Laut China Selatan (LCS) telah menarik mata Internasional akan potensi konflik bersenjata yang dapat memicu ancaman serius. Konflik Laut China Selatan bermulai saat Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II dan secara resmi melepaskan klaim territorial atas Laut China Selatan pada tahun 1951. Beijing sejak 1947 secara khusus memperkenalkan istilah "Nine Dash Line" dalam upaya mengklaim kawasan Laut China Selatan sebagai wilayah toritorialnya. Klaim tersebut semakin kuat setelah penyataan Jepang melepaskan kuasanya atas Laut China Selatan.
Jepang tidak menjelaskan siapa yang berhak atas kepulauan di Laut China Selatan telah  meninggalkan dosa besar yang menyulut api konflik di kawasan Asia -- Pasifik. Sejak pernyataannya pada 1951, kepulauan di Laut China Selatan berubah menjadi medan laga yang mempertontonkan perebutan status kepemilikan antara China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.Â
Pada mulanya konflik tersebut hanya berfokus pada status kepemilikan pulau saja. Namun, konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mulai berlaku pada awal tahun 1980an terkait Zona Ekonomi Eksklusif telah membawa babak baru dalam konflik Laut China Selatan.
Negara - negara yang mengklaim kepemilikan atas Laut China Selatan secara frontal menggambarkan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif masing-masing pada petanya. Â Jika kita lihat secara seksama, terjadi tumpang tindih pada setiap klaim Zona Ekonomi Eksklusif. Tumpang tindih ini diperburuk dengan Nine Dash Line China yang secara sepihak mengakui seluruh daratan maupun perairan di dalamnya merupakan teritorial China.
Nine Dash Line China ditolak oleh seluruh negara yang mengklaim kepemilikan Laut China Selatan. Vietnam menjadi negara terkuat dalam melawan klaim China. Hanoi dengan keras membantah catatan sejarah China yang menjadi dasar klaim di Laut China Selatan.
Tindakan serupa juga dilakukan Indonesia, Jakarta terancam secara langsung oleh klaim Nine Dash Line China. Wilayah perairan Laut Natuna Utara Indonesia masuk dalam klaim sepihak Beijing. Beberapa kali kapal patrol laut China terdeteksi memasuki kawasan Laut Natuna Utara Indonesia. Puncak ketegangan Indonesia dan China terjadi pada Desember 2022 hingga Januari 2023 saat kapal China Coast Guard  bernomor lambung 5901 terpantau wara-wiri di Laut Natuna Utara.
Indonesia menolak keras klaim China pada Laut Natuna Utara berdasarkan UNCLOS 1982 yang didukung beberapa negara di ASEAN dan Amerika Serikat. Indonesia menolak dasar penggunaan sejarah sebagai alat untuk mengklaim kepemilikan di Laut China Selatan. Menurut Jakarta jika hal tersebut dibolehkan, maka Indonesia juga dapat mengklaim lebih banyak wilayah di Laut China Selatan berdasarkan histori Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
Perlu dilakukan tindakan nyata dan aksi pencegahan untuk menghindari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Dilihat dari hasil citra satelit, menunjukkan aktivitas kapal-kapal perang China yang bersandar pada pulau di Laut China Selatan yang dikuasainya. China yang saat ini berada pada posisi ketiga sebagai negara dengan militer terkuat di dunia dan kedua berdasarkan angkatan lautnya tengah dalam kepercayaan tinggi untuk berhadapan dengan negara lain.
Indonesia yang merupakan negara Non-Blok dengan sistem militer defensif dapat menjadi bumerang dalam menghadapi ancaman China. Tidak ada jaminan negara kita akan mendapatkan bantuan militer dari negara lain jika konflik bersenjata pecah. Ini menjadi tantangan serius Jakarta untuk memikirkan bagaimana langkah konkrit yang dapat dilakukan untuk menghindari dan atau mengakhiri konflik yang ada.
Pada bulan November 2015 Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia menyatakan bahwa Jakarta dapat membawa China ke pengadilan Internasional terkait klaimnya. Hal tersebut merupakan respon Indonesia terkait maraknya aksi pencurian ikan oleh kapal berbendera China dan tindakan provokatif kapal China Coast Guard. Namun, apakah hal tersebut cukup untuk membendung ambisi besar Beijing?.
Indonesia harus berkaca dari konflik perbatasan China dan India. Menimbang bagaimana China yang dapat berbuat banyak atas konflik tersebut, Jakarta harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Indonesia perlu melakukan negosiasi dan dialog dengan Pemerintah China untuk memperkuat klaimnya melalui hukum dan kerjasama Internasional.Â