Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lewat Kimia, Aku Paham Kebesaran Tuhan

8 Oktober 2017   19:46 Diperbarui: 8 Oktober 2017   19:56 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman menghayati kebesaran Tuhan tidak serta merta hanya didapat dari ruang mesjid yang penuh dengan ornamen ornamen kaligrafi. Bisa saja ditemui dari segala tempat, tak terkecuali ruang praktik laboratorium kimia analisis. Ruangan yang tak pernah ada mimbar, jam shalat, ataupun sejadah. Tak pernah ada kitab suci, entah Al-Quran maupun kumpulan Hadist. Ruang yang hanya dipenuhi rangakaian alat-alat gelas, rak-rak yang penuh dengan bahan-bahan kimia, dan buku-buku yang tak ada sehuruf pun bercerita masalah-masalah kerohanian. Justru di sanalah realitas materi difahami sebagai Masterpiece dari Sang Maha Pencipta.

Dimulai dari dua semester pertama, aku mempelajari berbagai teori teori kimia dasar. Salah satu materinya adalah atom. Hal yang paling diingat adalah ketika memahami masalah susunan elektron, proton dan neutron. Karena, tak pernah terbayangkan sebelumnya ada sesuatu yang sangat kecil terdesain luar biasa rapi, presisi, dan akurat, yang bahkan profesor terpintar manapun, takkan pernah bisa untuk setidaknya mensintesa materi yang seperti ini. Pengalaman rasa seperti ini yang mungkin tak pernah dialami oleh orang yang tak pernah belajar kimia, atau pun orang kimia yang tak pernah belajar Tuhan.

Kemudian, pada dua semester selanjutnya, aku mempelajari salah satu cabang kimia yang membahas materi-materi penyusun mahluk hidup yaitu, Kimia Organik. Pengalaman yang sangat mengesankan untuk pengalaman belajar dalam proses memahaminya. Dari mulai tahap belajar teorinya di kelas hingga pengalaman nyata mempraktikkannya di laboratrium, sungguh membuat diri saya seperti orang yang sangatlah tak ada apa-apanya, merasakan kerendahan diri sebagaimana mahluk yang fana. 

Karena saya menemukan bahwa unsur penyusun mahluk hidup kurang lebih hanya disusun dari karbon, hidrogen, dan nitrogen yang sama dengan unsur penyusun tanah. Unsur-unsur yang sangat rapuh, mudah dirusak, bahkan tak dirusak pun akan terurai dengan sendirinya. Hal inilah yang menyadarkan saya, betapa hinanya saya di mata Tuhan karena apa yang saya miliki tak lebih dari sekedar unsur-unsur seperti tanah yang sering kita pijaki.

Kemudian di semester ke-5 dan ke-6, aku tak hanya belajar mengenai materi materi yang "tak bernyawa", tapi kali ini aku belajar mengenai mahluk hidup yang ukurannya super kecil. Dan ini benar-benar pengalaman yang sensasinya jauh berbeda dari yang sebelumnya. Karena, secara empiris aku bisa melihat dengan jelas oleh mata kepalaku sendiri beragam bentuk bakteri, jamur, dan mikroorganisme lainnya yang benar-benar hidup. 

Untuk dapat melihat mahluk-mahluk tersebut, kita menggunakan mikroskop utuk memperbesar realitas bakteri yang tak bisa langsung kita indra dengan mata telanjang. Di saat itulah efek yang kudapatkan adalah kengerian betapa banyaknya jumlah mikroorganisme yang ada di lingkungan kita. Dari data yang kuanalisis sendiri jumlah nya bisa berjuta-juta bahkan milyaran. Tapi, setelah itu ada sebuah reflek syukur yang kurasakan. 

Karena segalanya termasuk diriku sendiri didesain benar benar matang. Aku bersyukur mata manusia tidak diciptakan untuk dapat melihat mahluk hidup sekecil bakteri. Jangankan bakteri yang jumlahnya milyaran, 10 kecoa yang ukurannya jauh lebih besar dibanding bakteri, manusia sudah dibuat jiji untuk melihatnya.

Dari tahun ke tahun, polanya selalu sama. Makin banyak yang kuketahui, makin terasa Kebesaran Penciptaan Tuhan. Mungkin belajarku kemarin, sangat memeras otak. Tapi hasilnya pun selalu sama, rasa kagum yang luar biasa membuncah sebagai manusia yang memahami realitas kebesaranNya. Yang sekali lagi, tak akan pernah dirasakan ahli agama manapun yang tak pernah belajar kimia, ataupun ahli kimia manapun yang tak pernah tau realitas Tuhan.

Terakhir,                

Kalau orang bilang scientist cenderung anti-theis, apatis dengan hal-hal teologis, akutak akan menggrubris.

Karena aku seorang analis, scientist yang monoteis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun