Martabat Partner Sebagai Persona
1.     Untuk membangun suatu relasi yang penuh makna antar seorang pria dan wanita, hendaknya masing-masing pihak menerima, mengerti partnernya sebagai pribadi yang utuh, yang mewakili martabat luhur serta memperlakukannya sesuai dengan martabatnya dan mencintai partnernya karena dia adalah dia yang seutuhnya. Inilah yang disebut cinta personal. Cinta yang melampaui ketertarikan atau persona bagian tertentu saja dari keseluruhan jati diri yang utuh.[1]
     Berdasar pada pertimbangan tersebut, hubungan seksual hanya bermakna apabila sudah ada ikatan perkawinan. Karena hanya dalam ikatan perkawinan (tentu saja monogam, tak terbatalkan dan berdasarkan ikatan janji yang setia), hubungan seksual dapat dikatakan sebagai suatu penyerahan diri yang total dalam kasih setia dan penerimaan partner secara integral.[2]
2. Aspek Cinta
     Dalam pengertian Kristen, hubungan seksual antara seorang pria dan wanita dipandang sebagai suatu peristiwa yang ajaib dan suci. Ajaib, karena di dalam persetubuhan itu terjalin suatu persekutuan hidup. Dua pribadi yang sebelumnya tidak saling mengenal kini menjadi satu. Suci, karena hubungan seksual merupakan suatu jawaban terhadap panggilan Allah untuk mencipta melalui kelahiran baru dan sekaligus menjadi simbol cinta Allah kepada manusia yang menyerahkan diri-Nya secara total. Keajaiban dan kesucian itu hanya bisa terwujud apabila hubungan seksual itu didasari oleh cinta.[3]
     Cinta yang sejati adalah cinta yang mengalir dari kedalaman jati diri, yang keluar dari hari nurani manusia. Cinta dalam cakrawala ini mendorong seseorang untuk mengatakan, "aku ingin agar engkau hidup, kau tetap kau dan aku ingin agar kau semakin menuju ke identitasmu". Oleh karena itu, cinta pada dasarnya adalah keterarahan kepada diri personal dengan tujuan realisasi diri. Walaupun dalam cinta aku terarah keluar kepada engkau, namun justru di sanalah aku pun menemukan identitasku. Dalam antropologi Kristen menjelaskan bahwa dengan cinta yang mengalir dari kebebasan hati nurani yang terdalam, dengan semakin membuka diri dan memberikan diri kepada orang lain, maka identitasku semakin terealisasi dan aku makin menjadi aku.[4] Para moralis katolik dewasa ini menyatakan bahwa hubungan seksual dicadangkan dalam lembaga perkawinan, karena di dalam lembaga perkawinan, cinta sejati bisa diwujudkan secara intensif. Di dalam lembaga perkawinan itu terjadi suati ikatan cinta setia yang tak terbatalkan dan di dalamnya terdapat juga suatu tujuan luhur seklaigus sebagai jawaban atas panggilan Allah sendiri yakni melahirkan anak, membesarkan serta mendidiknya.[5]
3. Aspek Sosial
     Dalam masyarakat masih menjunjung tinggi nilai keintiman pria dan wanita, yakni hubungan seksual. Aktivitas hubungan seksual hanya diakui sebagai baik dan bernilai apabila telah berlangsung suatu peresmian janji kesetiaan antar mereka dalam suatu upacara perkawinan yang disaksikan oleh masyarakat (sekurang-kurangnya diwakili oleh saksi). Gereja sebagai kumpulan sosial, di satu pihak tentu tidak bisa mengabaikan peraturan sosial yang hidup dan dihayati oleh masyarakat di sekelilingnya. Gereja harus menampakkan wajahnya yang khas sebagai lembaga religius. Karena itu dalam rangka memberikan pertimbangannya, para moralis katolik menyertakan pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksudnya adalah agar setiap orang menyadari keberadaannya di tengah masyarakat dan mengerti bahwa aspek sosial merupakan suatu yang sangat essensial. Dengan demikian, para moralis katolik menekankan bahwa satu-satunya tempat yang paling cocok untuk aktivitas tersebut adalah lembaga perkawinan.[6]      Â
4. Cinta Suami-Istri
     Menurut Paus Yohanes Paulus II, keluarga tanpa cinta tidak akan hidup, berkembang dan menyempurnakan dirinya sebagai suatu komunitas antar pribadi. Cinta suami istri dilandaskan pada cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Cinta suami istri menjadi cinta yang penuh. Artinya tidak hanya melibatkan perasaan dan emosi (insting), tetapi juga menyertakan kehendak. Cinta suami istri bukan hanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan di dalam hidup seseorang, tetapi melibatkan pilihan bebas, cinta lebih daripada hanya suatu reaksi ketertarikan secara seksual saja kepada orang lain. Tapi menyangkut seluruh pribadi manusia, termasuk juga segi rohani, spritualnya. Cinta suami istri adalah total, setia, ekskutif (agape).[7]
     Dalam perkawinan cinta berkembang tahap demi tahap. Dalam tahap pertama mereka mengalami cinta "Romantis" kemudian kekecewaan, kesedihan, sengsara, kebangkitan dan ahkirnya mampu mencapai cinta yang dewasa dengan mengembangkan diri sendiri (egonya), yakni dengan memberikan diri demi kebaikan pasangannya dan demi kebaikan hubungan di antara mereka. Cinta bekerja melalui keputusan-keputusan baik kecil maupun besar yang dilakukan oleh bersama dan yang diharapkan akan  bertumbuh dan berkembang terus. Cinta suami istri yang dewasa adalah cinta Agape, sebagai ekpresi atau pancaran kasih Allah sendiri kepada manussia. Di dalam relasi antar pribadi, cinta yang tulus, murni, tanpa pamrih, penuh dedikasi, rela berkorban, setia diberikan kepada yang lain seperti Tuhan menganugerahkan PuteraNya secara  cuma-cuma kepada manusia.[8]
- [1] Dr. P. Go O. Carm, Seksualitas dan Perkawinan (Malang: STFT Widyasasana, 1982), hlm. 231-232.
- [2] Dr. P. Go O. Carm, Seksualitas ... , hlm. 232; bdk. Johan Suban Tukan, Etika Seksual dan Perkawinan (Jakarta: Luceat, 1986), hlm. 99-100.
- [3] Johan Suban Tukan, Etika Seksual ... , hlm. 100.
- [4] Johan Suban Tukan, Etika Seksual ... , hlm. 100-101.
- [5] Johan Suban Tukan, Etika Seksual ... , hlm. 101.
- [6] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dunianya (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 57-59.
- [7] Tim Pusat Pendampingan Keluarga, "Brayat Minulyo" Keusukupan Agung Semarang: Kursus Perkawinan: Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 56.
- [8] Tim Pusat Pendampingan Keluarga, "Brayat Minulyo" ... , hlm. 56-57.