Â
Di tengah tantangan yang semakin mendesak terkait perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, Indonesia merintis jalan harapan melalui kebijakan dan langkah-langkah nyata dalam menjaga kelestarian alam. Salah satu elemen sentral dari perjuangan ini adalah upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang terdokumentasi dalam buku "Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018". Angka-angka ini bukan hanya sekadar statistik, tetapi representasi dari perjalanan panjang menuju pelukan alam yang lestari.
Sebelum memasuki rincian angka dan kebijakan, mari kita merayakan satu momen penting dalam kalender keberlanjutan Indonesia, yaitu Hari Menanam Pohon Indonesia. Ditetapkan pada tanggal 28 November setiap tahunnya, hari ini menjadi tonggak bersejarah yang mengingatkan kita akan tanggung jawab kolektif untuk merawat bumi tempat kita berpijak.
Hari Menanam Pohon Indonesia bukan hanya seremoni tanam tumbuh biasa. Ini adalah perwujudan nyata dari kesadaran akan pentingnya menanam pohon sebagai langkah konkret melawan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2008, Hari Menanam Pohon Indonesia menjadi momen refleksi dan tindakan, di mana setiap individu diundang untuk menanam harapan dan merawat alam.
 Mengulas Angka dan Sejarah: Tantangan dan Progres 2015-2022
Tinjauan tahunan rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia memberikan gambaran dinamis tentang perjuangan bangsa ini dalam menjaga ekosistem yang semakin rentan. Dimulai pada tahun 2015, upaya rehabilitasi mencakup lahan seluas 200,447 hektare. Langkah ini diikuti dengan keberlanjutan di tahun-tahun berikutnya, meskipun dengan fluktuasi yang menggambarkan kompleksitas tantangan yang dihadapi.
Pada 2016 dan 2017, luasan rehabilitasi mencapai 198,346 hektare dan 200,900 hektare, masing-masing. Pada saat itu, langkah-langkah positif ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam melibatkan berbagai pihak dalam menyelamatkan lahan-lahan yang terdegradasi. Meski pada tahun 2018 terjadi penurunan menjadi 188,630 hektare, tetapi angka ini masih menunjukkan peran yang signifikan dalam memulihkan keberlanjutan ekosistem.
Pada tahun 2019, terjadi lonjakan dramatis dengan luasan rehabilitasi mencapai 396,168 hektare. Peningkatan ini mencerminkan kesadaran akan eskalasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, yang kemudian dijawab dengan langkah-langkah konkret. Namun, keberlanjutan progres ini menjadi pertanyaan ketika pada 2021 terjadi penurunan tajam menjadi 152,454 hektare, yang diikuti oleh angka 112,418 hektare pada tahun 2022.
 Ecological Fiscal Transfer (EFT): Melibatkan Semua Lapisan Masyarakat
Kunci utama dalam perjalanan rehabilitasi hutan dan lahan ini adalah penerapan Ecological Fiscal Transfer (EFT), atau transfer fiskal berbasis ekologi. Sebuah pendekatan yang memastikan bahwa langkah-langkah pelestarian alam tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga mendorong partisipasi dan kinerja ekologi dari tingkat provinsi hingga tingkat desa.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dari Kementerian Keuangan, dana transfer fiskal berbasis ekologi pada tahun 2023 mencapai pagu sebesar Rp1,04 triliun. Dana ini dialokasikan melalui beberapa instrumen, termasuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan insentif.