Mohon tunggu...
Rendy Saputra
Rendy Saputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kita tidak harus hebat saat memulai tapi harus memulai untuk menjadi hebat. Salam Pemula :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Para Presiden Quick Count

13 Juli 2014   12:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:29 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405202274164001875

“Di negeri #Jancukers tidak ada twitwar, karena jurus tertinggi di dunia persilatan manapun adalah menghindari perkelahian”

Sebuah kutipan yang saya temukan dalam buku Republik #Jancukers karya dalang edan Sudjiwotedjo. Sebuah buku yang berisi tentang angannya soal Negeri #Jancukers, negeri yang dimana nyaris tak pernah ada bentrok antarsuporter bola karena di stadion, sebelum berlangsungnya laga, pulu

[caption id="attachment_347445" align="alignnone" width="300" caption="Foto : Pribadi"][/caption]

han ribu penonton bola sudah dihidangi prasmanan bermutu. Sebuah negeri khayalan yang memang tidak seutopia yang digagas Plato, tetapi ideal seperti yang dicita-citakan para pendiri negeri ini. Sebuah negeri yang dibangun dengan rasa tulus dan kehendak akrab satu sama lain. Sebuah negeri yang dalam angannya jauh dari hiruk pikuk soal pemilihan pemimpin seperti Indonesia saat ini. Mungkin..

Perjalanan panjang pemilihan presiden 2014 yang penuh gegap gempita hampir usai.  Tanggal 9 Juli kemarin yang diharapkan sebagai klimaks dari pertarungan para capres ternyata belum menunjukkan tanda-tanda anti klimaks bahkan malah semakin memanas. Sebab pada perjalanannya, pertarungan hidup mati kedua kandidat, tidak hanya berlangsung pada level elite politik tapi sampai pada tingkatan akar rumput bahkan saat ini mulai memasuki tahap panas tinggi dengan saling melempar bom propaganda secara bombastis. Ketika masyarakat berharap keesokan hari usai pencoblosan masyarakat sudah melihat siapa pemimpin yang akan menahkodai Indonesia pasca presiden SBY, masayarakat justru disuguhkan dengan parade kemenangan kedua capres berdasar pada hasil quick count (hitung cepat) yang dilaksanakan oleh lembaga survey.

Saling klaim kemenangan berdasarkan hasil quick count beberapa lembaga dilayar kaca tentu bingungkan pemilih. Hal ini terlihat dimana masing-masing kubu menggunakan media sebagai alat propaganda dan penggiringan opini. Tujuan jelas, supaya public menganggap kemenangan telah terjadi. Mirisnya media sebagai bahan rujukan kini juga terdistorsi kepentingan politik sehingga kita sebagai masyarakat bingung mencari berita yang sahih. Tp sudahlah, Politic is all about perception. Politik dikendalikan opini dan persepsi. Tiap pendukung tentu percaya hasil quick count yang memenangkan kandidatnya.

Bukan hanya pilpres, bahkan ditiap pilkada quick count pun kadang berbeda. Tapi selebrasi klaim kemenangan selalu ditunjukkan oleh masing-masing kandidatuntuk membentuk persepsi masyarakat pemilih. Sebenarnya ketimbang selebrasi berlebihan, mengawasi “sihir-sihir” menjelang penetapan resmi KPU merupakan hal yang paling penting. Sebab hingga penetapan resmi diumumkan, potensi kecurangan masih dapat terjadi.

Di acara buka bersama teman kelas sore tadi, quick count masih jadi topik diskusi yang hangat. Berbagai argumentasi berseliweran disela-sela es kelapa, maupun soda gembira. Mungkin besok-besok pilpres tak usah diadakan. Kita pake survey saja. Pertanyaannya sederhana, sejak kapan hasil quick count lebih sahih ketimbang manual count? Bersabar dan menunggu hasil KPU tentu merupakan pilihan paling bijak. Sebab jika hasil penggiringan opini tersebut berbeda dengan hitungan manual KPU, maka tentu KPU dituding berbuat curang.

Tentu tidak ada yang menjamin di KPU akan bebas kecurangan. Hanya saja data yang dihasilkan KPU lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding data survei. Sebab di KPU, ada mekanisme kontrol lebih berlapis. Semua pihak punya data dan semua bisa kawal. Dari awal hingga akhir.

Kita tidak menafikan kerja-kerja intelektual. Tentu quick count merupakan pekerjaan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Tapi ketika ada hasil berbeda, siapa yang ingin dituding tak kredibel? Soal kredibilitas, ibarat warung makan biarkan konsumen menilai. Masak iya sesama lembaga survey saling mengadili?

Jadi ketika berbeda, KPU menjadi lembaga yang paling berkompeten mengumumkan hasil. Toh dengan sumber data yg sama yakni C1 yamg dimiliki masing-masing capres, tentu hasil perhitungan suara akan sama pula. Masing-masing tim bisa mengecek kesamaan C1 yg mereka punya melalui hasil scan C1 yang diunggah pada website KPU kemudian sila dibandingkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun