Mohon tunggu...
renie adinda pitalokha
renie adinda pitalokha Mohon Tunggu... -

seperti air dan ingin menjadi speerti pohon kelapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ambo, Abdi, dan Gue

25 September 2012   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini merupakan kisah perjalanku untuk mencari masa depan yang lebih baik. Meninggalkan yang dulu aku punya. Benar-benar dari nol. Dimulai dari usaha-usaha yang sederhana hingga pengorbanan yang sangat mendalam. Menahan ego, mencipatakan kesabaran yang luar biasa hingga menjadi sebuah keajaiban yang nyata. Hingga bisa bermanfaat bagi orang lain, hingga bisa membahagiakan kedua orangtua. Yang pada akhirnya dunia akan tahu siapa yang pantas bertahan dengan semua cobaan yang hampir membuat putus asa.

Pagi itu, tanggal 14 Juli 2012. Di dalam kamar sebuah kosan beralamatkan jalan Cihampelas 226, Bandung, Jawa Barat. Hari itu merupakan pengumuman hasil tes masuk salah satu perguruan tinggi di Indonesia untuk tahun 2012. Saat itu, aku memang sedang di Bandung bersama teman-temanku untuk mengadu nasib di kota orang. Untuk mencari jalan menggapai cita-cita kami. Dari sebuah provinsi di mana kebanyakan orang tidak mengetahui keberadaan provinsi kami, padahal di provinsi kami memiliki tempat-tempat wisata yang masih sangat alami. Contohnya saja Pemandian Air Putih, di mana kita bisa merasakan air hangat di kaki kiri dan air dingin di kaki kanan dalam satu tempat, menurutku itu sangat mengagumkan. Contoh lainnya adalah Pantai Panjang, bagi pencinta pantai dan bagi yang menyukai surfing, pantai ini sangat cocok untuk dikunjungi. Modal kami untuk mengadu nasib di kota orang ini hanyalah kata nekat. Dengan bekal pengetahuan yang kami bawa dari Bengkulu selama 15 tahun menuntut ilmu, sekarang harus kami tunjukan untuk memperebutkan kursi di salah satu perguruan tinggi favorit di kota kembang tersebut. Namaku Renie Adinda Pitalokha. Aku lahir di Bengkulu pada tanggal 26 Oktober 1994.

Saat aku masih menikmati mimpi indahku, “Din, bangun!”, kata temanku yang kebetulan satu kamar denganku. “Hmm, masih pagi win”, jawabku yang masih ingin menikmati mimpiku. “Kamu nggak mau lihat hasil test? Kamu nggak penasaran?”, dia yang begitu mendukungku dalam test ini, padahal aku saja sudah jatuh karena kegagalan pada test sebelumnya. “Nanti saja kan bisa, toh baru di buka juga, paling lama kalau mau lihat”, jawabku tetap ogah-ogahan. “Yaudah, sini aku yang lihatin, mana nomor pesertamu?”, kata Wina yang tetap memaksa. “Aku lupa taruh dimana, mungkin juga kebawa sama Gita”, kataku masih dalam posisi mata terpejam. “Kamu niat nggak si ikut ini? Cepet cari nggak nomor pesertanya, biar aku yang lihatin”, katanya yang begitu peduli denganku. Dengan malasnya, aku mengotak-atik notebookku, berharap masih ada data yang tersisa yang kupunya. Dari berkas yang satu ke berkas yang lain, aku pun mulai tambah malas untuk mencari nomor pesertaku. Dan, akhirnya yang aku cari pun aku dapati dan segera aku berikan pada Wina secepatnya agar aku bisa kembali ke tempat tidur lagi. “Sini, cepat aku liatin nama kamu di situsnya”, ambilnya dengan paksa oleh Wina. “Yee, santai dong belum tutup juga”, dengan sewot kembali ke tempat tidur.

Tuhan memang tidak pernah tidur. Sebenarnya di balik keputusasaanku tersimpan harapan yang besar bahwa aku ingin membahagiakan orangtuaku. Aku takut mengecewakan orangtuaku, aku takut perantauan ini tidak menghasilkan apa-apa. Walaupun mereka tetap tersenyum dan berkata tidak apa-apa di depanku, tapi aku merasakan betul betapa mereka juga mengharapkan aku dapat menggapai mimpi-mimpiku selama ini. Dengan terkejutnya aku terbangun ketika aku mendengar suara Wina yang bersorak “Dindaaaaaa, kamuu lulus. Selamat ya akhirnya apa yang kamu cita-citakan tercapai juga”. Terdiam sejenak, seluruh bagian otakku masih mencoba mencerna kata-kata Wina dan menyusunnya secara sempurna yang akan menggerakan bibir ini membentuk sebuah senyuman sambil berdesis “Alhamdulillah, terimakasih Tuhan, Engkau buat pagiku lebih ceria hari ini”. Wina yang langsung mengejutkan aku dengan pelukan kasih sayang seorang sahabat yang bangga terhadap sahabatnya tiba-tiba membuat tubuhku kaku, lemas dan bergetar. Aku mulai berkata, “Win, apa aku masih mimpi?” Wina menjawab dengan mendorong kepalaku,”Idiih, males banget aku datang ke mimpi kamu”, “Sial kamu. Hahaha”. Suasana pun mulai kembali normal seperti biasa. Dan aku tidak henti-hentinya mengucapakan rasa syukurku kepada Tuhan yang telah mengizinkan aku merasakan kebahagian hari ini. Langsung ku telfon orangtuaku atas kabar yang begitu menggembirakan ini. Dan respon positifpun ku terima dari kedua orang tuaku tecinta. Semua ini aku dedikasikan untuk mereka yang telah mempercayai semuanya kepadaku, yang tidak pernah memaksaku untuk mengambil pilihan yang tidak aku sukai, yang selalu berkata kepadaku “Semua akan indah pada waktunya kelak, nak. Percayakanlah semua kepada Tuhan. Yang paling penting kita harus usaha terlebih dahulu”.

Pada tanggal 16 Juli 2012, orangtuaku menyusulku ke Bandung. Sebelum hari pengumuman itu pun memang sudah ada rencana mama mau ke Bandung untuk menjeputku pulang dengan hasil apapun yang aku dapatkan nanti. Mamaku sampai di Bandung sekitar pukul 23.00 WIB, aku melihat wajahnya yang sangat merindukanku begitu juga denganku yang sudah hapir 2 bulan lebih hanya bisa mendengar suaranya ditelfon saja. Mama di Bandung sekitar 5 hari. Hari-hari mama di Bandung yaitu menemani aku mengurusi semua urusanku mulai dari registrasi sebagai mahasiswi baru hingga mencari tempat kost yang nyaman untukku. Sebenarnya, yang mencarikan kostsanku adalah temanku, namanya Acay, kami berasal dari SMA yang sama di Bengkulu. Di kostsanku ada dua orang dari daerahku sekaligus dari SMA yang sama. Setelah registrasi dan semua urusanku selesai, aku pun pulang. Dengan senang hati aku telah lama menanti hari ini. Aku sangat kangen papa dan adikku. Belum pernah aku pisah dari mereka selama ini. Kalau pun harus lama mungkin hanya sekitar 2 minggu tidak bertemu.

Sabtu, 20 Juli 2012, akhirnya aku sampai di bumi reflesia tercinta, di rumahku yang nyaman dan sejuk, di kamarku yang selalu membuat tidurku memimpikan sesuatu yang indah dan di rumahku yang selalu melindungi orang-orang yang sangat aku cintai. Aku sangat senang berada di sekitar orang-orang terkasihku. Hari-hari aku lalui di Bengkulu dengan rasa yang lebih menghargai setiap detik yang aku punya. Karena aku mulai menyadari, jika kelak aku sudah mulai kuliah aku akan jauh dari rumah dan akan sangat merindukan saat-saat seperti ini. Hatiku sedih, gunda gulana jika aku mulai memikirikan hal itu. Apabila bayangan hal itu datang segeralah aku menepisnya, agar aku tidak membuang-buang waktuku hanya untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting.

