Mohon tunggu...
Rendy Saputra
Rendy Saputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kita tidak harus hebat saat memulai tapi harus memulai untuk menjadi hebat. Salam Pemula :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hantu Birokrasi Itu Bernama Mutasi

10 Mei 2013   21:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:47 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MUTASI yang selalu terjadi setiap pergantian pemimpin yang baru seolah menjadi hantu sekaligus momok menakutkan bagi para birokrasi. Betapa tidak, akhir-akhir ini daerah kita dengan slogan SEMERBAKnya harus berjibaku dengan konflik yang melibatkan ratusan PNS melawan kepala daerah akibat dari politik mutasi yang dilakukan oleh sang kepala daerah.

Sebenarnya, dalam perspektif tata kelola pemerintahan, Politik mutasi sebagai kebijakan (termasuk didalamnya promosi dan degradasi) adalah perkara wajar bahkan harus dilakukan dalam tata kelola pemerintahan. Tujuan paling utama adalah untuk pemantapan masa kepemimpinan dan satu jalur dengan perjuangan pemimpin terpilih yang sudah dirancang sebelum mereka terpilih sebagai pemimpin. Setiap pemimpin tentu mempunyai visi dan misi dalam memegang tampuk kekuasaannya, dan jauh sebelumnya (mungkin) sudah dirancang struktur kepemimpinan supaya jika terpilih nanti tidak menghabiskan waktu yang banyak untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan menjabat di berbagai jabatan dalam masa kepemimpinannya.

Mungkin, inilah yang menjadi alasan bagi pasangan AS Tamrin -Wd. Maasra melakukan gerakan mutasi besar-besaran didalam tubuh birokrasi Kota Baubau. Dan mungkin juga, tsunami politik yang bebentuk mutasi ini merupakan politik balas dendam sang pemimpin terpilih terhadap mereka yang dianggap tidak mendukungnya ketika perhelatan kontestasi Pemilukada Kota Baubau beberapa waktu yang lalu. Walaupun menurut hemat penulis politik mutasi yang berbentuk kebijakan hingga 3 (tiga) gelombang yang dilakukan Walikota berslogan TAMPIL MESRA beberapa waktu yang lalu terkesan menabrak aturan dan mengabaikan norma-norma yang berlaku. Salah satunya adalah promosi mantan koruptor menduduki jabatan struktural di RSUD.

Namun terlepas persoalan benar tidaknya proses mutasi tersebut, apakah para PNS yang terkena gelombang tsunami politik mutasi dan merasa dizalimi dapat melakukan perlawanan??

Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menegaskan bahwa “Sengketa Kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara”. Ketentuan inilah yang menjadi salah satu dasar bagi PNS untuk mempertahankan hak-haknya sebagai PNS jika merasa Keputusan Badan atau Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (baik yang bersifat formal, prosedur maupun materiil/substansial), Badan atau Pejabat TUN dengan keputusannya telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain daripada wewenang yang diberikan (detournement de pouvoir), dan/atau Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan secara tidak patut (willekeur).

Pada prinsipnya semua sengketa kepegawaian dapat digugat langsung ke peradilan TUN. Namun sebelum langsung menempuh jalur melalui sebuah peradilan tetap, sengketa-sengketa dibidang kepegawaian terlebih dahulu diselesaikan melalui suatu proses yang mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat yang disebut peradilan semu( Quasi rechtspraak). Pengertian Peradilan kepegawaian yang dimaksud adalah serentetan prosedur administrasi yang ditempuh oleh pegawai negeri, apabila ia merasa tidak puas dan berkeberatan atas suatu tindakan berupa keputusan yang dilakukan atasannya (pejabat yang berwenang) yang merupakan kepentingannya.

Dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 Jo Undang-undang No 43 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Jo UU No 9 tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal sengketa kepegawaian terlebih dahulu dilakukan prosedur administrasi di lingkungan pemerintahan sendiri. Bila mana penyelesaian tersebut belum memberikan kepuasan maka PNS yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Administrasi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) sebagai pengadilan tingkat pertama.

Sehingga menurut penulis, langkah prioritas yang harus dilakukan para PNS untuk membela kepentingan hukum yang dilanggar adalah bersama-sama menempuh mekanisme penyelesaian secara hukum pula. Bukan melalui aksi-aksi spontanitas dalam bentuk unjuk rasa dan sejenisnya yang sudah tentu akan menguras banyak energi daerah yang kita cintai ini walaupun tindakan seperti itu adalah hak yang juga dijamin dalam konstitusi kita.

Persoalannya kemudian apakah PNS mau dan berani memanfaatkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam rangka membela dan mempertahankan hak-haknya. Kemauan dan keberanian ini penting karena ketika keputusan untuk menempuh jalan ini telah diambil berarti bahwa PNS yang bersangkutan telah siap melakukan konfrontasi terbuka dengan Penguasa yang notabene memiliki segalanya baik kekuasaan maupun uang sehingga bisa dengan mudah memainkan keduanya demi kepentingannya. Seorang PNS yang telah berani menempuh jalan ini benar-benar harus streril dari berbagai kesalahan dan pelanggaran selama menjadi PNS, karena pihak Penguasa yang akan digugat mungkin akan menggunakan segala cara untuk membongkar semua kesalahan tersebut, dan bisa berdampak fatal terhadap PNS yang bersangkutan.

Tentu hal ini juga yang menjadi penting menjadi bahan pertimbangan sebab kepala daerah yang merupakan produk desentralisasi adalah raja didaerah yang menguasai wilayah otonominya masing-masing. Mereka berkuasa dengan pengawalan hantu yang menakutkan yang bernama : Mutasi. Yang sewaktu-waktu bisa ia panggil untuk menakuti sekaligus membasmi mereka yang secara subyektif dianggap tidak loyal padanya. Hantu yang bisa menjadikan mereka seorang pesakitan di kantor dengan gelar non-job. Para oknum yang mencoba adaptif tentunya harus mampu meng-evolusi-kan lidahnya agar menjadi penjilat yang lihai, karena kalau tidak, itu artinya ia harus ikhlas dan lapang dada tergerus oleh seleksi alam artifisial. Sadis memang.

Pada akhirnya tentu kita semua berharap polemik gelombang mutasi yang banyak menguras energy daerah yang kita cintai ini dapat cepat terselesaikan dengan baik sehingga daerah kita dan Sang Pemimpin terpilih bias segera menstabilkan jalannya pemerintahan dan menunaikan janji-janji politiknya yang dahulu.

(Tulisan ini dimuat di harian lokal Buton Pos,  10/5/13)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun