Mohon tunggu...
Rendy Rahadiansyah
Rendy Rahadiansyah Mohon Tunggu... -

beragam manusia datang kepadaku untuk bercerita, berlalu di atasku dengan langkah nyaring, lalu tak pernah kembali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasion D'etre - 1 -

10 April 2014   20:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ilusi

“Kau yakin?” tanyaku sambil menekukkan leher ke kanan.

Perempuan itu membisu. Menatap nanar wajahku. Beberapa dekit kemudian, dia memalingkan wajah sendunya dan berjalan lemah menuju jendela. Waktu itu; malam bulan purnama. Cahaya bulan merangsek masuk ke kamar ketika perempuan itu menyibak gorden.

Setelah menghembuskan napas yang terdengar begitu berat, dia menoleh ke arahku.

“Positif,” ujar perempuan itu singkat. Ada keheningan. “Berapakalipun tes. Hasilnya tetap sama.”

“Apa kau berencana akan melahirkan anak?”kataku pelan. “Atau....”

“Aku akan melahirkannya,” terang perempuan itu dengan nada datar. “Kalau lancar aku akan melahirkan Januari tahun depan.”

“Lalu, kau tahu siapa bapaknya?”

Dia menggelengkan kepala pelan sambil mengelus-elus perutnya. Setelah itu dia menghela napas. “Siapa bapaknya, aku nggak ambil pusing. Di dalam perutku ini, aku dapat merasakan kehadirannya. Dan saat ini masih kecil. Tapi tak lama lagi dia akan tumbuh besar. Inilah cahaya kecil yang diberikan Tuhan di dalam perutku. Cahaya kecil yang suatu saat nanti mungkin akan menerangi kegelapan hidupku.”

Aku bungkam sejenak. Kemudian membuka mulut. “Aku paham. Untuk sementara sampai kau melahirkan, aku akan memindahkanmu ke tempat yang lebih layak. Tapi kau harus berjanji. Setelah melahirkannya, kau akan kembali ke rumah bordil ini.”

“Aku paham,” ujarnya.

Setelah itu aku melangkah ke luar kamar.

69

Sepuluh menit kemudian.

‘Hei, kau pernah berpikir kalau kita ini manusia sampah,’ Bisik seorang perempuan di telingaku. Aku noleh dan menatatap wajahnya. Bola matanya yang bulat dan jernih menatapku lekat.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum simpul.

‘Kenapa kau bisa mengatakan hal itu?’ tanyaku pelan sambil kupeluk erat tubuhnya.

‘Karena kita mahluk buangan. Seandainya Adam dan Hawa tidak melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, mungkin kita masih di surga. Kalau membayangkan itu, bahagia rasanya.’ Ujarnya dalam pelukanku.

Hening. Keheningan yang begitu dalam. Sampai-sampai suara kendaraan terdengar seperti gemuruh ombak di kejauhan. Aku menghirup napas dalam dan kuhembuskan pelan. Setelah itu aku kendurkan pelukanku dan duduk di sofa.

Dalam keremangan kamar hotel, perempuan itu tampak menyedihkan sosoknya. Ketika cahaya bulan jatuh perlahan ke tubuhnya dan sosoknya yang menyedihkan itu berubah lebih hidup. Lalu dia membungkukkan badannya, mengambil bra dan celana dalam yang berendra di lantai dan kemudian memakainya.

‘Mungkin terdengar konyol. Tapi apa yang kukatakan memang betul.’ Ucap perempuan itu sambil membetulkan bra. Setelah meneguk bir di gelas kecil aku berkata,

‘Kau terlalu banyak minum,’

Perempuan itu menoleh ke arahku. Tak lama kemudian, dia tersenyum kecut.

‘Kau yang terlalu banyak minum. Sudah kubilang jangan minum bir masih saja kau minum bir.’ Ujar perempuan itu agak jengkel. Lalu dia duduk di sampingku dan membisu.

Hampir lima menit kami membisu. Ketika kumenoleh ke arahnya. Perempuan itu sudah lenyap. Cahaya kamar hotel semakin gelap. Cahaya bulan pun meredup.

>>

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun