JAKARTA, Kota dengan artis FTV terbanyak se-Indonesia yang saya diami hampir 8 tahun lamanya itu mengandung banyak cerita dan derita. Salah satu cerita indahnya ialah tentang kenangan saat Pilpres 2009 dan 2014 bersama Pilkada di dalamnya. Selain itu, ada pula derita -- derita indah yang dirasakan semenjak menjadi Mahasiswa yang nomaden (baca berpindah kosan), sekaligus pengalaman menjadi Guru honorer di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Jak-Sel.
Jujur, Jika Pak SBY pernah berkata "I Love the United States with all it's fault. I consider it my second Country", maka I'll said those into Jakarta too. Bagaimana tidak, Jakarta bagi saya memang menjalankan peran sebagaimana julukan yang dinisbat kepadanya yakni 'Ibu'. Seorang wanita dewasa yang berperan tidak hanya membesarkan anaknya saja, tapi juga membantunya menemukan sebuah identitas diri.
Dan benar, saya merasa telah menemukan jati diri saat itu. Jakarta melalui 'belaian -- belaiannya' yang kasar tapi manja telah menempa mental saya. Segala kebijakan manis maupun pahit darinya, dengan senang hati saya telan dan cerna bersama makanan yang saya beli dari gerai -- gerai fast food di bawah lampu jalan bertenaga surya.
Usia memang terus bertambah, namun Jakarta bisa dibilang semakin Millenialssaja rupanya. Betapa tidak, Jakarta oleh Majalah Pariwisata Conde Nast Traveler tahun 2017, menempatkannya sebagai Kota ter Instagramable peringkat ke 8 di bawah New York, Moscow, London, Sao Paolo, Paris, Los Angeles, dan Saint Petersburg, serta berada di atas Istanbul dan Barcelona.
Maklum, jumlah pengguna Media sosial 'dokumentasi pribadi' ini mencapai 45 Juta dan itu yang terbanyak di dunia loh. That's why, semua orang yang ke Jakarta, wajib bawa kamera. LOL.
Jakarta itu ibarat syurga yang membuat sebagian besar orang tergila -- gila. Maksud saya, bukan hanya pengertian 'syurga' secara harafiah saja akan tetapi di Jakarta memang banyak terdapat orang gila alias sakit jiwa. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, ada sekitar 20 persen warganya mengalami gangguan kejiwaan.Â
Selain itu, data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menyebutkan bahwa jika jumlah penduduknya adalah 10 juta, maka ada sekitar 2 juta orang mengalami gangguan jiwa. Sebagian besar dari gangguan tersebut berasal dari ragam depresi di Ibu Kota. Depresi yang lahir dari tekanan ekonomi, pergaulan sosial, macet dan belum lagi karena gagalnyaleg. Sebutlah orang yang tergila -- gila dengan harta, tahta dan Isyana karena tak mampu meraih itu semua, akhirnya menjadi gila.
Dari pembahasan mengenai 'orang gila' kita beralih ke pembahasan 'orang beriman'. Jakarta sebagai representasi dari Negara mayoritas Muslim tentu sangat mempriortaskan urusan ibadah. Ibadah bagi sebagian ummat Islam tak bisa dilepas pisahkan dari rutinitas sehari -- hari. Live style umpamanya. Sudah seperti menjadi kewajiban bagi Kota -- kota besar bahwa simbol 'kapital' mereka salah satunya ada pada pusat perbelanjaan yang kerap kita sebut mall.
Sebagai pasar moderen yang ramah ummat Islam, mall harus mampu menjawab berbagai kebutuhan pengunjung maupun pembelinya. Pelbagai fasilitas wajib disediakan guna memanjakan mereka. Mulai dari brand Islami, ruang istirahat yang syar'i, sampai Mushola atau Masjid yang megah dan nyaman. Lagi -- lagi Jakarta pun mampu menjawab itu semua.
Masjid al -- Hidayah di Gandaria City Mall dan Masjid Blok A di Tanah Abang. Bagi yang sudah pernah mengeyam ibadah disana pastilah akrab dengan suasananya. Padahal salah satu dari Masjid itu pemiliknya non Muslim. Seolah, orientasi bisnis berbanding lurus dengan misi toleransi beragama di Indonesia.
Semua kemewahan yang terkandung di dalam Kota Jakarta tentu adalah hasil buah tangan para Pemimpin Daerah yang pernah membersamainya. Datangnya saya ke Jakarta waktu itu masih zamannya Gubernur Bapak Fauzi Bowo yang akrab di sapa Bang Foke. Dari sekian banyak kebijakan bliyo, yang paling saya nikmati adalah bisa keliling Jakarta dengan biaya hanya tiga ribu lima ratus rupiah saja dalam naungan Bus Transjakarta.