Mohon tunggu...
Rendy Rahadiansyah
Rendy Rahadiansyah Mohon Tunggu... -

beragam manusia datang kepadaku untuk bercerita, berlalu di atasku dengan langkah nyaring, lalu tak pernah kembali

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pengakuan 3

31 Mei 2013   00:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:46 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat aku menjadi mahasiswa, kehidupanku jadi mandeg di tengah pusaran dosa iri hati dan keyakinan yang terus membelengguku sampai aku tidak bisa bernapas, makan-minum, dan tidur. Aku tidak berdaya melakukan semua hal itu, karena tidak ada harapan terwujudnya keinginanku. Aku menikmati kepuasan keinginanku yang tak akan terwujud ( bagiku itu sudah cukup ). Dan aku menyadari kalau itu hanya delusi bagi hati dan pikiranku yang tidak waras karena dosa iri hati. Dan yang bisa aku lakukan saat ini hanya menunggu kehancuran dari kebenaran hidup yang tidak berarti ( dan terus menghindari semua ketidakinginan yang justru akan menimpaku yakni penderitaan dan kematian yang nyata ) sampai akhirnya aku benar-benar menjadi mandeg oleh kehidupan yang hampa ini.

Secara fisik aku bisa mengikuti dunia yang terus berkembang. Tetapi secara mental dan moral aku terseok-seok oleh kerasnya dosa hati yang terus menjeratku menjadi lelaki tolol. Dunia serba membingungkan bagiku. Ketika kuliah pun tak ada perubahan yang bisa disebut dengan perubahan ( mental atau pun moral ) lagi-lagi terasa hambar untuk dinikmati.Dan dalam situasi ini, ternyata aku tidak bisa hidup karena aku takut pada kematian yang terus mengintaiku setiap saat ( beberapa kali aku sempat mencoba menghabisi nyawaku dengan berbagai cara, dan entah kenapa sampai saat ini aku masih hidup? ). Ya, aku harus cerdik pada diriku agar tidak melakukan hal bodoh ( mengambil nyawa demi kehidupan yang teramat bodoh ).

Kondisi mentalku menjadikan diriku seperti itu, menjadi boneka mainan ‘seseorang’. Meskipun aku tidak percaya dengan ‘DIA’ yang menciptakanku dan memberikan permainan sandiwara yang bodoh, tetapi itu bukti nyata adanya ‘seseorang’ yang memberi kehidupan. Sayangnya, teori hanyalah dugaan sementara yang masih simpang siur. Bahkan seorang filsuf pun tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan; kenapa aku ada disini? Kenapa ada dunia?

Jika sejak dahulu aku paham tentang kehidupan ini yang tak punya makna, mungkin aku terbebas dari dosa iri hati yang menjeratku dalam ke-fana-an hidup. Mungkin karena itu memang nasibku. Dan sungguh mengerikan. Ingin rasanya bunuh diri karena keberadaanku yang mengerikan. Dan tak tahan menunggu kisah akhirnya. Bagaimana pun aku ingin melepaskan kegelapan dalam jiwaku secepatnya ( disini, perasaanku terus memberontak untuk melakukan bunuh diri ).

Mungkin aku salah mengerti. Tak wajar bagi lelaki mempunyai rasa putus asa. Aneh jika dipikirkan secara matang. Dalam kondisi seperti itu aku terus mencari jawaban atas dosa iri hatiku yang tak kunjung sirnah. Siang-malam aku mencari seperti pendosa yang ingin diselamatkan―tapi tak kutemukan jawaban atas dosaku. Hingga dapat kusimpulkan; kami ( para pendosa ) melihat hidup adalah kemalangan keturunan ( itu adalah satu-satunya pondasi yang menjadi kenyakinan dalam kehidupanku atas persoalan hidup ).

Ya, dalam kondisi yang tidak stabil aku mengalami pasang-surut keimanan karena dosa. Begitu banyak dosa yang aku perbuat sampai menjadikanku kalut terhadap dunia fana ini. Sungguh tidak ada kejelasan dari kehidupanku. Seperti terombang-ambing dalam lautan dunia yang begitu menyedihkan karena aku tidak menyadari apa yang sudah aku lakukan selama ini. Sudah lama aku tak mampu percaya pada agama, hal itu tak memberikan jawaban atas persoalan kehidupanku. Bahkan sains pun tak mampu, dan ketika aku lihat atmosfir yang meliputi sains aku mencurigai ada sesuatu yang tidak bisa dipahami. ( Aku sama sekali tidak bisa menemukan jawaban pasti atas kehidupan dan keyakinanku yang terus menurun seiring waktu berjalan. Mungkin di dalam darahku, masih tersisa butir kayakinan ) dan sisanya hanya waktu yang membuktikan. Begitulah dalam pikiranku yang terus menerus membandingkan; agama dengan keyakinan, keyakinan dengan tindakan, dan batasan terhadapan keyakinan dan agama.

Namun, akal sehatku berpikir lain, bahwa reinkarnasi dan kayakinan memiliki jalan tersendiri yang sulit bagi kita untuk menebaknya. Dan jawaban Schopenhaur: hidup tak memiliki makna dan merupakan kemalangan, itu adalah hal yang kupahami sekarang. Hal itu, sangat mencerminkan perasaanku akan dunia yang penuh ke-fana-an ini.

Dan...

Saat mengamati dunia secara seksama, aku sedih melihat orang dengan bangga menenteng nerakanya sendiri. Mengabdikan dirinya pada kehidupan dan mengabaikan jiwa yang benar. Dosa hati, membuat orang tak menghargai hidup, dan memegang erat-erat kehidupan sehingga mempermalukan diri sendiri karena dosa itu. Ini termasuk kategori orang yang menganggap enteng dosa hati. Sungguh sulit menemukan orang yang tidak melakukan dosa...

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun