Allah adalah Kasih. Allah menciptakan dan memberdayakan manusia untuk hidup dalam kasih-Nya, selalu berada dalam persekutuan kasih dengan-Nya serta menjadi penyalur kasih-Nya kepada sesama. Namun dalam kenyataannya, manusia tidak setia membangun persekutuan kasih dengan Allah. Manusia mengkhianati kasih setia Allah. Walaupun demikian, kedalaman cinta dan kebesaran kasih Allah kepada manusia tidak pernah surut. Allah tetap mencintai dan mengasihi manusia. Puncak kasih setia Allah kepada manusia dinyatakan secara penuh dan sempurna dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus. Putra-Nya menerima daging manusiawi, rela masuk dan hidup dalam keterbatasan daging serta memberikan diri-Nya agar manusia mengerti dan mengimani kebesaran kasih-Nya: kasih-Nya dicurahkan semata-mata demi keselamatan manusia sendiri.
     Ketidaksetiaan manusia dalam membangun persekutuan kasih dengan Allah dan melandaskan kehidupan bersama dengan yang lain dalam kasih tampak dalam kehidupan manusia sejak awal penciptaan hingga saat ini. Tanpa kasih, kehidupan manusia selalu diwarnai oleh kecurigaan, persaingan, ketidakadilan, penindasan, konflik, pelanggaran hak asasi manusia dan pengasingan. Manusia merasa putus asa dan kehilangan harapan untuk menggapai hidup yang lebih manusiawi. Kenyataan ini meruntuhkan dan merendahkan harkat dan martabat manusia sendiri sebagai insan pengasih dan penyalur kasih Allah kepada sesamanya.
     Fenomena sosial di dunia saat ini pada umumnya, terutama di Indonesia sejak awal Februari 2020 memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ketakutan, kesedihan dan kemelaratan akibat pandemi Covid-19. Covid-19 menghancurkan tatanan sosial, ekonomi, budaya dan spiritual manusia. Manusia kehilangan arah dan pegangan hidup. Semua aktivitas dan pergerakan manusia untuk meneruskan kehidupan menjadi terhambat. Manusia harus membatasi jarak komunikasi antar pribadi dan harus mengisolasikan diri dari sesamanya hanya untuk memutuskan perkembangan virus yang mematikan ini. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan hakikat manusia, terutama kebutuhannya akan kehadiran sesama dalam kehidupannya. Kebutuhan dan kerinduan manusiawi untuk mengasihi, dikasihi dan saling berbagi kasih dibatasi oleh virus yang mematikan ini. Dalam situasi seperti ini, Gereja bertanya diri, "Bagaimana kasih kristiani diwujudkan kepada manusia di dunia ini?
     Bagi Gereja, kerinduan manusia akan kehadiran sesama, kasih, keadilan dan kepedulian merupakan kebutuhan hakiki yang harus dipenuhi. Karena itu, Gereja serentak dipanggil dan diutus untuk membebaskan manusia dari situasi yang menindas ini, demi terwujudnya transformasi dunia yang adil, utuh dan manusiawi. Tindakan aktual yang dilakukan Gereja Katolik di Indonesia dalam menanggapi kerinduan kebutuhan dan kerinduan manusia dalam situasi pandemi ini adalah "menjadi gugus utama pencegahan Covid-19 melalui Caritas Indonesia. Gereja bekerjasama dengan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia dan lembaga caritas yang ada di 37 keuskupan di Indonesia untuk menyalurkan aneka kebutuhan material secara berkala, seperti alat perlindungan diri (APD), masker, hand sanitizer, desinfektan, kebutuhan pokok dan asupan gizi lainnya.
     Gereja juga memberikan peneguhan spiritual melalui edukasi dan promosi kesehatan. Gereja mendukung dan bekerja sama dengan tim medis demi keselamatan para penderita Covid-19. Gereja bertindak sebagai lembaga animator koordinator dan fasilitator pelayanan kemanusiaan. Prioritas pelayanan Gereja adalah kebutuhan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkirkan dan difabel. Gereja menjadi perajut masyarakat melalui pelayanannya yang berlandaskan pada semangat kasih dan bela rasa untuk menyebarkan kasih dan solidaritas Allah kepada manusia. Karya kasih (caritas) sungguh-sungguh menjadi hakikat Gereja dan memancarkan wajah sosial Gereja kepada dunia.
