Mohon tunggu...
Rendy Wahyu Kurniawan
Rendy Wahyu Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

menonton bola

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Akhlak Tasawuf dan Kecerdasan Emosional dalam Membangun Keluarga Harmonis

12 Oktober 2024   11:52 Diperbarui: 12 Oktober 2024   12:01 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

PENDAHULUAN
Tasawuf dianggap sebagai cabang spiritual Islam dan dipelajari oleh para sarjana. Alasannya karena tasawuf adalah praktik spiritual yang membutuhkan pembelajaran mendalam.1Namun, ada Muslim lain yang percaya bahwa ajaran tasawuf bukan bagian dari ketetapan agama Islam dan malah mewakili jalan mereka sendiri yang terpisah. Sementara beberapa mengklaim bahwa tasawuf tidak hanya relevan tetapi penting untuk memahami doktrin Islam. Argumen dasar mereka yang percaya bahwa tasawuf tidak sepenuhnya diambil dari ajaran Islam adalah bahwa ia berasal dari ajaran Yudaisme dan Kristen. Ada orang lain yang melihat dasar spiritual yang sama antara ajaran tasawuf dan ajaran Hindu dan Budha.Tasawuf sering dipahami sebagai dimensi mistik Islam, dan banyak karya berfokus pada sifat "pengalaman mistik" dan hubungan antara manusia dan Tuhan. 

Namun Sufisme adalah tanggapan manusia terhadap berbagai konteks dan keadaan; fakta bahwa sufi hidup dalam masyarakat dan berinteraksi dengan masyarakat memerlukan bimbingan tentang bagaimana berperilaku. Tasawuf dianggap sebagai cabang ilmu oleh Harun Nasution. Hal ini karena jalan seorang muslim menuju hubungan yang sedekat mungkin dengan Allah SWT tertuang secara detail dalam ajaran tasawuf.2 Pengetahuan dapat dicapai melalui pengamalan tasawuf yang dikenal dengan ilmu intuisi, tanpa perlu melalui proses penalaran tertentu. Jadi, tasawuf adalah ikhtiar untuk membentuk karakter seseorang dengan cara yang diridhai Allah SWT dan mendekatkan seseorang kepada-Nya. Kehidupan Nabi Muhammad saw, dianggap sebagai titik asal perluasan jenis pengalaman spiritual dalam Islam. Sebelum dia diakui sebagai Rasul Allah, dia mengasingkan diri (menyendiri) di gua Hira untuk mendapatkan kejernihan mental dan menyucikan hatinya sebagai persiapan menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.3 Karena itu, jelaslah bahwa Rasulullah SAW telah mempersiapkan kehidupan spiritualnya untuk pekerjaan maha dahsyat yang akan menggelisahkan dunia. Para sahabat dan generasi mendatang akan meniru gayanya yang bersahaja bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Rasulullah SAW wafat, Islam maju dengan cepat, yang mempengaruhi cara Muslim dan nonMuslim menyesuaikan cara hidup dan budaya satu sama lain. Karena itu, terjadi pula pergeseran cara hidup yang berbeda dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW kepada para pengikutnya. Kebanyakan Muslim lebih menginginkan kekayaan materi dan gaya hidup istana.Beberapa diskusi tentang tasawuf dan peran yang dimainkannya, mengharapkan agar tasawuf, khususnya tasawuf akhlaki, dapat mengambil bagian dalam pemecahan berbagai masalah dalam masyarakat yang sedang mengalami kekotoran jiwa. Masyarakat seperti ini, hidup dalam budaya yang mempromosikan kebobrokan moral dan situasinya diperkirakan akan menjadi lebih buruk di masa depan jika tidak dapat dikendalikan. Gejala ini tampak jelas terlihat dan efek buruknya pada kehidupan sehari-hari menjadi semakin jelas pada saat ini. Kebakaran.
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN TENTANG SUFISME
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di kalangan masyarakat kawasan dunia Islam. Fase awal ini disebut juga sebagai "Fase Asketisme". "Fase Asketisme" merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Ditandai dengan munculnya kelompok individu yang lebih condong kepada kehidupan akhirat dibanding kehidupan dunia, sehingga perhatiannya seakan hanya terpusat untuk melakukan ibadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II Hijriah dan sudah mulai menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme ketika memasuki abad ke III Hijriyah. Fase peralihan dari asketisme ke sufisme ini dapat disebut sebagai "Fase Kedua". Fase kedua ini ditandai antara lain dengan adanya pergantian sebutan "Zahid" menjadi "Sufi". Kemudian, percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana penggambaran jiwa yang bersih, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya. Kemudian tindak lanjut dari diskusi ini adalah mulai muncul berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqamat) serta cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik.

B.KARAKTER HISTORIS SUFISME
Dalam sejumlah referensi yang otoritatif, periodesasi sejarah Islam terbagi terbagi menjadi tiga: periode klasik (650-1200 M.), pertengahan (1200-1800 M.), dan baru (1800 M.-sekarang).29 Dalam versi ini, periode modern dan kontemporer sejarah Islam berada dalam periode baru, sejak abad XVIII sampai sekarang. Periodesasi ini dapat digunakan sebagai konfirmasi periodik historis untuk memahami posisi sufisme dalam periode-periode sejarah Islam, termasuk karakter historis sufisme.Sufisme, sebagai ekspresi pemaknaan aspek esoteris agama, memiliki karakter historis yang dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni klasik, modern, dan kontemporer. Dalam kajian ini wawasan.

C.PENGERTIAN TASAWUF AKHLAK
Menurut bahasa akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, kebiasaan, peradaban baik dan agama. Namun bila ditinjau dari isim mashdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq melainkan ikhlaq. Dari berbagai prespektif yang ada, akhlaq juga dapat diartikan secara bahasa sebagai budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muruah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi'at (Nata, 2017, hlm. 1).Kata akhlaq juga merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang pada mulanya bermakna ukuran, latihan dan kebiasaan. Dari kata pertama (ukuran) lahir kata makhluk dikarenakan mahluk merupakan ciptaan yang memiliki ukuran, dari makna kedua (latihan) dan juga yang ketiga (kebiasaan) lahir suatu hal yang positif dan negatif. Makna-makna yang ada secara umum mengisyaratkan bahwa akhlak dalam pengertian budi pekerti maupun sifat yang mantap dalam diri seseorang dapat terlaksana dalam jiwa seseorang setelah berkali-kali proses latihan dan pembiasaan diri dalam melakukannya secara istiqomah (Shihab, 2017, hlm. 3).Ta'dib : Jurnal Pendidikan Islam, x(x), xxxx |230230Konsep Akhlaq Tasawuf Dalam Proses Pendidikan IslamDOI: 10.29313/ tjpi.v10i2.7891Menurut Ibnu Miskawaih dalam Maghfiroh (2016, hlm. 213) akhlak merupakan kosep jalan tengah (Al Wasth) dikarenakan perlunya keseimbangan dalam mengartikan akhlak dalam kehidupan. Jiwa pertengahan dalam akhlak perlu disesuaikan dan terdapat dalam diri manusia jiwa al-bahimiyyah, jiwa al-sabu'iyyah/ghadabiyah dan jiwa al-nathiqah. Maka menurut Miskawaih posisi tengah yaitu jiwa albahimiyah adalah al-'iffah yakni mampu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat, posisi tengah jiwa al-ghadabiyah ialah al-saja'ah atau perwira, yakni keberanian yang diperhitungkan dengan sempurna baik untung mapupun ruginya. Sedangkan jiwa al-natiqah adalah al-hikmah yakni kebijaksanaan. Perpaduan dari ketiganya adalah keadilan atau keseimbangan berperilaku pada ruang lingkup kehidupan.Kondisi jiwa seseorang dalam menerapkan sikap berakhlak diupayakan memiliki unsur pembiasaan, kesadaran jiwa yang penuh dan kemantapan dalam bertindak. Keraguan dan ketidak konsistenan dapat meleburkan arti dari akhlak tersebut yang seharusnya terpatri dalam diri seseorang. Kemantangan dan kesungguhan tersebut menjadikan akhlak sebagai jalan tengah yakni menjadi iffah bagi jasmani dan rohani agar tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang dapat membiaskan akhlak yang seharusnya perlu dipertahankan dan diterapkan dalam keseharian. Pernyataan tersebut sesuai dengan (Shihab, 2017) bahwasannya kondisi jiwa yang mantap berarti sudah siap untuk melakukan akhlak yang baik sedangkan kondisi jiwa yang tidak mantap maka ia belum wajar memiliki akhlak yang baik.Dalam Yasin (2019) Al Ghazali melalui karyanya Kitab Ihya Ulumuddin mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak atau tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnnya.Sedangkan dalam Al Mu'jam al Wasit, akhlak didefinisikan sebagai situasi jiwa yang mengajak pada perbuatan yang dilakukan secara spontan , tanpa harus berpikir atau pertimbangan yang matang dan seksama (Yasin, 2019).Terdapat lima ciri dalam perbuatan akhlak. Pertama, perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Kedua, perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu pemikiran yang panjang. Ketiga, akhlak merupakan perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa perlu dipaksa atau ditekan. Keempat, perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan kesungguhan, tidak untuk dipermainkan atau hanya sebagai peran sandiwara semata. Kelima, akhlak dilakukan dengan rasa yang ikhlas dengan niatan mencari ridho Allah Swr semata tanpa ada rasa riya dan ujub (Nata, 2017, hlm. 5).Definisi akhlak dalam Al Qur'an tidak terlalu mendetail hanya penekanan-penekanan semata yang dimana manusia harus dapat berbudi luhur dan menerapkan sesuatu hal hanya mengharap ridho Allah Swt. Al Qur'an hanya mendefinisikan perintah perbuatan yang berakhlak seperti larangan memakan makanan yang haram, dan penerapan kehidupan sehari-hari berdasarkan prinsip Al Qur'an (Yasin, 2019).

Manusia juga memiliki kemampuan yang lain. Fitrah adalah kualitas dengan kecenderungan alami untuk kebaikan. Ada juga yang disebut nafsu, yang bisa berakibat buruk. Tasawuf akhlaki, dengan demikian, mengacu pada tubuh pengetahuan yang berkaitan dengan filsafat moral.7 Untuk ciri-ciri seorang sufi yang berakhlak.
penting untuk diperhatikan ini antara lain:
1)mendasarkan ajarannya pada dasar yang kuat yang diberikan oleh Al-Qur'an dan tradisi Sahabat.
2)Hubungan tasawuf (sebagai praktik mistik) dan syariat (aturan hukum) (sebagai aspek eksternal)
3) lebih banyak pendekatan dualistik untuk mengajar tentang Tuhan dan kemanusiaan.

D.PENGERTIAN MORAL
Suatu hal yang tampaknya penting ketika diwacanakan urgensi tasawuf dalam konteks pembinaan moral bangsa. Sebab, inti dari ajaran tasawuf pada dasarnya adalah ajaran tentang moral (akhlak). Rasulullah SAW sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.1 Demikian pula semangat al-Qur`an sebagai sumber pokok ajaran Islam, menurut Fazlur Rahman, tema inti WDosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung 1Lihat: Hadis riwayat Muslim dan Ahmad dari Abi Hurairah. Tasawuf Sosial
H. MA. Achlami) Program Pascasarjana IAIN Raden Intan 91 dan utamanya adalah semangat moral.2 Itulah sebabnya, akhlak Rasulullah SAW, menurut Aisyah, adalah al-Qur`an.3Karenanya, pewacanaan urgensi tasawuf dalam pembinaan moral bangsa menjadi sangat penting, ketika kita melihat fakta dan realita, bahwa masyarakat yang beragama sekalipun ternyata tidak dijamin memiliki moralitas yang baik. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, dan mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam. Tetapi kenyataannya, berbagai kerusuhan, pelanggaran hak azasi manusia, tindak korupsi, kolusi, suap, prostitusi, miras dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, perampokan, pembegalan, pencurian, dan tindak kriminal lainnya,hampir setiap hari terjadi di mana-mana mengisi lembaran dan mewarnai pemberitaan di berbagai media massa.

E.TASAWUF SOSIAL DAN PEMBINAAN MORAL

Krisis moral yang melanda bangsa Indonesia adalah sebagai akibat dari krisis spiritual. Sebab keberagamaan bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya umat Islam, lebih mementingkan agama dalam bentuknya yang formal daripada rasa penghayatan batin terhadap agama, sehingga agama tidak menimbulkan kesan apa-apa pada jiwa mereka. Penghayatan batin terhadap agama, dapat ditempa melalui latihan rohani (riyddbab) dan bersunggu- sungguh berjuang mengendalikan hawa nafsu (mujabadab), dan tasawuf adalah sebagai salah satu solusi alternatif yang nanpaknya efektif dalam menumbuhkan rasa penghayatan batin terhadap pengamalan agama. Adapun sistematika dan tahapan dalam proses pembinaan moral menurut versi tasawuf secara metodologis dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Tahap Takballi, yakni tahap pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, seperti sifat 'ujub, takabur, riya, hasad, dusta, bakhil, dsb. Sifat-sifat tercela itu muncul sebagai akibat dari dominasi nafsu yang menguasai jiwa manusia. Oleh karena itu, pada tahap takhalli ini para sufi melatih diri (riyadhal) dengan bersungguh-sungguh untuk mengendalikan nafsu (mujabadab). Mereka melatih diri dan bersungguh-sungguh untuk tidak melakukan perbuatan maksiat yang akan mengotori jiwanya. Sebab, jiwa yang kotor tidak dapat menerima cahaya ilahiyah. Akibatnya hati menjadi gelap dan terhijab untuk bekomunikasi dengan Allah Azza wa Jalla. Kebersihan jiwa (tazkiyab al-nafs) menjadi penting sebagai tahapan yang harus dilalui dalam upaya pembinaan moral.
Kedua, Tahap Tahalli, yakni tahap pengisian dan penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji, seperti taubat, zuhud, wara', syukur, sabar, tawakal, ridha, dsb.

KESIMPULAN
Kebebasan yang kebablasan dalam mengejar ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemajuan lainnya, pada akhirnya menjauhkan manusia dari Tuhan. Inilah sumber masalah utama yang mengganggu peradaban modern. Dalam hal ini tasawuf memiliki peran yang besar karena mengajak individu untuk mengenal diri mereka sendiri dan Tuhan, yang merupakan langkah awal menuju emansipasi spiritual. Ajaran moral tasawuf memberikan kerangka untuk mengembangkan karakter seseorang dengan cara memuliakan Tuhan, sesama manusia, dan diri sendiri. Demikian pula dengan introspeksi diri, membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Ketika diterapkan pada kehidupan seseorang, prinsip-prinsip tasawuf dapat berfungsi sebagai pedoman untuk tindakan, standar untuk mengukur diri sendiri, dan sumber inspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun