Mohon tunggu...
Reni Judhanto
Reni Judhanto Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dan wanita bekerja yang ingin mencoba menulis, meskipun sederhana saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironi sang peminta-minta

14 Oktober 2010   05:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku hampir selalu menjumpainya di sebuah perempatan jalan yang sama. Dia selalu tampil dengan setelan kaos plus celana pendeknya. Rambut keritingnya yang pendek selalu awut-awutan, tak tersisir. Tanpa bicara dia akan mengacungkan kaleng kepada pengendara kendaraan roda 2 dan roda 4, minta sekedar uang receh.Setiap orang akan mudah untuk mengingatnya karena penampilan fisiknya. Tinggi tubuhnya kurang lebih 145 cm. Dari mimik mukanya dan cara berjalannya terkesan bahwa dia penderita retardasi mental (keterbelakangan mental). Meskipun sekilas dia tak lebih dari anak-anak, tapi aku yakin bahwa dia sudah cukup berumur.

Setiap bertemu dengannya, aku selalu berusaha memberi sekedar uang padanya. Entah mengapa, selalu ada rasa tak tega setiap kali aku memandangnya. Sebenarnya baju-baju yang dipakainya selalu tampak bersih, meski tak lagi baru. Kulitnya pun bersih dan tak legam meski selalu terpanggang panas matahari. Hanya karena rambutnya yang selalu awut-awutan sehingga mengesankan dia 'dekil'.

Suatu kali, sewaktu aku belanja di sebuah toko yang tak jauh dari tempatnya 'mangkal' sebagai peminta-minta, aku dapat informasi yang mengejutkan. Sewaktu pemilik toko melihatku sedang mengawasi sang peminta-minta itu, dia bercerita padaku. Kata pemilik toko, sang peminta-minta itu setiap hari selalu datang ke tokonya untuk menukarkan uang receh yang didapatnya. Kata pemilik toko itu lagi, sang peminta-minta itu  bisa menukarkan uang sebanyak Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 setiap harinya. Aku tercengang juga mendengarnya. Ternyata pendapatan peminta-minta itu besar juga.

Kemudian, suatu hari aku melihat lagi sang peminta-minta itu. Kali ini aku melihatnya sedang naik becak menuju tempatnya 'mangkal' sebagai peminta-minta. Aku takjub juga, karena ternyata dia mampu membayar becak yang (relatif) lebih mahal daripada naik angkutan kota. Aku pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Yang terbaru adalah kejadian pada hari Minggu yang lalu. Saat aku sedang belanja di Hypermart, aku melihatnya sedang belanja di sana juga. Dia tetap tampil dengan busana yang sama, setelan kaos dan celana pendek. Aku hanya bisa bengong menyaksikannya melenggang dengan santainya sambil membawa tas belanjaannya. Suamiku yang melihatku 'shock' malah mentertawakan aku.

Aku benar-benar dihadapkan pada ironi dari sang peminta-minta. Orang yang kuanggap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan, ternyata hidup dalam kecukupan. Lantas.., masih perlukah kita memberinya sedekah..?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun