan keluarga, tetangga, ataupun teman-teman yang sudah memiliki anak.Â