Apakah masyarakat lebih baik bergantung pada PLN sebagai penyedia listrik komersial atau beralih ke PLTS sebagai 'sumber listrik merdeka?'
PLN sebagai perusahaan listrik negara memiliki peran penting dalam menyediakan pasokan listrik untuk masyarakat. Namun, dengan kehadiran teknologi PLTS yang semakin matang, masyarakat memiliki alternatif untuk memproduksi listrik mereka sendiri secara mandiri. Ini membuka peluang bagi masyarakat untuk menjadi "listrik merdeka" dengan memasang PLTS Atap di rumah mereka.
PLN sebagai penyedia listrik komersial memiliki infrastruktur yang mapan dan cakupan yang luas, sehingga mampu menyediakan pasokan listrik yang stabil dan andal. Namun, dengan ketergantungan pada sumber daya energi konvensional yang terbatas dan berdampak negatif pada lingkungan, keberlanjutan energi menjadi perhatian utama. PLTS Atap sebagai sumber listrik merdeka menawarkan solusi yang ramah lingkungan, mengurangi emisi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Keuntungan menggunakan PLTS Atap sebagai listrik merdeka adalah terdapatnya sumber energi yang tak terbatas dan gratis, yaitu sinar matahari. PLTS Atap memungkinkan penggunaan energi terbarukan secara mandiri, menghasilkan listrik tanpa membebankan lingkungan. Penggunaan PLTS Atap juga memberikan kebebasan dalam mengelola penggunaan energi dan mengurangi ketergantungan pada pasokan listrik PLN.
Namun, perlu diingat bahwa pemasangan PLTS Atap membutuhkan investasi awal yang signifikan. Meskipun biaya instalasi bisa mencapai jutaan rupiah, dalam jangka panjang, penghematan dari tagihan listrik dan potensi penjualan kelebihan tenaga dapat menghasilkan pengembalian investasi yang menguntungkan. Selain itu, pemasangan PLTS Atap juga memerlukan pemeliharaan rutin dan pemantauan untuk memastikan kinerja yang optimal.
Dalam hal peraturan dan insentif, perlindungan dan pemberian fasilitas yang adil bagi pengguna PLTS Atap sangat penting. Peraturan yang mendukung dan insentif yang sesuai dapat mendorong adopsi teknologi energi terbarukan. Pembaharuan peraturan dan penyederhanaan proses perizinan akan memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk memasang PLTS Atap di rumah mereka.
Di tengah kondisi iklim tanpa musim yang menyediakan sinar matahari sepanjang tahun dan tipe perumahan yang umumnya melekat dengan tanah, penggunaan panel surya atap sebagai sumber energi alternatif memang sangat tepat diterapkan di Indonesia. Sayangnya, saat ini terdapat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkait dengan Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang perlu ditinjau ulang.
Peraturan tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada PLN, mulai dari izin instalasi hingga pembelian kelebihan tenaga dengan potongan harga. Namun, secara praktis, hal ini menempatkan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan pembangkit listrik komersial. Pemberian kewenangan yang begitu besar kepada PLN ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, bertentangan dengan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan diversifikasi sumber listrik, dan secara umum kontraproduktif terhadap upaya pengurangan emisi dari pembangkit listrik.
Dalam rangka memenuhi target Pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan, khususnya tenaga surya yang tersedia secara melimpah dan gratis, kebijakan yang terkandung dalam Peraturan Menteri ESDM terkait Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN perlu ditinjau ulang. Insentif atau perlakuan yang tidak diskriminatif harus diberikan kepada pihak yang ingin beralih ke PLTS Atap dan berkontribusi pada keberlanjutan energi ramah lingkungan. Bentuk dan isi peraturan yang diterbitkan juga harus memperhatikan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menghindari pertentangan dengan instrumen hukum lain, termasuk peraturan yang tingkatannya lebih tinggi, baik dalam kandungan materi yang sesuai maupun pencabutan wewenang khusus bagi pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang dan Konstitusi.
Adanya PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara yang memiliki mandat untuk menyelenggarakan ketenagalistrikan tidak boleh diartikan sebagai pemberian wewenang yang melampaui batas dan memberikan kuasa perizinan yang berpotensi menimbulkan berbagai perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.