Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 22) - Catatan Perjalanan Tiga dan Empat

4 April 2024   10:36 Diperbarui: 4 April 2024   10:54 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CATATAN PERJALANAN TIGA

Ilustrasi: penulis sendiri (karena tidak bisa digambar langsung di kompasiana, sehingga harus dibuat manual dahulu kemudian di screenshot)
Ilustrasi: penulis sendiri (karena tidak bisa digambar langsung di kompasiana, sehingga harus dibuat manual dahulu kemudian di screenshot)

CATATAN PERJALANAN EMPAT

Baca juga: 40 Hari Dajjal

 

            Bagi kami, aku dan Dalem, berlibur itu adalah sesuatu yang istimewa. Tak pernah selama kami bekerja di Kraton Mataram dapat berlibur ke luar wilayah kerajaan, maksimal mungkin hanya sampai ke wilayah Parahiyangan di sebelah barat. Di sana tanahnya juga subur dan banyak sekali hasil buminya. Orang-orangnya tidak berbeda jauh dengan masyarakat Mataram. Ada masjid besar, pasar, tempat-tempat wisata yang menarik, juga tentunya tempat belajar yang cukup terkenal berlambang gajah besar, kalau di Mataram lambangnya seorang patih dari jaman Majapahit dahulu. Kata para senior kami di Kraton, tempat berlibur yang paling terkenal bagi mereka dahulu adalah Pulau Bali. Aku dan Dalem hanya mengiyakan saja dan mencoba membayangkan bagaimana keindahan Pulau Dewata yang mereka ceritakan itu. Namun dalam hati, kami tidak begitu tertarik untuk pergi ke Bali, karena sudah sering sekali kami melihat utusan dari pulau itu datang ke Kraton. Dalam benak dan pikiran kami hanya ada satu tempat yang mungkin bisa memenuhi hasrat untuk pergi berlibur. Tempat yang selalu diceritakan dengan sangat luar biasa oleh utusan-utusan Mataram sehabis kembali dari sana. Mereka berbicara tentang tata kotanya, bagaimana sebuah pelabuhan disulap dengan sedemikian apiknya sehingga menjadikan tempat itu mengalahkan Buton dan Darussalam. Meskipun sebenarnya setelah kami kemari, aku berpikir bahwa masing-masing memiliki sisi keunikannya sendiri. Buton dengan kesederhanaannya dalam berpolitik serta berbangsa dan Darussalam dengan kokohnya akidah.

             Pertama kali mendengar nama Malaka, aku dan Dalem membacanya dari beberapa buku di Perpustakaan Mataram. Buku-buku itu menuliskan bagaimana Malaka sangat terkenal sekali di mata orang-orang 'prenggi' pada masa lalu dan ketika kami melihat sendiri pelabuhannya yang menjadi satu dengan penginapan, toko-toko, serta perumahan para penduduk, memang tidak salah apa yang dituliskan di buku-buku sejarah itu. Malaka memang indah, baru sekali ini aku dan Dalem melihat deretan bunga-bunga sepanjang jalan masuk di pelabuhan dimana warung-warung makan dan penginapan berjejer rapi. Dalem memilih salah satu tempat penginapan yang mahal padahal kami bisa tidur di penginapan sederhana sebelahnya, yah tapi atas saran Pak Affar juga sih akhirnya kami memilih untuk menginap di tempat itu. Paginya Dalem juga memesan makanan paling mahal di sana, hal yang membuatku sempat kesal, untungnya semua itu terlupakan oleh pemandangan indah dari kapal-kapal yang lalu lalang. Beberapa melambai kepadaku dan Dalem yang makan dari lantai paling atas tempat kami menginap, hal yang sama yang kami lakukan ketika melewati penginapan serupa ketika masuk pelabuhan menaiki kapal. Bedanya penginapan kami lebih masuk ke dalam dari pelabuhan, namun bentuknya memang sama dengan yang di dekat pintu masuk.

             Alhamdulillah, di sini kami memperoleh pengetahuan yang amat sangat berharga. Aku dan Dalem sendiri cukup kaget dulunya ternyata mata uang kertas mendominasi seluruh dunia dan setiap negara memiliki mata uang kertasnya masing-masing. Nilainya bisa dimanipulasi, bahkan ada satu mata uang dari negara tertentu yang menjadi syarat dalam perdagangan antar negara, yang tentunya bisa dicetak seenaknya sendiri oleh negara asal uang tersebut. Yah, dengan berbagai alasan dan tipuan tentunya sehingga membuat yang lain terperdaya dan ikut-ikutan. Aku dan Dalem sempat mengobrol dengan Imam Hassan setelah pertemuan kita kembali, kenapa ya dulu bangsa kita bodoh sekali mau menggunakan sistem mata uang seperti itu, yang dijawab dengan sedikit tertawa oleh beliau, "Karena yang membuat sistem keuangan seperti itu adalah mereka yang memenangkan perang dunia kedua, sehingga membuat negara-negara lain hanya dapat patuh dan tunduk". Aku berpikir kembali, ah masak sampai segitunya, paling tidak kan ada transaksi-transaksi dengan emas dan perak di pasar-pasar di desa. Pertanyaan, yang kembali ditertawakan, *duh pikirku, aku dan Dalem mungkin terlalu polos. Tapi Imam Hassan menjelaskan dengan cukup detail bahwa memang dahulu sampai di desa-desa pun terperdaya dengan sistem seperti itu. Aku mengingat kembali apa yang telah disampaikan penceramah di gedung pertemuan waktu itu, memang wajar sih, pada awalnya mereka menawarkan sistem dengan jujur dan terbuka tetapi kemudian mereka berkhianat dan mnegubah sistem dengan sesuka hatinya sendiri. Uang yang dahulu dilahirkan dari emas, kemudian diubah standarnya menjadi minyak bumi, terakhir hanya atas dasar 'trust', kepercayaan belaka. Sempat kutanyakan apa maksudnya yang terakhir, Imam Hassan bercerita bahwa Raden Eru pernah mengobrol dengan beliau tentang itu, bahwa dulu ada mata uang yang tidak nampak dan berwujud, namanya 'mata uang digital'. Wah! Kenapa enggak ngobrol dari dulu sama Raden Eru tentang itu ya.. Beliau memang sibuk dan kadang hanya mengobrol mengenai hal-hal yang kami tanyakan saja. Padahal seingatku dulu beliau sempat meceritakannya di salah satu khutbah jum'at, tapi waktu itu aku sama sekali belum paham, jadi ya ketiduran deh kayak Dalem..

             Serangan mendadak dan salah sasaran yang kami alami ketika menghadiri Konferensi Sejarah dan Masa Depan Uang berlangsung memang sangatlah mengejutkan. Apalagi yang menjadi korban salah sasaran adalah Pak Affar, untung beliau selamat. Belum diketahui secara pasti apa motif di balik penyerangan itu. Alhamdulillah sekali aku dan dalem Cuma pusing-pusing saja, senjata yang dibaluri obat bius itu sungguh cepat bereaksi, untung aku rajin ikut latihan bela diri di kraton. Walaupun hanya dasar-dasarnya saja yang kukuasai. Kalau Dalem jangan ditanya, bahkan yang sudah sabuk merah lama sekalipun bisa ditandinginya. Sayangnya dia hanya bisa bertahan tanpa senjata, apalagi serangan itu sangatlah tiba-tiba. Kecurigaan kami setelah dipanggil ke Kraton Malaka hanya satu hal, mungkin Imam Hassan merencanakan sesuatu dengan mengajak Malaka. Entah apa itu, tapi aku kaget dengan datangnya Laksamana Hang Tuah, apalagi beliau segera meminta kami yang tidak ikut rapat kemarin untuk pergi meninggalkan ruangan. Setelah aku dan Dalem mengobrol mungkin sepertinya beliau cukup stress dan kaget dengan apa yang terjadi, karena toh, dia sebenarnya sasaran utama para penculik itu. Aku dan Dalem tidak berani bertanya lebih jauh, apalagi Imam Hassan juga sepertinya menyembunyikan sesuatu.

             Pembahasan mengenai sejarah Malaka baru sedikit didapat, ah tapi kami yakin tempat seterkenal ini pastilah ada di mana-mana referensinya, dan siapa tahu bisa menjadi alasan bagi kami untuk kemari lagi suatu saat nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun