Mohon tunggu...
Rendy Rahadiansyah
Rendy Rahadiansyah Mohon Tunggu... -

beragam manusia datang kepadaku untuk bercerita, berlalu di atasku dengan langkah nyaring, lalu tak pernah kembali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perahu Karam

30 Mei 2013   21:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:47 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang harus kukatakan, sedangkan mulutku kelu. Apakah masih ada yang tersisa untuk bisa diucapkan. Kelu rasanya. Perpisahan yang menjadi keharusan dan wajah sendu mencurahkan airmata tak diinginkan. Kenyataanya memang mengerikan. Tidak ingin aku seperti ini, mendarat di pelabuhan kecil tanpa kehidupan secuil pun. Hanya pepohonan yang membuatku sinis. Hampir tiga bulan, aku mengarungi lautan lepas seorang diri, menyisiri selat demi selat bahkan samudra. Ini kulakukan hanya untukmu kapal X. Kemana engkau pergi? Dan, kenapa tidak ada kabar dari dirimu, aku rindu, aku ingin bercerita banyak padamu. Kau tahu, di usiaku yang hampir setengah abad, hanya kau yang dapat aku jadikan sahabat di pelabuhan.

Aku dengar dari nakodaku, kau berlayar ke negeri Timur tanpa persiapan. Apa itu benar? Di sini, aku mengkhawatirkanmu. Aku takut di tengah samudra kau kehabisan bahan bakar dan usiamu jauh lebih tua dari aku, maka dari itu aku tak kuasa membayangkan. Kawanku, kapan kau kembali?

Jika tetap seperti ini, menunggu di pelabuhan kecil, aku lebih baik mati ditengah lautan biru yang tenang. Di pelabuhan ini tak ada apapun. Aku benar-benar kesepian.

Di saat senja memerah, aku memutuskan mencarimu lagi. Kali ini, rutenya sedikit berbeda. Tubuhku yang bobrok mengapung ringan diatas air laut yang asin. Seperti air mataku. Ketika aku menoleh ke belakang, kepulan asap hitam dari pembakaranku membumbung rendah lalu menghilang ditelan langit senja. Warna senja perlahan menghitam kawanku. Air laut pun seperti gumpalan lendir hasil dari godokkan keputusasaanku. Lihat binta itu, kawanku! Itu bintang para pelaut. Dulu kau sering sekali menceritakan pertualanganmu mengarungi lautan. Aku jadi rindu akan celotehanmu.

***

“Hei, pak tua! Tahukah perahu bobrok selain aku melintas ke sini?”tanyaku pada perahu nelayan.

“Kapal bobrok maksudmu?”

“Iya. Kau tahu?”

“Emm.. mungkin dari sini setengah jam kau arungi. Dia ada di arah sana. Dan kulihat, sejak tadi dia terus berjalan sambil melamun.”jelas perahu nelayan itu.

Setelah mengucapkan terimakasih, aku bergegas meninggalkan perahu nelayan itu dan melanjutkan perjalananku mencari sahabatku. Kawan tunggu aku di sana, gumamku.

Permukaan laut berkilauan oleh cahaya bintang dan kudengar bisikan lidah ombak yang terus menerus mengempas tubuh tuaku. Angin timur terkadang menghalau pandanganku.

Ya, sendirian di lautan ini, mencari dan terus mencarimu sahabatku. Setengah jam sudah berlalu, tapi aku tak dapat menemukan tubuhmu. Aku menoleh ke kiri, kosong. Aku menoleh ke kanan, kosong juga. Dimana kau, kawanku? Batinku. Lalu di saat putus asa, seekor burungpelikan menghampiriku. Kau kapal Y, bukan? Tanya burung pelikan itu sembari mengapung di udara.

“Ya. Ada apa?”tanyaku.

“Syukurlah, akhirnya aku menemukanmu juga. Maaf, aku duduuk di atas kepalamu,”ujarnya sambil menurunkan tubuhnya dan hinggap di tubuhku.”Begini, aku diamanatkan oleh kapal X untuk menyampaikan surat kepadamu. Itu saja.”setelah berkata begitu, kulihat dia mengeluarkan surat dari mulutnya dengan tersedak-sedak seperti orang menunggu ajal. Aku raih surat itu dan segera kubaca. Dan seperti inilah suratnya;

‘Setiap kapal yang berlayar mengarungi lautan dengan gontai. Suatu saat nanti akan karam. Dan, sekarang yang aku alami. Seberapa jauh aku menyusuri lautan yang luas, secuil pun aku tak mampu mengindari kekacawan hati. Kau, sahabatku. Dan kaulah yang mampu mengerti aku. Sayangnya, aku sudah memutuskan jalan untuk seterusnya. Terimaksih kawan.’

Tanpa sadar, tubuhku terasa kaku dan mengucur airmata tak terbendung. Dalam malam merayap gelap pekatdan menjadi malamaku sendiri. Sekarang dan seterusnya. Selamat jalan kawanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun