Hari sudah kembali malam, pikiran Abdi dan Dalem tidak bisa fokus karena masih dihantui pemandangan tadi siang. Bahkan mereka tidak begitu ingat percakapan dengan Ustad Murhum sekembalinya dari Masjid Agung tadi.
      Secara garis besar suasananya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan hukum Hudud di Samudera ketika hukum Qishas dilaksanakan. Abdi dan Dalem masih mengingat jelas pelaksanaan hukum Hudud di Samudera, hanya saja kali ini lebih ramai. Rasa pusing dan mual membuat mereka berdua tidak bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar tempat pelaksanaan hukuman. Sedikit yang mereka ingat, kumpulan ulama dan ustad yang cukup banyak, orang-orang berpakaian ala Kesultanan Buton berjejer dan berbaris rapi di depan, dan terakhir adalah ingatan paling tidak bisa mereka lupakan, lepasnya kepala dari tubuh terpidana mati. Abdi sempat muntah sedikit sedangkan Dalem hanya memegang leher dan dadanya, mereka tidak bisa pergi dari tempat itu karena termasuk yang berdiri di samping barisan depan bersama para ulama termasuk di dalamnya Ustad Murhum.
      "Sudah, tidur dulu saja Di, ga usah diinget-inget lagi, oh iya, tadi pas pulang bertiga saja kan ya? Lupa aku Di..." Dalem sudah pasang posisi tidur menghadap samping kanan.
      "Eh, iya Lem, Mas Rade tetap tinggal di Masjid Agung, kalau gak salah Mas Rade dikasih peci hitam untuk menggantikan peci merahnya ya, wah lupa juga aku Lem," ujar Abdi sembari memandang keluar ke arah jendela.
      Mereka berdua tidur cukup pulas malam itu. Kelelahan akibat perjalanan yang cukup panjang membuat keduanya tak sempat lagi memperpanjang obrolan. Dengkuran Dalem tak dapat membangunkan Abdi meskipun mereka tidur bersebelahan di asrama Madrasah Dayanu.
      Suara kicau burung begitu riang pagi ini, angin terasa sejuk dan sepoi. Pepohonan sangat rindang diantara gedung-gedung sekolah tempat belajar. Tenang dan nyaman, begitulah suasana di masjid Madrasah Dayanu yang terletak persis di tengah-tengah kompleks pendidikan terbesar Buton ini. Di dalamnya dapat memuat hampir seluruh siswa yang belajar di Dayanu. Sholat Jumat dan Subuh tidak berbeda jumlah, sama padat dan ramainya. Santri Madrasah yang sedang memiliki waktu luang saat Dhuha sering kali mendatangi masjid. Selain sholat dan belajar mereka juga kadang mendatangi kuliah umum yang diisi oleh ustad dan para pengajar. Saat mentari naik sepenggalah, terlihat di dalam seseorang yang sudah tua sedang berbicara di depan cukup banyak santri, kebanyakan dari mereka adalah santri tingkat tiga belas ke atas.
      "Buton memiliki akar budaya kuat yang tidak bertentangan dengan Agama. Islam merupakan rahmat yang diturunkan Allah SWT yang dengannya para leluhur kita membangun bangsa di Nusantara sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. MenjadikanNya sebagai Pemilik Kedaulatan Tertinggi."
      Ustad Murhum tampak mengacungkan jari telunjuknya ke langit sembari memandang para santri.
      "Kedaulatan berada di tangan Allah SWT, bukan di tangan rakyat," ucapnya penuh ketegasan.
      "Allah memberi kita petunjuk untuk menjalankan cara hidup yang mulia melalui Dien Islam. Setiap diri haruslah sadar bahwa yang memiliki kekuasaan atas segala sesuatu adalah Allah SWT. Kewajiban kita adalah berusaha dalam meraih serta mewujudkan apa yang menjadi impian dan apa yang kita cita-citakan, termasuk di dalamnya ialah memilih pemimpin untuk negeri ini," arah pembahasan sudah dapat ditebak akan ke mana, tampak di baris terdepan dua orang berpakaian khas jawa duduk berdampingan.