Mohon tunggu...
Reni Patiola
Reni Patiola Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Bercita-cita sejak duduk dibangku sekolah menengah pertama bisa menjadi seorang penulis profesional, berkepribadian introvert jadi lebih suka menuangkan ide-ide lewat tulisan, bercerita lewat tulisan dan berargumen lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Museum Dara Juanti dan Kaitannya dengan Masa Kolonial

19 Januari 2024   05:59 Diperbarui: 19 Januari 2024   06:00 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Museum Dara Juanti adalah museum bersejarah yang terletak di Jl. Dara Juanti, Kelurahan Kapuas Kiri Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Nama Dara Juanti diambil dari nama putri pendiri kerajaan Sintang, Demong Irawan, dengan nama Putri Dara Juanti. Nama sebelumnya digunakan sekitar tahun tujuh puluhan, saat ini nama museum ini menjadi Museum Nusa Kaningrat.

     Museum ini awalnya merupakan sebuah istana kerajaan Sintang dimasa lalu yaitu Istana Al Mukarramah. Dilansir dari kemendikbud, Kerajaan Al Mukarramah berdiri pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1839, awalnya kerajaan Sintang adalah kerajaan bercorak Hindu yang kemudian beralih menjadi kerajaan Islam. Sehingga banyak benda bersejarah yang masih di simpan hingga saat ini yaitu benda bersejarah pada zaman Hindu-Budha maupun kerajaan Islam dan Belanda.

        Museum ini menyimpan banyak bukti-bukti sejarah seperti yang terlihat di bagian halaman depan museum terdapat sebuah Meriam peninggalan Belanda dan Batu Wisa peninggalan Hindu-Budha. Diketahui dari penjelasan Bapak Gusti Sumarman selaku pemandu museum (4/01/23) mengenai peralihan corak kerajaan dari Hindu Budha ke kerajaan Bercorak Islam terjadi pada abad-17. Tahun 1822 rombongan asal Belanda pertama kali datang ke Sintang di masa pemerintahan Pangeran Ratu Adi Muhammad Qomaruddin. Rombongan tersebut dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, C. Hartmann dan E. Francis (Komisaris dari Kust Van Borneo). Kedatangan mereka tersebut di sambut baik hingga diizinkan mendirikan rumah dan memilih tempat oleh Raja.

Sumber: Dokumentasi Penulis (Kapuas Kiri Hulu, Sintang, 4/01/2024)
Sumber: Dokumentasi Penulis (Kapuas Kiri Hulu, Sintang, 4/01/2024)

        Pihak Belanda sering melakukan kunjungan ke istana dan melancarkan politik adu domba. Hal ini menyebabkan terjadi konflik di internal kerajaan. Pada bulan November tahun 1822 rombongan Belanda datang lagi ke Sintang untuk kedua kalinya. Rombongan kedua ini pimpinan oleh dua pejabat tinggi yaitu Dj. Van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, serta Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie yang bertugas sebagai juru bicara. Misi Belanda tersebut berhasil menyetujui sebuah perjanjian mengenai perdagangan yang tertulis dalam sebuah Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini dilakukan tanda tangan pada tanggal 2 Desember 1822 M dan setelah itu pada 1823, 1832, 1847, dan 1855 perjanjian lainnya juga disepakati. Perjanjian tersebut ternyata banyak membawa keuntungan di pihak Belanda untuk melakukan campur tangan terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang yang memiliki dampak negatif untuk masa depan kesultanan Sintang. cDi antara tahun 1822-1942, Belanda berhasil menundukkan pemerintah Kesultanan Sintang sehingga Belanda memiliki kontrol penuh atas sistem pemerintahan Kesultanan Sintang, Belanda menempatkan Sintang di bawah administrasi kolonial (Enthoven, 2013; Veth, 2012a).

      Pada masa Kerajaan Sintang bercorak Hindu, Istana Sintang dibangun sesuai arsitektur rumah panjang, khas Masyarakat Dayak. Setelah Kerajaan Sintang menganut agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri Danu Perdana, dibangunlah gedung istana yang baru dengan nama Istana Al Mukarrammah. Istana ini dibangun pada tahun 1937 oleh seorang arsitek Belanda. Konstruksi bangunannya masih menggunakan struktur rangka kayu, tetapi dengan pondasi tiang beralas beton. Atap istana terbuat dari sirap kayu belian dan diperkuat juga dengan plafon asbes (Nitihaminoto, Armeiny, Kossasih, 1997).

Kontribusi by: Anastasia Aprilia, Edgina, Friscilla Kristiani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun