Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kreativitas Pahlawan “Bintang Gerilya” Itu, Akhirnya Terhenti di KALIBATA

18 April 2013   22:45 Diperbarui: 12 April 2017   00:30 3360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_255571" align="alignleft" width="367" caption="(Wajah cerianya ketika saat dilantik menjadi Danrem-011/Lilawangsa, Aceh pada tahun 1978 oleh Panglima Kodam-I Iskandar Muda waktu itu di Lhokseumawe/ sumber photo: dok pribadi)"][/caption]

Dia pejuang, yang ikut memerdekakan negara ini sejak usianya remaja melalang di hutan belantara "Medan Area" di Sumatera. Ketika menjadi Danrem 011/Lilawangsa di Aceh, ia berupaya membujuk masyarakat yang terlibat GAM agar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui pendekatan "Sistem Sosial" (persuasif) yang damai, bukan dengan senjata yang dimilikinya. Namun akhirnya, dia justru "terpental" ke Jakarta di dalam keramaian hiruk-pikuk yang justru dijalaninya dalam "Sunyi". Masa pensiun  yang panjang yang kemudian dilewatinya itu, lalu dinikmatinya dengan mengurus taman bunga bersama isteri tercinta, menulis novel dan puisi serta melukis digital dengan menggunakan software Komputer. Dia tetap terus berkarya meski dalam bentuk lain. Hingga di usianya yang hampir 80 tahun ketika akhirnya dipanggil Yang Maha Kuasa. Bagi dia, seorang  perwira pejuang yang juga seniman tentara tersebut, ladang pengabdian bisa di mana saja, dalam bentuk apa saja...

***

Usianya sudah melebihi umumnya orang Indonesia, yaitu 80 tahun ketika ditemui dalam suatu obrolan santai  suatu sore di bulan Januari 2010 lalu.  Dia masih terlihat gagah, meski dengan guratan wajah yang sudah tampak semakin berkerut dan menua. Profil hidung bangir  menjadi wajah khas  priyayi dari Jawa ini. Garisketampanan pria kombinasi turunan Jawa  dan Tapanuli Selatan ini masih terlihat jelas merona, ketika akhirnya ikut tertawa renyah dalam obrolan. Logat bicara yang berdialek khas Sumatra itu,   menunjukkan sosok sepuh ini pernah tinggal lama  di wilayah ini. Ya, memang begitulah…!   Ibunya bernama KRA Samsiah berasal dari Yogyakarta,  menikah dengan  Ayahnya  bernama H. Tengku Kochik Zulad, seorang bangsawan yang berasal dari kerajaan kecil di sekitar Labuan Batu, Sumatera Utara.

Ritme suaranya masih terdengar tegas dan  berwibawa ketika membahas hal-hal tertentu dengan semangat dan  serius. Hal yang memperlihatkan bahwa mantan perwira tentara dan komandan militer senior ini pernah berjaya pada jamannya. Photo besar dengan pakaian dinas aktif disertai atribut lengkap militer  itu, terpasang berwibawa dalam figura  coklat muda yang tertempel di dinding ruang tamu rumah  sederhana untuk ukuran seorang mantan pejabat.   “Photo ini diambil tahun 1978 sewaktu saya masih berusia 47 tahun dan menjabat Komandan Resor Militer (Danrem) 011/Lilawangsa di Lhokseumawe, Aceh”, katanya.

Pejuang Kemerdekaan di Usia Remaja

Pada seragam berwarna hijau tua kecoklatan itu, terlihat susunan kotak kecil warna-warni di dada sebelah kiri yang menjadi ciri khas pakaian dinas seorang perwira. Jumlah kotak sebanyak 16 buah itu menunjukkan bahwa sosok ini berhasil mengumpulkan  16 buah tanda jasa (prestasi) dari negara selama karirnya di militer. Saat itu, jarang perwira menengah berpangkat Kolonel berhasil memiliki 16 tanda jasa sebanyak itu. Hal yang menyiratkan kepiawaian dan pengalamannya yang luas  di masa lalu, baik sebagaipejuang kemerdekaan jaman revolusi maupun ketika kemudian aktif mengikuti berbagai operasi militer di berbagai daerah meredam pemberontakan di seluruh Indonesia setelah kemerdekaan,  termasuk penugasan keluar negeri sebagai anggota Kontingen Garuda III di Kongo, Afrika.   “ Saya sudah ikut berjuang sejak usia remaja pada tahun 1945 di wilayah Medan Area, Sumatera Utara”,jelasnya.

Yang menarik,sebuah piagam  tanda jasa Pahlawan Gerilya yang diberikan dan di tanda tangani oleh Presiden Soekarno tanggal 10 November 1958 itu, yang terpampang di dinding ruang tamu rumah. Piagam yang sudah agak lusuh tersebut ternyata bercerita banyak tentang kiprah pejuang ini.

Semua pejuang angkatan 45 memperoleh piagam ini,” katanya merendah ketika ditanya asal muasal Piagam yang menjadi salah satu dari tujuh tanda jasa, yang menyebabkan seseorang di Indonesia diakui oleh  negara sebagai  Pahlawan. Perbincangan punkemudian melebar ke hal-hal lebih luas termasuk mengkritisi situasipolitik dan ekonomi di tanah air. Ketertarikan dengan permasalahan Politik sudah ia mulai ketika tahun 1980 ketika bertugas sebagai  Kepala Staf Kekaryaan Daerah (Kaskarda-A/Aceh) yang pada era ABRI di masa Orde Baru merupakan instrumen penting dalam menerapkan politik tentara. Dia pernah memproses calon Wakil Gubernur Aceh dan beberapa Bupati dari kalangan perwira tentara di sana  melalui mekanisme yang disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Fungsi sosial ABRI itu begitu  populer, yang menunjukkan bahwa perwira-perwira  TNI di jaman ORBA  piawai berpolitik, tidak hanya bertempur di medan perang. Secara nasional, jabatan ini dipimpin oleh Kepala Staf Kekaryaan ABRI di MABES Jakarta dengan pangkat Letnan Jenderal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  merupakan Kassospol ABRI terakhir sebelum kemudian instrumen ini dibubarkan pemerintah di era Reformasi.
Kelihatannya jaman Orba dulu situasi ekonomi terlihat lebih stabil dibandingkan era reformasi sekarang, ya! Harga-harga tidak semakin mahal seperti saat ini..”, katanya mengomentari berbagai berita TV mengenai kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok yang terus terjadi dan semakin membebani masyarakat banyak. Hal yang membuat dia bersama rekan-rekan veteran dan pejuang 45 lain menjadi miris dengan nasib bangsa ini di era reformasi. Pandangan khas "orang-orang tua" yang dibesarkan pada jaman orde baru terhadap situasi sekarang.

[caption id="attachment_255573" align="alignleft" width="427" caption="(Piagam Tanda Jasa Pahlawan Gerilyaini tertempel di dinding ruang tamu rumah sang Kolonel  sederhana itu,  yang diperolehnya dari Presiden Soekarno pada tahun 1958 / photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]

1366297736582245440
1366297736582245440
[/caption]

Pejuangyang memperoleh Bintang Gerilya ini memiliki nama lengkap Surya Sutrisno. Lahir  05 Oktober 1929 di Yogyakarta, ketika Ayahnya yang asli orang Sumatera Utara itu, sedang melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian UGM. “Saya sejak usia5 tahun sudah dibawa oleh ibu ke Sumatera mengikuti Ayah yang ketika selesai kuliah, kembali ke kota Medan, " katanya mengawali cerita. Masa jaman kemerdekaan tahun 1945 pun akhirnya dilaluinya di Sumatera Utara yang dikenal dengan epik perjuangan "Medan Area" tersebut. Keterlibatannya sebagai pejuang di daerah ini yang menyebabkannya memperoleh Bintang Gerilya “Saya pernah terkena pecahan mortir Belanda  di pungung yang hampir saja merenggut nyawa, ” katanya bangga, sambilmenunjukkan bekas-bekas luka tersebut.“Waktu itu, hanya beberapa orang dari pasukkan kami  yang selamat dari pertempuran besar melawan  tentara Belanda di sekitar Tanjung Brandan, “ lanjutnya.

Demikianlah, di dalam setiap epos peperangan sering kali kita mendengar prajurit-prajurit yang  berani dan juga "beruntung" karena mendapat "hoki". Mereka dengan sebab yang sulit diterima oleh akal dan sering tidak terduga-duga,  terselamatkan nyawanya dalam suatu episode kemelut pertempuran. Perwira sepuh ini tampaknya merupakan salah satu dari  The Soldier of Fortune tersebut, di antaraberbagai kejadian tragis  selama Perang Kemerdekaan  Indonesia yang sebenarnya sangat tidak berimbang dari sisi persenjataan tersebut. Tentara Belanda dengan persenjataan lengkap justru dilawan oleh para pejuang yang kebanyakan anak-anak remaja (gerilyawan) hanya dengan bermodalkan bambu runcing dan semangat juang yang gigih  memerdekakan negara ini.

"Tapi saya pernah juga tertangkap dan di penjara oleh Belanda!" Dan semua tahanan tersebut   dipersiapkan untuk dihukum mati karena dianggap pemberontak/ekstremis yang  berbahaya. Terlihat matanya seperti menahan air mata ketika menceritakan hal tersebut. "Teman-teman saya sudah lebih dahulu di eksekusi," katanya melanjutkan cerita dengan agak terbata-bata.

Danrem 011/Lilawangsa Aceh dan  GAM

Keberuntungan demi keberuntungan kemudian membawanya menjadi perwira menengah (pamen) senior hingga ditugaskan ke Propinsi Aceh. Dan pengalaman traumatis tersebut justru membuatnya semakin bijak dan menghargai kehidupan bagi sesama. Hal yang kemudian menjadi sikap dan pandangan filosofi humanistisnya (Humanism) yang dianut. Ketika menjabat Danrem 011/Lilawangsa bermarkas dibagian utara Propinsi Aceh,  yang juga merupakan kawasan pusat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada waktu itu. Dia merasa tidak yakin bahwa permasalahan pemberontakan GAM yang waktu itu masih embrio tersebut, bisa diselesaikan dengan senjata (kekerasan). "Saya lebih yakin  dengan  pendekatan persuasif  yang bila dengan  serius dikedepankan waktu itu dapat mengatasi masalah ini secara tuntas," katanya menyesali. “Perdebatan sengit” mengenai pendekatan apa yang paling sesuai mengatasi permasalahan pemberontakan GAM waktu itu dengan atasannya langsung, yaitu Panglima Kodam- I / Iskandar Muda Aceh era tahun 1978-1980,  justru menyebabkan dia kemudian "kalah" dan "terpental" dipindahkan  secara mendadak  ke Jakarta tanpa jabatan apapun.

"Saya perintis pertama  apa yang dikenal oleh masyarakat Aceh waktu itu dengan Pekan Olah Raga Daerah (PORDA). PORDA saya jadikan sebagai sarana menyatukan semua elemen masyarakat di wilayah Aceh bagian utara, timur, tengah dan tenggara yang menjadi wilayah Korem-011 tugas saya, dalam kebersamaan dengan berolahraga dan berkesenian. Saya tahu, sewaktu upacara defile pembukaan PORDA itu, ada kontingen dari kecamatan tertentu  yang diikuti  oleh beberapa anggota GAM. Tapi saya biarkan saja...!  Ini bagian dari strategi persuasif  yang dalam pelajaran teritorial dan politik tentara disebut dengan Pendekatan SISSOS/Sistem Sosial," ujarnya mengenang.

Dengan mengajak mereka melakukan kegiatan bersama, mereka merasa dihargai bukan justru dimusuhi. Tahap berikutnya nanti akan mudah saya bujuk mereka untuk kembali ke Ibu Pertiwi. "Orang Aceh itu wataknya keras, tapi kalau kita berhasil mengambil hati mereka maka mereka mau berbuat apa saja buat kita," jelasnya.

Sebenarnya penyebab utama terjadinya pemberontakan GAM di Aceh lebih karena masalah ketidakadilan distribusi ekonomi antara pusat dan daerah. Banyak di antara mereka bergabung ke GAM karena  ikut-ikutan saja akibat kemiskinan yang dialami di kampung. "Itu sebabnya saya menerapkan pendekatan ‘Sissos’  dalam mengatasi masalah GAM di Aceh. Inti pendekatan ini mengasumsikan bahwa GAM  orang Aceh merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Saya memilih membujuk dan menyadarkanmereka daripada menembakinya denga  sengit," ujarnya lebih lanjut.

Sayang sekali, ultimatum penyelesaian masalah GAM Aceh ini yang diberikan oleh pemerinta pusat Jakarta ke kami di Aceh, terlalu cepat dan mendadak. Kami kekurangan waktu buat membuktikan bahwa strategi ini efektif. Sehingga janji kami dengan Panglima ABRI waktu itu, Jenderal M.Yusuf ,  agar  dapat menuntaskan masalah GAM hingga akhir tahun  1979 itu pun akhirnya tidak terwujud. Jenderal M Yusuf  tampaknya 'marah' dan mengganti semua petinggi militer di Aceh dan kemudian mengubah strategi dalam menghadapi GAM yaitu menggunakan pendekatan ‘sistek’, dengan  mendatangkan pasukan tempur elite Indonesia seperti Kostrad dan Kopassus. Mereka kemudian menembaki para GAM tersebut sebagai musuh besar negara. Maka, kemudian era setelah tahun 1980-an terjadilah berbagai ekses pelanggaran HAM akibat dijadikannya  Aceh sebagai  DOM/Daerah Operasi Militer,” lanjutnya dengan nada haru.

Ia kemudian dianggap tidak berhasil menangani masalah GAM di Aceh, dan “dihukum” dengan dipindahkan ke MABES AD di Jakarta sejak tahun 1981 tanpa mendapat posisi apapun.   “Kenangan itu menyakitkan..!” katanya. Padahal pada waktu itu dia sudah memperoleh pangkat Kolonel   selama delapan tahun. Suatu hal yang sangat langka terjadi di TNI AD, bahwa seorang perwira senior berpangkat Kolonel "dibiarkan" begitu saja dalam  jangka waktu lama. Seharusnya dia sudah menyandang pangkat jenderal  bintang dua, jika dahulu pendekatan dan strategi SISSOS-nya terbukti berhasil  mengatasi permasalahan GAM.

“Saya tidak menyesal, karena itulah resiko mempertahankan kebenaran dan prinsip. Apalagi jika harus menentang atasan langsung yang berbeda pendapat dalam menyelesaian masalah," katanya memberi alasan. Akan tetapi, sebenarnya institusi TNI AD  tidak betul-betul melupakannya. Menjelang  pensiun dengan pangkat Kolonel purnawirawannya tersebut, dia pernah ditawarkan untuk mendapat kenaikkan pangkat kehormatan menjadi Brigadir Jenderal.  Tapi dia menolak, "Buat apa jadi Brigjen, terus pensiun, tidak bisa berbuat apa-apa!  Tidak usahlah.. Pangkat-pangkatan begitu sudah tidak perlu lagi bagi seorang purnawirawan.  Saya ingin menjadi rakyat biasa saja dan menikmati masa tua saya dengan tenang.." katanya menjelaskan alasannya menolak.

Menjadi Seniman,  Menikmati Pensiun

Pejuang sepuh ini menikah tahun 1960 dengan wanita asal Melayu Deli bernama  Rosteinnie Dahlia. Kegiatan sehari-hari di masa tuanya dilaluidengan menekuni hobi mengurus tanaman dan bunga bersama isteri tercinta, serta mengerjkakan hal-hal yang berkaitan dengan seni.  “Ini lukisan digital saya yang pertama lho," katanya menunjukkan karya seninya. "Waktu membuat lukisan ini saya masih belajar komputer hadiah dari anak-anak. Saya 'oprek-oprek' sendiri  saja menggunakan software Paintbrush. Lalu saya jadikan software ini seperti kanvas untuk melukis. “  Dia menunjukkan lukisan digital yang ternyata cukup bagus dan menarik! Melukis menggunakan perangkat lunak komputer merupakan kegiatan yang unik, apalagi  dilakukan oleh seorang perwira tentara yang biasanya dididik keras untuk berperang. Ternyata "seniman" itu bisa saja muncul dari mana-mana,  dari kalangan tentara juga.... [caption id="attachment_255585" align="alignleft" width="640" caption="(Lukisan digital ini dibuatnya dengan menggunakan software sederhana  yang terdapat di dalam software sistem oerasi WINDOWS  yang bernama PAINTBRUSH. Sungguh, tidak mengira bukan? Bahwa dengan software asesori sederhana ini  bisa menjadi lukisan digitaal  unik. Ternyata, seorang Tentara bisa juga membuat lukisan menarik dengan teknologi komputer / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]

1366345029923009893
1366345029923009893
[/caption]

Semua pengalaman manis dan pahit yang dialami sebagai tentara, justru sering menjadi sumber inspirasi dalam karya-karya seninya. Dalam usia senja itu, terlihat dia tetap semangat terus jika berdiskusi  tentang politik. Dia tidak pernah menyurutkan semangat pula untuk terus belajar hal-hal baru, seperti melukis dengan komputer, menulis Puisi dan Novel.

Yang menarik,  sosok perwira pejuang ini  ternyata menyimpan begitu banyak puisi yang ditulisnya sejak remaja hingga di hari tua merefleksikan tentang  apa saja yang menarik di hatinya. Puisi-puisi ini dijadikan semacam sarana pelepasan energi kegalauan, terutama  di malam-malam istirahat saat perang gerilya usai dalam bentuk catatan harian.  Beberapa Puisi tersebut menceritakan korban peperangan di tengah kemelut dentuman suara senjata.Kontras yang menarik dan unik, bahwa seseorang bisa menulis dengan bahasa hati di tengah kekerasan perang yang sedang terjadi! Apakah puisi seperti ini bisa dikategorikan sebagai genre Puisi baru yang merupakan Puisi Sejarah atau Puisi epik? (Catatan: Mengenai Puisi Sang Pejuang Gerilya ini, akan ditulis  dalam artikel tersendiri)

[caption id="attachment_255577" align="alignleft" width="755" caption=" (Kumpulan puisi tersebut kemudian dibukukan dengan judul"Kumpulan Ontologi PUISI Sang Perwira Pejuang")"]

13662980401752994462
13662980401752994462
[/caption]

Salah satu petikan puisinya yang unik:

"Kukira kicau burung pagi,

Hanya untukku seorang...

Tapi kiranya..

Karena menyongsong

Terbit MATAHARI..!"

****

Beberapa tahun terakhir dia terlihat begitu aktif menulis novel hingga larut malam. “Novel saya bergenre roman dengan setting latar belakang sejarah perjuangan kemedekaan tempo dulu, namun mengandung pesan kemanusiaan mengkritisi profesi dokter sekarang," katanya. "Mudah-mudahan saja bisa tuntaskan  secepatnya bulan depan...” katanya seperti berjanji dan mengharapkan dukungan doa. Lalu dia menunjukkan beberapa halaman  draft isi novelnya itu, bercerita tentangseorang wanita anak pelacur di jaman perjuangan yang kemudian setelah melalui liku-liku kehidupan yang luar biasa beratnya, berhasil menjadi seorang dokter. Kemudian sengaja minta ditugaskan di daerah terpencil untuk membantu masyarakat miskin mengobati orang-orang miskin di daerah pedalaman Irian. “Kalau dokter sekarang malah berupaya apa saja agar tidak ditempatkan di daerah. Mereka sudah terlalu komersil!” katanya menyindir. Generasi muda, terutama para kalangan dokter di Indonesiakayaknya perlu membaca novel saya ini, candanya sambil tergelak tertawa. (Catatan: mengenai sinopsis novel ini akan ditulsi dalam artikel tersendiri)

Dimakamkan di TMP Nasional Kalibata

Tiba-tiba  sebulan kemudian, tepatnyaSelasa 10 Februari 2010  sebuah sms masuk ke HP penulis. Tertulis di sana pesan singkat  yang berbunyi: “ Buat semua handai tauladan, para sahabat, saudara, family… Kami kabarkan, bahwa Kolonel Purn Surya Sutrisno pada hari ini jam 11:00 telah pergi berpulang ke-Rahmatullah. Mohon dimaafkan segala kesalahan dan dosa-dosanya..”. begitu bunyi sms singkat yang mengagetkan tersebut. Sms itu tampaknya dikirim oleh pihak keluarga ke semua nomor yang sudah tersimpan sebelumnya di dalam nomor HP miliknya.

Entah kebetulan atau tidak, langitudara kota Jakarta yang biasanya panas kemudian tampak mulai mendung. Perumahan Larangan Indah di kawasan Ciledug, Jakarta Barat, yaitu lokasi rumah sang Kolonel itu pun mulai tampak ramai. Sebuah mobil ambulan khusus pengangkut jenazah tentara, telah  menunggu. Di depan mobil hitam itu ditempeli photo besar sang Kolonel, yaitu photo yang biasanya terpampang di dinding ruang tamu tersebut nyang tersenyum simpatik.  Sebuah truk militer terlihat sedang membawa sepasukan tentara dan memasukijalan Gotong Royong di kawasan Ciledug ini,  dengan tergesa-gesa. Karangan bunga duka kemudian berdatangan, berjejer menghiasi pagar di depan rumah sederhana di jalan Mawar III D  No. 1 tersebut. Ya, sang Kolonel sepuh itu, hari ini telah PERGI. Dia sudah tidak bisa lagi bisa berbagi cerita tentang masa lalunya kepada siapa pun.

Sepasukan tentara kemudian terlihat melakukan upacara serah terima jenazah di dalam peti berbalut benderamerah putih. Mantan Danrem Aceh yang keras dan tegas denga prinsip tersebut, namun berjiwa merakyat dan seni itu,pamit kepada semua pihak untuk kembali  ke haribaan-NYA.  Tampak para pelayat berbusana hitam dengan eskpresi haru. Sebagian pelayat itu kemudian tampak ikut mengantar sang Pahlawan Kemerdekaan (sambil terisak) hingga ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Blok W, Taman Makam Pahlawan Nasional Jakarta di KALIBATA.

Upacara militer penuh hikmat pun menunggu sang Kolonel di Kalibata. Upacaar yang dipimpin inspektur upacara seorang Kolonel dari Mabes TNI AD tersebut kemudian membacakan riwayat singkatnya, dengan diselingi tembakan salvo tujuh kali ke udara  mengiringi  jenazah sang pahlawan yang perlahan-lahan diturunkan. Ya, Kolonel Surya Sutrisno, sang pejuang perwira  yang jujur, sederhana, bersikap apa adanya dan selalu “out the box of thinking” itu, telah pergi meninggalkan jejak-jejak langkah idealismenya di dalam SUNYI , di  antara keramaian kota Metropolitan Jakarta yang telah dihuninya selama lebih dari 20 tahun terakhir.....

[caption id="attachment_255578" align="alignleft" width="475" caption=" (Photo terakhirnya ini ketiak ia berusia 79 tahun yang diambil  Oktober 2009 saat mengenakan pakaian resmi lengkap sebagai Ketua Organisasi Veteran Pejuang 45 Wilayah Jakarta Barat. Menjelang berangkat ke acara peringatan hari ulang tahun PEPABRI waktu itu / sumber photo: dok pribadi)"]

13662981461690508717
13662981461690508717
[/caption]

Kini aktivitasnya yang khas ketika menulis novel dan puisi, dengan suara ketukan-ketukan keyboard komputer  di tengah malam itu, tak lagi terdengar. Berbagai puisi dan lukisan komputernya yang belum dituntaskan  itu pun kiniterhenti.   Namun dia selalu ada bersama lukisan komputer itu yang terpampang abadi di ruang tamu rumah veteran pejuang sederhana tersebut,  di samping Piagam Tanda Jasa Bintang Gerilya dari Soekarno. Juga bersama  kisah novel roman perjuangannya yang kelak akan terbit dan akan di baca banyak orang..

Selamat Jalan Komandan!  Selamat Jalan  Pahlawan "Bintang Gerilya"! Selamat Jalan  Seniman Tentara........!

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PROFIL:

-Nama : Surya Sutrisno

- Orangtua: H. Tgk Lochik Al-Rivai Zulad

- Tempat/Tgl Lahir: Yogyakarta, 05 Oktober 1929

- Alamat: -Jl. Mawar III D No.1, Blok M9, Komplek Perumahan LaranganIndah, Cileduk, Tangerang, JakartaBarat

- Pendidikan Umum Tertinggi: Fakultas Hukum USU

- Pendidikan Militer Tertinggi : Suslapa

- Pangkat terakhir: Kolonel Inf TNI AD

- Pekerjaan terakhir: Kepala Staf Kekaryaan Daerah AAceh (Kaskarda-A)

- Orang Tua : H Tgk Kochik Zulad(Ayah) dan KRA Samsiah (Ibu)

- Isteri : Rosteinnie Dahlia

-Anak:

1. Maria Trisnawaty

2. Fauziah Anggraeni

3.  Rendra Trisyanto Surya

4. Trisha Sri Lestari

5. Liani Susanti

6. Andini Sri Asih

7. Shinta Lia Kurniati

Anak Angkat:

- Surya Wibowo (saat ini bermukim di San Francsico, USA)

====================================================================================

(Penulis Artikel : Rendra Trisyato Surya, dosen dan tinggal di Cimahi-Bandung, Jawa Barat)

Catatan:

Tulisan di atas merupakan sebagian dari intisari  ngobrol dan wawancara saya (sebagai ANAK, dengan Beliau yang juga merupakan AYAH) selama lebih dari 30 tahun "persahabatan" kami.  Kegiatan rutin yang setiap kali saya berkunjung ke Jakarta dari Bandung itu saya coba tuliskan satu persatu unbtuk publik. Suara khasnya kemudian selalu menyapa setiap kali kedatangan saya ketika mengunjunjunginya "Bagaimana kabarnya Bandung, Ton..? Bagaimana kabarnya mahasiswa-mahasiswa di Bandung...? Kok diam aja nih melihat carut marutnya keadaan negara saat ini..?," tanyanya dengan pertanyaan yang khas..

Kebiasaan kami kalau sedang berdiskusi:

"Kami duduk di beranda depan rumah sederhana itu dengan ditemani secangkir teh manis hangat dan kacang rebus buatan Ibu. Lalu kami mendiskusikan tentang berbagai hal,  tentang masa lalunya, keadaan negara sekarang, termasuk keinginan-keinginannya yang belum terwujud. Dan terkadang kami berdebat "keras" saling  mempertahankan prinsip masing-masing, yang memang sebenarnya "dunianya" berbeda. Saya dibesarkan di kampus dengan segala iklim kritikalnya, dan Ayah saya di lingkungan militer dengan sistem doktrinasi. Namun sesudahnya, kami selalu tertawa bersdama berderai-derai melihat tingkah lucu acara TV (komedi), kemudian  bersama bermain gitar, mendengarkan musik dan sekali-kali berkaraoke ....."

Ini semua kenangan terindah yang  tak terlupakan. Dia adalah Ayah yang sekaligus sahabat dan guru saya. Yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran serta karakter sikap saya selanjutnya, terutama dalam nilai-nilai kejujuran, objektivitas, integritas, keberanian berpendapat (out of the box), pentingnya kepemimpinan an ketegasan, nikmatnya hidup dalam kesederhanaan  dan seterusnya. Artikel ini sebenarnya baru sebagian saja menguak  samudera  pengalaman, "cerita" dan "rahasia" yang luas tentang dirinya yang menurut saya menarik.

Malam ini, ketika menulis artikel ini sebenarnya  saya sedang rindu kepadanya. Tulisan ini saya persembahkan kepada  Ayahku yang bersemayam abadi di Alam sana. Semoga dia tersenyum bahagia "membaca" artikel ini, sebagaimana biasanya ketika ia sering ikut membaca artikel tentang dirinya atau artikel lain yang ditulis oleh anaknya.

Semoga artikel di atas juga menarik  buat para pembaca Kompasiana dan pembaca lain di mana pun.... Semoga  dapat memberikan inspirasi dan renungan buat Anda.... Selamat membaca...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun