Semboyan banyak anak banyak rejeki yang pernah menjadi “hits” di masanya tak lagi tepat bahkan konyol jika diterapkan dalam kehidupan saat ini. Hanya saja mengapa hal tersebut masih saja terjadi pada sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat dari kalangan bawah.
Biaya hidup setiap hari semakin mahal, apalagi biaya pendidikan yang luar biasa tinggi hingga tak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Jangankan untuk sekolah anak, untuk keperluan sehari-hari pun dirasa mepet bahkan kurang. Sedangkan lapangan pekerjaan tidak tersedia, menjadi buruh kasar dianggap tidak mampu menutupi biaya hidup tiap harinya. Yang terjadi kemudian, ngemis di jalanan menghiba pada orang.
Kesadaran atas diri sendiri itu sangatlah penting. Setiap individu semestinya dapat mengukur kemampuan diri sendiri, sehingga setiap tindakan yang akan dilakukan dapat dipikirkan akibatnya. Seperti yang terjadi pada masyarakat dari kalangan tidak mampu, mereka seakan tidak belajar dari pengalaman. Selalu “mengklaim” bahwa dirinya adalah masyarakat miskin sehingga patut dikasihani, namun apa yang terjadi ? sudah tahu tidak mampu tapi mengapa mempunyai banyak anak yang artinya mereka akan membutuhkan banyak biaya.
Tidak sanggup menyekolahkan lantas anak pun “dikaryakan”. Anak dipekerjakan dijalanan untuk ngemis atau ngamen, sedangkan si orangtua hanya duduk disuatu sudut sambil memperhatikan si anak dari kejauhan. Kasus lain, anak dipaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga padahal usia anak masih di bawah umur. Yang terlihat kemudian seolah-olah para orangtua ini sengaja “menyeret” anak-anak mereka untuk turut menikmati pahitnya hidup yang dialami bapak ibu mereka.
Kalau sudah begitu pemerintah yang kemudian disalahkan. Pemerintah dianggap tidak mampu menaikkan taraf hidup masyarakat miskin, sehingga yang miskin semakin miskin. Menimpakan kesalahan pada orang lain bukan solusi yang baik, yang lebih baik adalah instropeksi terhadap diri sendiri. Tidak semua masalah kemiskinan ini disebabkan oleh ketidak mampuan pemerintah dalam menjalankan sistemnya, sebagian kesalahan yang lain ada pada masyarakat itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H