Sudah hampir lima belas tahun lamanya saya tak berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Terakhir kali ke sana itu, saat saya mengikuti study tour sekolah ketika saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Naik bus bersama rombongan dari Jogja ke Jakarta. Meski kelihatannya sepele, namun itu merupakan sebuah kenangan yang berarti bagi saya. Itu merupakan momen ketika saya kali pertama melihat ibu kota. Kebayangkan ya bagaimana rasanya anak desa yang pergi ke kota.
Tentu saya amat bahagia sekali, bahkan hingga saat ini saya masih bisa dengan jelas menggambarkan wajah polos saya yang terkagum-kagum saat bus kami memasuki area TMII.
Akhirnya setelah sekian lama berlalu, kemarin tanggal 2-3 Agustus 2019, untuk kedua kalinya saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung kembali ke TMII. Eits, namun kali ini saya tidak akan piknik ke IPTEK seperti dulu. Saya akan menghadiri acara yang diadakan oleh Komunitas CLICK Kompasiana dan PPI (Perkumpulan Penulis Indonesia) di Graha Wisata TMII.
Meski misi keberangkatan saya ke Jakarta kali ini mengusung tema pelatihan menulis dan tour ke Pantai Maju, namun saya tetap merasa bahwa keberangkatan saya ini bukan sekadar untuk belajar tapi tamasya ilmu. Sebenarnya makna keduanya sama saja sih, tapi pemahaman serta niatnya yang akan membawa dampak berbeda pada diri saya.
Mendengar kata pelatihan, belajar, ataupun tinjauan itu sangat tidak mengasyikan. Sehingga saya menganggap bahwa kegiatan kali ini merupakan sebuah tamasya bagi saya.
Dengan begitu hati saya akan riang dalam menyerap ilmu dan pengetahuan baru. Tidak ada beban dan tekanan yang mengharuskan saya berpikir keras.
Bahagia aja gitu, gimana sih rasanya orang tamasya? Meski menempuh jarak jauh, meski capek, meski ngantuk, tapi tetap happy-kan ya?
Malam hari sebelum berangkat saya sudah berkemas seperti halnya anak yang akan pergi piknik. Menata baju dengan gembira, menyiapkan camilan, serta peralatan yang akan saya butuhkan selama berada di sana. Kali ini saya tak berangkat dari Jogja, tapi dari Karawang- tempat tinggal saya sekarang.
Jadi saya tak perlu menghabiskan waktu semalaman hanya untuk sampai Jakarta. Dari rumah saya berangkat pukul setengah sembilan menggunakan bus Karawang-Kampung Rambutan.
Nahas, baru keluar tol Karawang Timur bus yang saya naiki terjebak macet hingga tiga jam lamanya. Beruntung, saya bisa tiba di Graha Wisata tepat pukul 12.55 WIB.
Ini kali pertama saya mengikuti acara yang berbau Kompasiana, sebenarnya malu juga sih. Soalnya saya jarang nulis di Kompasiana, jadi sebelum mendaftar kemarin lumayan saya mengebut membuat dua atau tiga artikel untuk diunggah di akun Kompasiana saya. Biar gak terlalu malu-maluin bangetlah ya.
Saya masih ingat pesan guru saya, "Saat kamu akan melakukan sebuah perjalanan menuntut ilmu paling tidak kamu harus menyiapkan bahan atau bekalnya terlebih dahulu. Jangan pernah berjalan tanpa tujuan dan persiapan."
Sesi pertama dalam kegiatan tersebut diisi oleh Ibu Fanny Jonathan Poyk yang merupakan putri  dari sastrawan kondang asal NTT yang bernama Gerson Poyk.
Jujur saja saya baru kali ini mendengar nama beliau dalam dunia sastra. Maklumlah ya, saya pembaca angkatan tahun 90-an, jadi penulis senior yang saya tahu hanya sebatas Pramudya Ananta Tour, Ahmad Tohari, NH Dini, dll. Sembari Bu Fanny memperkenalkan diri, saya buru-buru searching di internet tentang sosok beliau dan ayahnya.
Dari situ saya baru sadar, pengetahuan saya tentang sastra Indonesia sendiri saja belum ada apa-apanya, hingga sosok seperti Gerson Poyk saja saya tak tahu. Tapi tak apa, dengan ini saya jadi tahu dan menjadi penasaran ingin membaca karya beliau.
Pada materi ini Bu Fanny membawakan materi tentang dunia sastra. Apa sih sastra itu dan buku seperti apa saja sih yang bisa dianggap sebagai buku sastra? Pada kenyataannya  masih banyak orang yang bingung untuk membedakan genre sebuah buku.
Dengan gaya bicaranya yang santai, Bu Fanny mencoba menjelaskan satu persatu kebingungan yang masih dirasakan oleh para peserta pada siang hari itu. Beliau juga memberikan amunisi atau rumus untuk membuat sebuah cerpen ataupun novel. Semua itu bukan perkara yang sulit tapi bukan berarti semua itu mudah. Semua butuh pemikiran, keinginan yang kuat, dan keseriusan.
Satu hal terpenting untuk menjadi seorang penulis yang hebat. Hobi membaca buku dan membaca keadaan. Mengamati hal-hal di sekitar kita itu juga termasuk kegiatan membaca. Ingat ya, menjadi seorang penulis tanpa mau membaca itu hanya omong kosong!
Berhubung Bu Fanny ini merupakan seorang penulis senior dan juga sangat hobi menulis cerpen di Koran, saya lantas menanyakan sebuah pertanyaan yang kini sedang dipergunjingkan di beberapa komunitas membaca dan menulis. Saya ingin tahu pendapat beliau tentang rencana penghapusan cerpen di koran Minggu Pagi.
Menurut beberapa orang, mereka menganggap bahwa cerpen di koran sudah tidak lagi relevan di zaman ini. Banyak para penulis senior yang tak mau turun tahta, sehingga cerpen di Kompas itu hanya akan memuat nama-nama yang itu-itu saja. Seolah tak ada regenerasi baru dalam dunia kesusastraan di negeri ini.
Nah, saya ingin tahu pandangan beliau dari sudut penulis senior yang bahkan cerpennya menjadi cerpen pilihan Kompas.
Menurut Bu Fanny, cerpen dalam koran itu harus dipertahankan. Seolah Koran bergengsi tersebut menjadi sebuah wadah untuk berkompetisi.Â
Memang, menurut beliau untuk tembus di harian Kompas itu bukan perkara yang mudah. Bahkan beliau sendiri mengaku bahwa sudah mengahbiskan waktu hampir sepuluh tahun untuk bisa menembus media tersebut.Â
Tentu itu bukan waktu yang sebentar dan sudah barang tentu itu butuh perjuangan yang tak mudah. Seperti yang kita tahu, jalan untuk menjadi seorang penulis itu merupakan jalan panjang yang sepi dan penuh rintangan. Hanya mereka yang kuat dan bersungguh-sungguhlah yang akan mencapainya.
Di sesi kedua diisi oleh Pak Iskandar Zulkarnain yang merupakan co-founder Kompasiana. Beliau membawakan materi betajuk literasi digital. Seperti yang kita tahu, di zaman serba digital ini kita bisa memperdagangkan tulisan kita sebagai seorang content creator.Â
Kita bisa menentukan sendiri fee untuk memberi harga pada tulisan kita. Satu hal yang bisa saya petik dari perbincangan sore hari itu, Â 'Jangan pernah menilai harga tulisan kita dari satu buah artikel saja, tapi berapa banyak artikel yang bisa kita hasilkan dalam satu bulannya dengan fee yang segitu.'
Dalam sesi ini kita juga diajarkan bagaimana mengelabui pembaca dengan tulisan kita. Ilmu marketing mulai bekerja. Hal ini mencakup bagaimana saat kita menawarkan sebuah produk tanpa harus terang-terangan menunjukan kalau kita tengah beriklan pada pembaca.
Dari data yang ada pun menunjukan, masih sedikit orang yang mau menuliskan masalah perekonomian dalam tulisannya. Padahal berbiacara masalah ekonomi, kita semua ini merupakan pelaku ekonomi. Setiap hari bisa dibilang kita melakukan kegiatan ekonomi. Jadi, kalau ada yang bilang bahwa tema ekonomi itu sulit, itu sesungguhnya tidak tepat.
Entah kenapa, meski baru sekali mengikuti acara ini, namun rasa-rasanya kami sudah seperti teman lama. Tak ada batasan atau jarak antara senior dan pemula. Kami anak baru ini, diterima dengan uluran tangan hangat layaknya keluarga.
Paginya kami on the way ke Pantai Maju. Kalau ada yang merasa bahwa pantai ini akan menawarkan sesuatu seperti Pantai Ancol, Pantai Anyer, atau Pantai Parangtritis, maka kalian salah besar. Pantai Maju merupakan satu dari tiga pulau reklamasi yang baru saja diresmikan oleh bapak gubernur DKI, Anies Baswedan.
Polusi dan debunya juga sangat mengerikan. Wajar juga sih, soalnya belum ada pepohonan di lokasi ini. Tak hanya itu, jika kita berdiri di tepi pantainya, kita akan mencium bau air laut yang seperti bau rawa atau air got gitu. Â
Untuk bangunan-bangunannya sendiri di sini sudah berdiri deretan ruko mewah dan di bagian depan ada juga area semacam foodcort. Untuk pembangunannya sendiri belum selesai total, masih sekitar 60-70 % kalau menurut saya sih.
Secara garis besar Pantai maju ini nantinya akan dijadikan distrik perekonomian, yah bisa dibilang semacam 'Singapura'-nya Indonesia gitulah.Â
Ada banyak pro dan kontra yang terus diperdebatkan tentang pulau reklamasi ini. Yah, gimana ya, kalau saya pribadi sebenarnya juga kurang setuju dengan adanya pulau reklamasi ini.Â
Bagaimana pun dengan adanya pulau reklamasi ini, yang akan diuntungkan tentu para golongan kongkolomerat. Sedangkan masyarakat kecil yang tinggal di sekitar Teluk Jakartalah yang mungkin akan mendapatkan dampak negatifnya dari pembangunan ini.
Akhir kata, dari perjalanan tamasya ilmu ini saya merasa bahagia sekali. Bisa mendapatkan ilmu baru, pengetahuan baru, cerita baru, serta teman dan keluarga baru.Â
Terima kasih CLICK Kompasiana dan PPI telah memberi saya kesempatan untuk piknik ilmu bersama dalam kesempatan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H