     Gereja sadar dan mengakui bahwa kebutuhan dan kerinduan manusia akan kehadiran sesamanya, situasi batas yang dialami akibat Covid-19, penindasan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan ini hanya bisa diatasi dengan membangun budaya kasih. Sejak zaman para Rasul, Gereja selalu melibatkan diri untuk mengatasi persoalan hidup manusia dengan aneka karya kasihnya. Tindakan Gereja tidak hanya terhenti pada tataran seruan, tetapi melibatkan diri untuk menjawab situasi konkrit manusia dengan tindakan-tindakan kasihnya. Bagi Gereja, semua situasi yang dihadapi manusia zaman ini, terutama kaum miskin dan menderita merupakan kenyataan hidupnya (Gereja) sendiri. Karena itu, Gereja bertanggung jawab untuk ambil bagian dalam persoalan hidup manusia.
    Paus Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia mengharapkan agar Gereja Semesta, terutama Gereja di Asia untuk memusatkan diri pada pelayanan kasih terhadap orang-orang yang membutuhkan, terutama kaum papa-miskin, orang yang menderita kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, tidak mendapat pelayanan kesehatan, tersingkir dalam masyarakat dan tidak memiliki harapan masa depan. Harapan yang sama juga ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium. Paus menegaskan bahwa semua orang Kristen dipanggil untuk menjadi sarana dan alat Tuhan untuk mengangkat dan membebaskan kehidupan kaum miskin.
     Solidaritas Gereja untuk berpihak pada kaum miskin yang menjadi misi luhur dari kasih Kristiani digerakkan oleh sikap Yesus Kristus sendiri. Karena itu, paus mengharapkan agar karya kasih, keadilan dan pembelaan bagi orang-orang yang miskin dan menderita dibangun dalam doa dan kontemplasi. Karya kasih Gereja tidak hanya hadir dalam tatanan lahiriah, tetapi juga sampai pada tatanan spiritual. Karya karitatif Gereja juga tidak hanya menjadi karya kemanusiaan dan kedermawanan, tetapi karya yang berlandaskan kasih. Pelayanan yang berlandaskan kasih dapat menghantar manusia pada perjumpaan dengan Allah yang adalah Kasih.
     Dalam ensiklik Deus Caritas Est, Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa "Allah adalah Kasih. Barangsiapa tetap dalam kasih, dia tetap berada dalam Allah dan Allah dalam dia" (1 Yoh 4:16). Allah mencurahkan kasih-Nya secara berlimpah kepada manusia. Karena itu, manusia harus meneruskan dan membagikan kasih Allah kepada sesamanya.
    Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa kasih yang diterima manusia itu berasal dari Allah. Manusia, terutama warga Gereja harus membagikan kasih Allah kepada sesamanya. Melalui karya-karya karitatifnya, Gereja menyatakan hakikat, jati diri dan panggilannya sebagai persekutuan yang melayani. Panggilan ini merupakan dasar kehidupan Gereja untuk terlibat dan ambil bagian dalam situasi hidup manusia. Melalui panggilan ini, Gereja menunjukkan bahwa sebagai murid Kristus yang telah menerima dan mengalami kasih, Gereja harus berbagi dan memancarkan kasih bagi yang lain.
     Pelayanan karitatif Gereja yang berlandaskan pada kasih mengungkapkan bentuk keterlibatannya dalam masyarakat dan menjadi saksi serta pewarta kasih Allah di tengah dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja tidak hanya berdoa, tetapi juga bertindak secara konkrit dan praksis dengan penuh kasih. Karya karitatif Gereja hadir dan menanggapi kebutuhan aktual manusia tanpa perantara. Bantuan langsung Gereja diberikan dengan cuma-cuma, tanpa memandang perbedaan dan tepat sasaran. Karya karitatif yang demikian menunjukkan kekhasan pelayanan sosial Gerejawi dan dapat dibedakan dari berbagai bentuk pelayanan kemanusiaan lainnya yang ada dalam masyarakat.