Belakangan ini semua orang seakan sedang heboh-hebohnya membicarakan tentang layangan putus. Sebuah cerita yang katanya sih merupakah kisah  nyata dari kehidupan seseorang.
Saya sebenarnya kurang tertarik dengan cerita kehidupan rumah tangga seseorang. Masalahnya  kita baru tahu kisah tersebut dari satu pihak. Kita belum tahu cerita yang sesungguhnya dari pihak lainnya. Dan yang pasti kita tidak tahu jelas apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka yang sesungguhnya.
Bukannya saya tak berempati dengan cerita si istri yang ditinggal nikah diam-diam oleh suaminya ini. Bagaimana pun juga saya ini perempuan, jadi kalau mendengar cerita semacam itu tentu saya ikutan sakit hati. Membayangkan gimana kalau seumpamanya saya jadi si ibu ini. Pasti sakitnya bukan main itu hatinya. Tapi kembali lagi, saya tak tahu cerita yang sebenarnya itu seperti apa. Jadi saya tak mau ikut-ikutan menyalahkan atau menghujat pihak mana pun.
Kalau berbicara tentang layangan tentu kita akan paham tentang filosofi sebuah layangan. Semakin layangan yang kita punya itu melayang semakin tinggi, maka ada rasa senang sekaligus rasa was-was dalam diri kita. Senang karena ada rasa bangga bahwa kita sudah berhasil mengantar si layangan untuk terbang tinggi ke angkasa.Â
Tapi apa pun itu tentu ada risikonya. Karena semakin tinggi layangan itu terbang, maka angin akan semakin kejam meniupnya, belum lagi kalau ada hujan badai yang datang tiba-tiba. Padahal kita tahu bahwa saat kita memegangnya semakin erat, itu tak hanya membuat layangan kita putus atau malah benangnya akan melukai jemari kita.
Kadang saat layangan  sudah putus, kita harus siap merelakannya. Jika beruntung kita bisa mendapatkannya kembali meski kita harus berlarian dengan kencang untuk menangkapnya. Tapi kadang kita kalah cepat dengan orang lain atau mungkin kita kalah cepat dengan takdir yang membawa si layangan ini jatuh ke dalam kubangan air. Karena perlu dipahami, saat kita sudah siap menaikan layangan ke angkasa, berarti kita sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada.
Tapi ini kan ada seseorang yang jahat yang ingin merebut layang-layang itu sebelum akhirnya layangannya putus? Bagimana kalau yang sebenarnya itu kitalah yang menarik si layangan itu hingga putus atau mungkin kitalah yang membawa si layang-layang itu  terbang ke arah ranting pepohonan hingga mengakibatkan si layangan putus? Masih ada kemungkinan kan?
Saya setuju bahwa setiap perempuan itu harus mandiri. Sebenarnya tak hanya perempuan saja sih, lelaki pun juga harus mandiri. Karena perlu diketahui, bahwa dalam pernikahan itu kadang tak hanya lelaki yang tak setia, perempuan juga bisa saja tak setia.Â
Di sekitar saya contohnya, ada banyak juga perepuan yang tak setia. Dia tega pergi meninggalkan anak dan suaminya demi lelaki lain atau demi kariernya. Ini fakta, bukan hanya karena saya perempuan saya lantas pura-pura tak tahu menahu soal ketidaksetian seorang perempuan.
Kita tentu boleh merasa takut akan segala kemungkinan yang ada, toh di dunia ini mana ada sih yang pasti? Ada orang yang paginya ketawa, siangnya langsung menangis. Ada yang siangnya masih  mengobrol bersama, sorenya sudah mati. Ada yang malamnya masih berstatus kekasihnya, paginya sudah jadi milik orang lain. Ada juga yang tadinya kaya raya, lalu mendadak miskin. Tak ada asuransi yang pasti di dunia ini. Semua bisa saja terjadi di dunia ini.
Beberapa waktu lalu ada teman yang kebetulan bisnis online shop bicara pada saya. Katanya jadi istri itu harus mandiri secara financial, jangan manja pakai uang suami. Dia secara blak-blakan menakut-nakuti saya seperti halnya cerita di layangan putus. "Gimana kalau suamimu nanti selingkuh atau malah tiba-tiba mati. Mau makan dan tinggal di mana kamu? Makanya ikutan jadi member online shop kayak aku biar punya penghasilan sendiri."