Mohon tunggu...
Renisa Tandyasraya
Renisa Tandyasraya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kriminologi di Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana di bidang Kriminologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Salah Kata atau Salah Mengerti? Pahami dengan Forensik Linguistik

6 Januari 2024   04:35 Diperbarui: 6 Januari 2024   05:56 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai masyarakat, interaksi dengan sesama anggota masyarakat adalah hal yang umum dilakukan untuk menjalin kebersamaan and kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Bentuk interaksi tersebut dapat berupa perkataan, sikap, tindakan dan lain sebagainya yang menunjukkan bentuk ikatan yang dimiliki diantara anggota. Akan tetapi, bentuk-bentuk interaksi tersebut dapat disalah pahami oleh orang lain dan dapat berujung konflik yang membahayakan keterikatan dalam masyarakat secara utuh, baik dalam satu kelompok atau dengan kelompok masyarakat lainnya, apabila kesalah-pahaman tidak diselesaikan atau dimengerti oleh semua. Bahkan ada pula seseorang atau sekelompok orang yang dengan sengaja mengubah pengertian interaksi tersebut untuk menyebarkan rasa kebencian dan konflik diantara anggota-anggota masyarakat yang berbeda.


Hal tersebut dapat dikatakan sebagai kejahatan berbahasa. Kejahatan berbahasa adalah kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan bahasa, seperti ujaran kebencian, berita hoax, konspirasi, sumpah palsu, ancaman, dan penyuapan. Berbeda dengan bentuk kejahatan yang biasanya berbentuk fisik, kejahatan berbahasa berbentuk serangan psikis. Dari kejahatan berbahasa tersebut, perang bahasa dapat terjadi. Perang bahasa menggunakan bahasa sebagai senjata oleh seseorang untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya dengan tujuan untuk menyerang gagasan, pikiran, perilaku, kehormatan atau kondisi fisik seseorang atau sekelompok yang dilakukan baik secara langsung atau tidak langsung. Bentuk nyata dalam perang berbahasa ini adalah pencemaran nama baik dari kampanye hitam. Perlu diperhatikan bahwa pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.


Untuk memahaminya lebih dalam, kita dapat melihatnya dari sudut pandang Linguistik Forensik. Secara umum, forensik adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains. Ketika dikaitkan dengan linguistik, linguistik forensik menjadi pertemuan antara bahasa, kejahatan dan hukum. Mauriceh Varney (1997) mengatakan bahwa linguistik forensik berkaitan dengan tugas seorang ahli bahasa yang bertindak sebagai ahli dalam suatu perkara di pengadilan, seperti menjelaskan catatan terakhir dari seseorang yang melakukan bunuh diri, surat tuntutan uang tebusan dalam kasus penculikan, hingga surat teror atau ancaman dan surat wasiat yang dipermasalahkan. Forensik linguistik menjadi ilmu forensik yang terus berkembang dari masa ke masa karena bahasa di dalam masyarakat. Bahasa, meskipun dapat terdengar sama dari masa ke masa, berevolusi bersamaan dengan berkembangnya masyarakat dari zaman ke zaman. Makna dan pengertian kata-kata dalam bahasa tersebut dapat bertambah atau berkurang, sehingga ahli bahasa harus dapat beradaptasi untuk menegakkan hukum. Salah satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah language fingerprints yang menunjukkan apakah sebuah dokuman atau pernyataan memiliki rasa keadilan atau adanya bentuk rekayasa. Contoh penggunaan ilmu linguistik forensik dapat dilihat dari pemahaman atau penafsiran sebuah kalimat di berita acara atau dalam kebijakan, atau pengakuan bersalah seseorang ditulis oleh orang tersebut atau direkayasa oleh polisi. Perbedaan tatanan kata dan penggunaan bahasa formal dan informal dapat menjadi pembuktian dalam linguistik forensik.


Meskipun bahasa adalah bukti sekunder dalam pengadilan, pembuktiannya dapat menjadi titik vital untuk menegakkan keadilan. Dengan berkembangnya internet dan sosial media, penyebaran pernyataan dan perkataan dapat mejangkau secara luas dan lebih mudah untuk disalah-pahami atau dipergunakan sebagai pencemaran nama baik. Apabila ada pepatah mengatakan "mulutmu harimau-mu", hal tersebut berlaku juga di dunia sosial media. Berhati-hatilah dalam berbahasa agar tidak disalah-pahami.

Renisa Tandyasraya

Untuk Program Pascasarjana Kriminologi, Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun