Rumah merupakan kebutuhan pokok yang harus terpenuhi setiap manusia. Meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkat pula kebutuhan akan rumah. Berbagai kebijakan pemerintah pun terus dilakukan untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh rumah, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Salah satu kebijakan terbaru pemerintah adalah pengesahan Undang-Undang Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat pada 23 Februari 2016 lalu.
Jika dilihat, dalam penjelasan Undang-undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disebutkan bahwa perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pemenuhan atas kebutuhan rumah merupakan penjabaran dari amanat yang terkandung di dalam UUD 1945. Terpenuhinya kebutuhan perumahan akan memberi rasa aman bagi setiap orang dan percaya diri atas kemampuan ekonomi untuk membina keluarga dan menyiapkan generasi masa yang akan datang yang lebih baik. Bagi sebagian besar masyarakat, pemenuhan kebutuhan rumah masih sulit diwujudkan. Setiap tahun masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan dan penyediaan rumah. Selain itu, ada kendala khusus yang dihadapi oleh masyarakat berpenghasilan rendah, yakni rendahnya daya beli dan/atau terbatasnya akses terhadap sistem pembiayaan perumahan.
Selain itu, dalam konsideran menimbang undang-undang ini juga disebutkan bahwa negara menjamin pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga hadirnya Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dianggap oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan penjaminan akses masyarakat terhadap hak atas tempat tinggal atau rumah.
Negara Setengah Hati?
Secara filosofis, kehadiran undang-undang ini mengandung semangat bahwa Negara harus hadir ditengah warganya dan menjamin agar setiap warganya terpenuhi kebutuhannya atas tempat tinggal yang layak. Namun jika melihat ketentuan dalam undang-undang tersebut, terlihat bahwa peran Negara dalam hal pendanaan peserta dapat dibilang sangat minim karena hampir seluruh danayang digunakan bersumber dari peserta. Semestinya penyediaan rumah bagi masyarakat berpengahasilan rendah (MBR) khususnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab segala hal terkait dengan public housing menjadi tanggung jawab pemerintah dimana pemerintah semestinya berperan penuh termasuk dalam hal pendanaan. Sebab jika melihat Undang-undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan kawasan pemukiman, dalam pasal 13 poin f dan g disebutkan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR serta memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR.
Selain itu, undang-undang ini lebih mengutamakan kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera semata serta pembentukan kelembagaan pengelola Tapera. Mekanisme penyaluran dan sampai sejauh mana peserta Tapera bisa memperoleh rumah sebagai imbal hasil atas iuran yang dibayarkan juga tidak disebutkan jangka waktunya. Peran negara hanya sebatas menyediakan dana awal yang bersumber dari APBN untuk membiayai operasional Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). Dalam hal terjadi kekurangan hasil pengelolaan dana awal untuk biaya operasional BP Tapera, kekurangannya dipenuhi dari sebagian hasil pemupukan Dana Tapera yang sumbernya adalah iuran peserta. Semestinya dengan semangat gotong-royong yang dianut oleh undang-undang ini, negara juga gotong royong berpatisipasi dalam pembiayaan iuran serta operational BP Tapera secara berkelanjutan. Negara seolah melepas tanggung jawabnya dengan menyerahkan kepada badan pengelola dengan skema tabungan perumahan.
Pada sisi yang lain pula, eskalasi masif pekerja kontrak dan alih daya masih juga mewarnai kondisi ketenagakerjaan nasional kita. Ini jadi ancaman serius bagi peserta Tapera. Undang-undang Tapera mengamanatkan bahwa setiap warga negara Indonesia yang bekerja dalam hubungan kerja atau yang bekerja mandiri wajib menjadi peserta Tapera. Amanat ini akan sulit dicapai bila pemerintah membiarkan berlanjutnya penyimpangan hukum ketenagakerjaan dan meluasnya pekerja kontrak dan alih daya. Masa kerja pendek dan hubungan kerja yang tidak jelas menjadikan mereka tidak memiliki kesempatan mengiur sebagai peserta jaminan sosial dalam jangka panjang.
Agenda ke Depan
Pada kenyataannya tentu tidak mudah untuk memenuhi kewajiban pemerintah tersebut. Sejumlah faktor dibutuhkan untuk memastikan agar Undang-undang Tapera bisa berjalan secara efektif. Pertama, Setelah diundangkannya UU Tapera, maka tugas pemerintah selanjutnya adalah menyelesaikan penyusunan peraturan perundang-undangan ke dalam pengaturan yang lebih teknis, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden dan peraturan Badan Pelaksana Tapera agar beberapa hal yang masih menyisakan pertanyaan seperti kepastian peserta Tapera mendapatkan rumah bisa terjawab.Â
Kedua, Menjadikan pemerintah daerah sebagai ujung tombak. Sebab seringkali pemda sebagai aktor utama dari pembangunan perumahan terlupakan. Caranya adalah dengan melakukan internalisasi konsep rumah sebagai hak  asasi manusia ke dalam dokumen perencanaan pemerintah daerah. Semisal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang didalamnya tertuang secara eksplisit sehingga dapat diukur capaiannya. Yang Ketiga, adalah mengintensifkan berbagai dialog yang melibatkan banyak pihak mulai dari LSM, swasta, masyarakat, akademisi, yang diharapkan dapat berkontribusi dalam proses prencanaan, perencanaan, serta pengelolaan perumahan. Sebab kita semua berharap kehadiran undang-undang tapera berserta peraturan teknis yang mengikutinya bisa menjembatani gap keterjangkauan kepemilikan rumah serta menjadi harapan baru bagi rakyat untuk memiliki rumah.
(Tulisan ini dimuat dalam rubrik opini Harian Radar Buton 7 April 2016)