Sobat pemerhati dunia pendidikan tentu merasakan, betapa berbedanya suasana pembelajaran kelas di saat kita masih duduk di bangku sekolah dahulu dibandingkan dengan kondisi saat ini. Lemparan kapur dan penghapus mungkin hanya kita tanggapi dengan diam dan patuh menjalani hukuman karena memang kesalahan sebagian besar berada di diri kita sendiri. Berbeda dengan saat ini yang mungkin lebih ekspresif, entah itu memang kesalahan si murid atau gurunya sendiri yang memang kelewatan. Namun tak sedikit yang berkata jikalau memang sopan santun, sikap, dan perilaku siswa zaman sekarang berbeda jauh dengan di masa lalu.
      Tuntutan kurikulum memang semakin berat, kadang kita sebagai orang tua melihat anak-anak di rumah mengerjakan PR (pekerjaan rumah) yang dahulu seharusnya dikerjakan oleh mereka dengan tingkat kelas lebih tinggi. Murid kelas 1 sekarang seperti sudah selevel dengan mereka yang dahulu, di masa kita, berada di kelas 2 atau bahkan kelas 3. Namun demikian untungnya itu diimbangi dengan semakin mudahnya akses untuk bertanya dan mencari jawaban.
      Nah, yang mengkhawatirkan justru tempat-tempat akses mereka terhadap ilmu pengetahuan itu kadang tak diawasi dengan ketat. Internet dan seluruh kontennya tentu tak hanya menghadirkan sesuatu yang positif bagi siswa didik namun juga sisi negatif yang karena menjadi tontonan sehari-hari akan membentuk pola pikir dan perilaku anak. Belum lagi pergaulan yang berbeda jauh dengan dulu ketika kita masih bersekolah, kini jauh lebih bebas. Ratusan siswa sekolah sudah dilaporkan menikah dini tahun lalu. Dengar saja bagaimana kata-kata umpatan itu dengan mudah meluncur dari tiap-tiap mulut mereka terutama di kanal-kanal media yang data kita saksikan sehari-hari. Sungguh sangat merisaukan, coba Anda bayangkan anak-anak seperti apa yang akan mereka lahirkan di generasi selanjutnya? Cucu-cucu kita nanti?
      Pendidikan pancasila yang dahulu masih diajarkan memang berakhir hanya sekedar hafalan butir-butir, pasal-pasal Undang-Undang Dasar, serta kecocokan antara soal dan jawaban yang tersedia. Perilaku siswa didik lebih banyak dibentuk dari lingkungan tempat mereka belajar serta tentu saja tontonan mereka sehari-hari ketika berada di rumah. Sibuknya kedua orang tua dalam bekerja tanpa menyempatkan waktu khusus untuk melakukan pengawasan sejauh mana perkembangan pendidikan anaknya juga memperparah kondisi ini.
      Bolak-baliknya kurikulum di Indonesia tentu telah melewati proses diskusi panjang dan pemikiran tak ada habisnya oleh para senior pendidik di negeri ini. Para pejabat yang menentukan pastilah tak sembarang mengeluarkan peraturan. Akan tetapi ketidak-konsistenan kurikulum yang berlaku serta dianggap sebelah matanya pendidikan perilaku murid-murid di sekolah menjadikan pembentukan karakter emas generasi penerus bangsa tak pernah terwujud. Mereka yang pintar ujung-ujungnya sama, ketika telah berhasil berada di puncak-puncak hanya menambah berita tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme yang memang sudah mengakar kuat di negeri ini. Perilaku bejat dan pelecehan pun sudah bukan menjadi hal baru, hampir setiap hari beritanya ada di mana-mana. Bahayanya kita semua sudah terbiasa dengan hal itu dan membiarkan degradasi moral ini terus terjadi begitu saja.    Â
      Pendidikan moral memang paling tepat disandingkan dengan pendidikan agama. Bagi yang memiliki uang tentu lebih memilih sekolah dengan nuansa keagamaan kuat dengan akreditasi terbaik dibandingkan harus menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, terkecuali jika sekolah negeri itu termasuk ke dalam sekolah favorit di tingkat nasional. Pancasila yang hanya berakhir pada hafalan tadi diperparah dengan para pemeran aneka acara yang ditayangkan oleh televisi, mereka biasanya menggunakan kata ‘pancasila’ hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan, keringanan proses hukum, atau lebih parahnya lagi demi membenarkan tindakan mereka yang menyimpang. Padahal dari sudut pandang agama apa yang mereka lakukan itu sudah benar-benar menyimpang. Dalam hal ini penulis berkseimpulan bahwa Agama lebih bisa dijadikan standar karena ia berasal dari Tuhan Pencipta Langit dan Bumi dan lebih sesuai dengan isi hati serta fitrah manusia yang beradab. Hal ini juga sangat berkesesuaian dengan Pancasila itu sendiri yang di sila paling dasarnya ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi Agama sudah sewajarnya disandingkan dengan pendidikan moral anak Indonesia. Â
      Apa yang dirasakan penulis saat ini sebagai orang tua tentu berharap sekolah dapat mendidik anak-anak tidak hanya pintar dalam angka dan hafalan saja, namun juga terbentuknya perilaku manusia seutuhnya yang bernilai baik. Perilaku sopan santun, disiplin, serta tentunya kata-kata yang baik menjadi hal yang didambakan bagi mereka yang telah lulus bersekolah. Bukankah Akhlak menjadi yang utama bagi para penuntut ilmu? Susahnya mata pelajaran dapat diatasi dengan bertanya kembali ke berbagai sumber ilmu baik orang, buku, maupun media pembelajaran yang telah tersedia tetapi rusaknya moral, perilaku, dan akhlak tak akan bisa diselesaikan hanya dalam satu-dua bulan saja. Hal itu harus dibentuk setiap pagi, setiap siang hari, setiap sore hari, setiap pekan, setiap bulan, hingga berjalan tahunan. Barulah akan terbentuk sikap dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H