Dilansir dari situs resmi Commuterline Jabodetabek, awal tahun 2023 telah menunjukkan lonjakan signifikan dalam penggunaan Commuterline, layanan kereta komuter yang telah menjadi nadi transportasi warga Jabodetabek. Dengan angka mencengangkan, sebanyak 20.622.659 penumpang meramaikan perjalanan, menciptakan denyut nadi yang selalu menjadi bagian dalam sistem transportasi ibu kota.
Sebuah fenomena menarik melingkupi data rinci yang diungkapkan oleh KAI Commuter. Rata-rata harian sebanyak 736.524 penumpang menunjukkan betapa pentingnya Commuterline dalam keseharian warga metropolitan. Terlebih, pada hari kerja, volume pengguna mencapai puncaknya dengan angka 795.067 orang. Hal ini, memperlihatkan betapa vitalnya peran Commuterline dalam menggerakkan roda kehidupan kota.
Namun, tidak bisa diabaikan bahwa terdapat nuansa kepadatan yang terfokus pada waktu-waktu tertentu setiap hari. Dari pukul 05.30 hingga 07.30 WIB, Commuterline menjadi saksi bisu kesibukan pagi warga Jabodetabek. Waktu operasional yang dimulai dari pukul 04.00 hingga 24.00 WIB setiap harinya menciptakan pola perjalanan yang menyeluruh, menjawab kebutuhan mobilitas masyarakat metropolitan yang tak pernah tidur.
Namun, tantangan sebenarnya muncul pada jam-jam sibuk sore, antara pukul 16.00 hingga 18.00 WIB. Pada rentang waktu ini, KRL menjadi laluan bagi ribuan pekerja yang bergerak pulang setelah seharian mengabdi pada pekerjaan. Kesibukan ini bukan hanya mencerminkan tingginya ketergantungan warga Jabodetabek pada layanan ini, tetapi juga menyoroti kebutuhan akan peningkatan infrastruktur dan efisiensi layanan.
Layanan yang Banyak Meniru
Sejalan dengan lonjakan penggunaan, KAI Commuter mengoperasikan 1.090 perjalanan Commuterline di wilayah Jabodetabek. Angka yang cukup mengesankan, tetapi apakah sudah cukup untuk mengakomodasi lonjakan angka pengguna? Pertanyaan ini menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh pihak terkait dalam memastikan kelancaran dan keamanan perjalanan bagi pengguna setia Commuterline.
Perlu diakui bahwa penggunaan Commuterline bukan hanya menciptakan tekanan pada layanan transportasi, tetapi juga memberikan gambaran jelas tentang pola hidup masyarakat. Sebagai jawaban atas permintaan akan mobilitas yang terus berkembang, perluasan dan peningkatan kapasitas Commuterline menjadi sebuah langkah strategis yang tidak bisa dihindari.
Dalam aspek layanan, KRL terlihat banyak meniru model Jepang. Dari kebersihan stasiun hingga ketepatan waktu, setiap detilnya mencerminkan filosofi kerja yang menjadi ciri khas negeri Sakura. Bahkan, layanan pelanggan yang ramah dan responsif juga menjadi daya tarik utama yang diterapkan oleh Commuterline, sebuah nilai yang jelas diwarisi dari Jepang.
Tidak hanya itu, aturan yang diimplementasikan dalam operasional Commuterline juga banyak mengambil inspirasi dari negara samurai tersebut. Disiplin penumpang dalam antrian, penggunaan masker, dan perilaku tertib di dalam kereta adalah bukti konkrit bagaimana nilai-nilai kebudayaan Jepang dapat diadopsi secara efektif di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam.
Namun demikian, sama seperti Jepang, banyak terjadi tindak pelecehan seksual di dalam kereta. Di Jepang hal ini diistilahkan dengan Chikan/Tchikan. Di Indonesia sendiri, sudah banyak berita-berita yang menyampaikan tentang tindak pelecehan seksual di KRL. Peningkatan keamanan dengan melibatkan petugas-petugas keamanan di dalam gerbong-gerbong kereta menjadi solusi yang cukup efektif. Namun bagaimana jika kondisi sangat padat seperti fakta yang telah disebutkan terlebih dahulu di atas tadi setiap hari? Pasti tidak mungkin melakukan kontrol, bahkan kondisi ini akan sangat rentan menimbulkan konflik baik kecil maupun besar terutama diantara penumpang dalam gerbong yang sama.