Senin, 30 Juli 2012, aku kembali lagi ke Jatinangor untuk mengikuti acara rutin mahasiswa baru yang telah diwariskan turun temurun, layaknya sebuah tradisi penyambutan yang biasa disebut ospek. Aku pergi bersama sahabatku yang juga di universitas yang sama tetapi beda jurusan, namanya Sheylla.  Kali ini aku masih punya teman untuk pergi bersama ke kota orang, tapi tidak tahu untuk ke depannya karena memang belajar mandiri yang selalu diingatkan mama kepadaku.

Rabu, 1 Agustus 2012, hari pertama aku ospek. Di daerah yang aku tempati sekarang merupakan salah satu daerah yang dingin di Indonesia. Badan yang sudah terbiasa mandi pukul 10.00 WIB, sekarang harus menyentuh dinginnya air pukul 04.30 WIB tanpa air panas. Tapi, ini pengalamanku yang sangat berarti dan kelak akan aku ceritakan kepada anak cucuku. “Sel, sudah mandi belum kamu?“, tanyaku kepada Sheylla yang sedang menginap di kostanku. “Sudah Din, mau berangkat sekarang?”.  Aku mengiyakan pertanyaan dari Sheylla. Sheylla ini adalah sabahatku dari SMP yang  sangat peduli kepadaku, orangnya juga cantik. Hari itu, aku tidak banyak bicara ketika ospek berlangsung. Karena, ospek hari ini merupakan ospek universitas yang isinya seabrek anak manusia yang tidak aku kenal, dari penampilan, budaya dan bahasanya.

Kamis, 2 Agustus 2012, hari kedua ospek dan merupakan ospek fakultas hari itu. Pagi-pagi aku dan mahasiswa baru lainnya sudah berkumpul di salah satu lapangan di unversitas tersebut. Akupun dikumpulkan berdasarkan jurusan yang kupilih. Di sana, aku melihat wajah-wajah baru yang masih asing di penglihatanku. Di pendengaranku terbesit, “Eh, lu kok gitu amat pake kerudungnya?” dibagian lainnya terdengar,”Maneh teh asli Bandung?”. “What? Whats wrong with me? Aku sama sekali nggak ngerti mau ngomong apa dan memakai bahasa apa kepada mereka.” gerutuku di dalam hati sambil menundukan wajahku. Tiba-tiba ada yang menegurku sembari mengajakku berkenalan, Hai, siapa namanya?” terbesit selintas rasa syukurku di dalam hati,”untung masih ada yang bisa ngomong menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat Indonesia asli #bahasaIindonesiadankita. “Namaku Renie, kamu?”, “namaku Anggia”, aku bisa mengenal logat yang tidak sengaja ia perlihatkan padaku. Dia berasal dari rumpun yang sama denganku yaitu rumpun Melayu, dia berasal dari Padang.

Sabtu, 4 Agustus 2012. Ospek jurusan yang menandakan aku hanya berkumpul dengan teman-teman sejurusanku yang kemarin sedikit banyaknya sudah berkenalan denganku. Karena aku berada di daerah yang kental sekali dengan budaya dan bahasa daerahnya, aku harus mempelajari semua hal itu. Di sini hal yang paling sulit yang pernah aku temui di hidupku. Pengalaman yang baru aku dapat dari daerah yang sekarang aku tempati. Bahasa yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan bahasa daerahku dulu. Aku sangat bersyukur atas Indonesia yang memiliki bahasa persatuan#bahasadankita. Aku tidak tahu bagaimana nasibku, jika di Indonesia ini tidak memiliki bahasa persatuan itu. Tetapi kenyataan yang pahit di balik itu semua, bahwa di daerah ini tidak sedikit para penduduk yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Mereka benar-benar buta dengan Bahasa Indonesia. Aku kasihan dan merasa begitu ironi melihat kenyataan ini. Warga Negara Indonesia tetapi tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, apakah ini termasuk penjajahan terhadap warga negara sendiri? Entahlah, aku tidak begitu mengerti.  Seperti kata pembijak pada umumnya di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Mau bagaimanapun budaya dan bahasaku di Bengkulu, aku harus tetap menyesuaikan diri di sini. Aku harus mengikuti dan mempelajari budaya di sini. Mulai dari bahasa dan tradisi di sini. Akan tetapi tidak mungkin aku bisa belajar tanpa adanya persamaan dari kami, maka dari itu yang mempersatukan kami adalah Bahasa Indonesia. Aku cinta Bahasa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun