Mohon tunggu...
Pena ReSuPaG
Pena ReSuPaG Mohon Tunggu... Guru - "Jangan pernah ragu meniru penulis lain. Setiap seniman yang tengah mengasah keterampilannya membutuhkan model. Pada akhirnya, Anda akan menemukan gaya sendiri dan menanggalkan kulit penulis yang Anda tiru" (William Zinsser)

Penikmat Kertas-Pena dan Kopi-....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Halangan Nikah: "Adanya Ikatan Perkawinan Sebelumnya" (KHK 1983, Kan. 1085)

20 Desember 2021   10:36 Diperbarui: 15 Februari 2022   10:08 3356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • 1 -- Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum consummatum.
  • 2 -- Meskipun perkawinan yang terdahulu tidak sah atau telah diputus atas alasan apa pun, namun karena itu saja seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi sebelum nyata secara legitim dan pasti mengenai nulitas dan pemutusannya.

          Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal-balik yang utuh dan stabil antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Penyerahan diri timbal-balik ini dinamakan perkawinan, karena diwujudkan melalui dan di dalam suatu ikatan yuridis yang stabil dan permanen. Dalam kan. 1134 dinyatakan bahwa: "Dari perkawinan sah lahirlah ikatan antara suami dan istri, yang dari kodratnya bersifat tetap dan eksklusif". Maka, dalam kan. 1085, 1 menetapkan sebuah norma halangan yang disebut dengan "halangan ikatan perkawinan sebelumnya". Ketentuan tersebut mencerminkan dan merealisasi ciri hakiki perkawinan, yakni kesatuan (unitas) dan tak-terceraikannya (indissolubilitas) perkawinan. Pelanggaran terhadap halangan nikah ini menciptakan perkawinan poligamistik, entah simultan ataupun suksesif.

          Ketentuan kan. 1085, 1 mau mengatakan bahwa seseorang yang sudah atau masih terikat oleh perkawinan sebelumnya terhalang untuk menikah lagi dengan sah. Dengan kata lain, ikatan pernikahan pertama menjadi halangan untuk pernikahan kedua atau menggagalkan perkawinan kedua. Apabila seseorang nekad melakukan pernikahan yang kedua, maka perkawinan itu harus dinyatakan atau dianggap tidak sah (bdk. kan. 1073). Halangan "ikatan perkawinan sebelumnya" berlaku baik bagi orang yang dibaptis maupun bagi orang yang tidak dibaptis. Selain itu juga, halangan tersebut berlaku secara sama baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebab itu, dalam penyelidikan kanonik kepada masing-masing calon mempelai diajukan pertanyaan berikut: "Apakah Anda pernah menikah sebelum ini?", "dengan cara apa?", "kapan"?, dan "dengan siapa?".

          Selain itu, patut dicatat juga bahwa dalam ketentuan kan. 1085, 1 tidak memuat kata "Katolik" atau "kristiani" di belakang kata "perkawinan", melainkan hanya menyebut "ikatan perkawinan sebelumnya". Ikatan perkawinan yang dimaksud adalah tidak hanya mencakup perkawinan antara orang-orang Katolik, namun juga perkawinan sah orang-orang tidak katolik. Dalam hal ini, perceraian nikah yang telah dibuat oleh pengadilan negeri atau pengadilan agama tidak Katolik tidak mempunyai kekuatan kanonik, dalam arti menurut pandangan Gereja, mereka yang telah bercerai masih tetap berada dalam ikatan nikah, sampai perkawinan mereka dinyatakan putus atau batal oleh kuasa Gereja yang berwenang atau jika salah satu pasangannya sudah meninggal (dibuktikan oleh surat kematian atau oleh saksi-saksi). Di samping itu, Gereja Katolik selalu menghargai ikatan perkawinan sah orang-orang tidak Katolik yang dilangsungkan menurut hukum yang berlaku bagi mereka. Di mata Gereja Katolik ikatan perkawinan mereka juga menjadi halangan bagi perkawinan yang kedua.

          Selanjutnya, ada perbedaan bobot antara paragraf pertama dan kedua dari kan. 1085 tersebut. Paragraf pertama mengatur sah-tidaknya (validitas) perkawinan yang kedua. Sedangkan paragraf kedua mengatur halalnya (licitas) perkawinan yang kedua. Artinya, perkawinan adalah sah, jika pada saat perayaan nikah kedua pihak sungguh-sungguh berada dalam status "bebas dari ikatan perkawinan sah sebelumnya". Karena itu, apabila salah satu atau kedua pihak masih terikat perkawinan sah sebelumnya, maka perkawinan mereka yang kedua adalah tidak sah. Jika ikatan perkawinan yang terdahulu tidak sah atau telah diputus atas alasan apa pun, maka mestinya perkawinan yang kedua adalah sah. Namun, perkawinan yang kedua ini tidak halal, jika belum ada kejelasan yang legitim dan pasti mengenai nulitas atau pemutusan perkawinan yang pertama.

          Dengan demikian, jika seseorang menikah lagi, sementara proses anulasi atau pemutusan atas perkawinannya yang pertama belum sampai pada putusan definitif, maka perkawinan kedua harus dianggap tidak halal (illicit). Sedangkan validitas-nya bergantung pada putusan definitif atas perkawinan pertama, yang dijatuhkan oleh tribunal gerejawi yang berwenang. Dalam kasus-kasus tertentu dan demi alasan kemanusiaan, gembala Gereja dapat memberi bantuan kepada calon pasangan suami-isteri untuk dapat menikah secara sipil saja dulu. Tentu saja pihak yang pernah menikah sebelumnya harus sudah memiliki Akta Cerai. Bantuan ini hanya diberikan kepada pasangan, di mana salah satu pihak masih terikat perkawinan yang "dianggap" sah oleh Gereja, namun sedang diproses anulasinya dan ada rekomendasi dari tribunal gerejawi bahwa perkawinan pertama memiliki peluang yang cukup untuk dianulasi, meski masih menunggu waktu lagi untuk putusan definitifnya. Alasan kemanusiaan berarti bahwa yang bersangkutan merasa berat untuk hidup seorang diri dan ingin menggunakan hak-nikahnya secara sipil, atau untuk mencari topangan nafkah dan penghidupan lewat perkawinan, atau anak-anak yang masih kecil sangat membutuhkan figur bapak atau ibu demi pendidikan mereka, dan sebagainya. Sementara itu, yang bersangkutan merasa berat untuk menunggu lebih lama keluarnya putusan definitif dari tribunal gerejawi, serta berat untuk meminta bantuan kepada pelayan non-Katolik. Di lain pihak, tidak jarang terjadi umat Katolik yang telah bercerai, dengan usaha dan tindakan sendiri, memilih menikah lagi hanya secara sipil dan di luar Gereja Katolik, tanpa memohon bantuan tribunal gerejawi untuk memeriksa sah-tidaknya perkawinan yang pertama. Dalam hal ini bisa dipastikan bahwa perkawinan mereka yang pertama adalah sah-sah saja, namun akhirnya bubar, sehingga mereka memiliki keyakinan dalam hati nurani bahwa tidak mungkin menikah lagi di Gereja Katolik secara sah.

          Dalam kan. 1085, 2 menuntut adanya kepastian moral dan yuridis mengenai status bebas dari kedua pihak. Dari sudut pandang sipil atau kenegaraan, kejelasan dan kepastian mengenai status liber diperoleh dari Akta Perceraian yang dikeluarkan secara sah. Namun, bagi Gereja Katolik Akta Cerai sipil belumlah merupakan bukti dan jaminan status liber seseorang. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, melainkan mengeluarkan deklarasi nulitas bagi perkawinan yang tidak sah, atau memutus perkawinan menurut norma hukum kanonik. Gereja Katolik memiliki norma hukum sendiri yang mengatur anulasi dan pemutusan ikatan perkawinan. Karena itu, dalam penyelidikan kanonik calon pengantin yang pernah menikah sebelumnya akan diberi pertanyaan berikut: "Perkawinan anda sebelumnya dibatalkan atau diputus oleh siapa (kematian, atau pengadilan Gereja, atau Pengadilan Negeri, atau Pengadilan Agama, atau cara lain)?", dan "kapan?".

          Sekali lagi, halangan ikatan nikah didasarkan pada kodrat lembaga perkawinan itu sendiri, yakni ke-satu-an (unitas) sebagai essential property dari perkawinan. Dengan kata lain, halangan itu didasarkan pada hukum ilahi-kodrati, yang dikonfirmasi secara konsisten lewat Pewahyuan. Karena itu, halangan ini sama sekali tidak bisa didispensasi oleh otoritas manusiawi mana pun, dan berlaku baik bagi orang-orang Katolik maupun orang-orang tidak Katolik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun