Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Primordial Ke Komunitas Global: Catatan Mahasiswa Daerah Di Bandung

8 Desember 2012   15:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah bahwa "we are Homo Homini Lupus ……?"

Manusia cenderung menjadi “srigala” (bagi sesamanya), atau jika dikondisikan akan menjadi mahluk sosial yang baik, kata Thomas Hobbe pada suatu hari  menutup bait-bait akhir dalam tulisan masterpiece-nya mengenai fenomena interaksi sosial yang ditulis beberapa puluh tahun yang lalu. Buku ini dia tulis di bawah sepoi-sepoi angin musim semi di salah satu negara maju yang berkultur Barat nun jauh di sana..….. Namun sampai kini hipotesanya masih menjadi acuan analis banyak orang terhadap fenomena sosial suatu masyarakat sekarang ..

Ide dan pemikirannya masih relevan, justru ketika masyarakat Indonesia dewasa ini sering terjebak ke dalam proses-proses manipulasi demi  kepentingan  jangka pendek, bersifat instan, dan menghalalkan berbagai cara (baik dalam bidang Ekonomi, bisnis maupun kepentingan kekuasaan politik, termasuk konflik etnik). Masyarakat terkadang terlihat seperti "srigala" sebagaimana dikatakan Thomas Hobbe.  Dan menjadi pertanyaan analisis sosial dari Barat, Kok bisa masyarakat Indonesia yang religius tersebut menjadi "buas" jika dalam suasana konflik horizontal ? Yang mungkin bisa membuat para Bapak Bangsa Indonesia inipun akan menangis jika mengetahui bahwa hipotesa Thomas Hobbe tersebut tentang sisi-sisi negatif  dari interaksi sosial masyarakat itu ternyata benar-benar pernah terjadi dan dialami bangsa Indonesia. Tapi syukurlah, bahwa di tengah sering terjadinya konflik berbau SARA  akhir-akhir ini, ternyata dalam nuansa lain seperti pada masyarakat terdidik di kampus. Pola interaksi sosial komunitas masyarakat yang primordial (daerah) tersebut menjadi berbeda ketika bersentuhan dengan ikon-ikon modernisasi disuatu kota yang berhawa sejuk dan menjadi kota pendidikan banyak orang di Indonesia saat ini, yaitu kota Bandung.

********

Komunitas "Dalam Perjalanan"?

Apapun bentuk dan pola dimensi interaksi sosial di salah satu kampus yang saya amati tesrebut bercorak berbeda karena adanya faktor lingkungan (dan pengkondisiannya) memang menjadi hal utama yang menentukan corak interaksi sosial suatu komunitas terdidik kampus. Penelitian kecil-kecilan yang saya lakukan dengan mengamati pola interaksi sosial teman-tyeman saya sendiri ini dalam komunitas mahasiswa pasca sarjana pada suatu universitas negeri dimana kami menjadi mahasiswanya tersebut. Saya tuangkan dalam artikel singkat yang sederhana ini. Saya menganalisis komunitas ini dengan menggunakan pisau analisis dari model interaksi sosial yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes sebagaimanadiatas.Dengan hipotesis bahwa masyarakat dapat menjadi "srigala" (terhadap yang lain), dan sebaliknya menjadi "malaikat" bagi komunitasnya tergantung faktor lingkungan dan stimulan tertentu yang terdapat dalam  sistem sosialnya. 

Mahasiswa-mahasiswa Pascasarjana di salah satu satu kampus tertua di kota Bandung ini, memang cocok diuji dengan teori Thomas Hobbe tersebut. Komunitas ini memang unik, karena memiliki komposisi geografi yang mewakili hampir seluruh wilayah di Indonesia sebagai asal mahasiswa tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebijakan pimpinan Universitas yang menerima lebih dari 80% mahasiswa-mahasiswa peserta program pascasarjananya dari berbagai daerah (dan bahkan pelosok Indonesia).

Selama mereka kuliah di kota Bandung ini, maka pluralisme sudah menjadi keniscayaan dan tampak dalam kehididupan sehari-hari saat kita melihat bagaimana interaksi sosial mereka di berbagai warung makan, tempat-tempat photo kopi bahan kuliah mahasiswa dan di tempat-tempat persewaan komputer/ Internet di sekitar kampus ini. Kerap kita mendengar para mahasiwa tersebut yang berbicara satu sama lain (bahkan dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil) dengan mengunakan  dialek bahasa Indonesia yang "aneh". Mereka sering juga menggunakan bahasa daerahnya masing-masing yang terdengar "asing" dikebanyakan telinga kita. Suasana kampus di Sekeloa Bandung tersebut  berubah seperti representatif Miniatur Kemajemukan Indonesia yang sesungguhnya.

Beberapa dari mereka memang berasal dari pelosok daerah Indonesia yang jauh (yang sebagian besar dari kita hanya pernah mendengar nama kabupaten atau kepulauan tempat asal mereka. Tanpa disadari bahwa kampus ini telah menjadi semacam “diaspora” dari berbagai masyarakat etnik Indonesia yang kuliah ke kota Bandung. Sebagaimana halnya suatu diaspora, mereka juga berupaya menerapkan  kebiasaan, bahasa komunikasi, dan dalam batas tertentu juga adat-kebiasaan serta cara pandang (the way of thinking) yang selama ini mereka lakukan di daerahnya masing-masing. Uniknya, setelah berada di kota seni, budaya dan kreatif seperti Bandung ini, masyarakat etnik dalam diaspora ini  juga berinteraksi secara sosial dengan simbol/ikon setempat sebagaimana halnya ikon masyarakat modern kota besar yang  bercirikan generasi MTV , globalisasi (internet), TV Cable dan  Teknologi Informasi (gadget). Akulturasi antara ikon/simbol-simbol yang bersifat primordialisme dengan ikon budaya Pop (Pop Culture) dari masyarakat kota besar tersebut, kemudian membentuk pola interaksi sosial yang unik.

Namun demikian, sebagaimana halnya suatu masyarakat diaspora (perantau), ia hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu masyarakat seperti ini sering disebut dengan "masyarakat dalam perjalanan". Sebagai masyarakat perantau, maka kebersamaan (saling membantu) menjadi terlihat sangat menonjol (bahkan sering melampaui batas kepatutan), misalnya menjadi saling membantu juga tatkala ujian. Menarik melihat interaksi sosial diantara angota komunitas yang berasal dari Aceh dengan mahasiswa dari Jawa (daerah), Mahasiswa Madura dengan Sampit dan seterusnya. Kebersamaan dan kerjasama dalam mencapai tujuan tersebut (dalam kontakes tulisan ini artinya kegiatan perkuliahan) sudah menjadi keniscayaan. Karena target kuliah yang harus dicapai begitu tinggi. Target yang seringkali berada diatas rata-rata kemampuan (capability) hampir semua individual mahasiswa daerah tersebut, menyebabkan mereka harus melakukan sinergitas secara efisien dan seefektif mungkin. Dalam pernik-pernik kebersamaan ini kemudian terjadi interaksi dan proses akulturasi yang tanpa disadari meleburkan budaya sub-kultur etnik dengan budaya masyarakat kota bahkan masyarakat global. Menjadikan "batang-batang lidi " (individual) yang pada awalnya berserakan tak teratur tersebut ketika pertama kali datang ke Bandung. Kemudian menjadi satu-kesatuan dan kekuatan yang signifikan dalam mengatasi segala rintangan perkuliahan  tingkat tinggi (Pasca Sarjana) di kampus ini.  Aktivitas seharian seperti kuliah,  mengerjakan tugas, ujian, seminar, hingga ke pembuatan paper dan Tesis, hampir semuanya dilakukan secara bersama-sama.

****

Dalam suatu perjalanan saya dari Jakarta menuju ke kota Bandung. Dari jendela kereta api yang saya tumpangi itu, saya kemudian merenung-renung dan menjadi teringat  kembali gejala  sosial yang menarik ini. Dan tanpa disengaja, goncangan kereta ini menumpahkan sebagian kopi yang sedang saya hirup ke buku catatan harian saya. Dalam renungan tersebut,   saya berkata dalam hati “Apakah  ini wajah generasi Indonesia Baru yang ditunggu-tunggu itu?” Generasi dalam transisi, generasi dalam perjalanan dari Primordialisme menuju ke Pluralisme. Dimana orang tidak lagi merasa penting untuk bertanya (kecuali sebagai basa-basi), darimana asal anda, suku apa anda , agama apa anda dan apa status sosial anda. Dalam komunitas perjalanan di era Globalisasi ini, perbedaan menjadi tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan persamaan (kerjasama). Karena memang dunia sudah menjadi begitu majemuk dan berbeda sejak dilahirkan. Warna-warni aksen berbicara, cara berkomunikasi verbal yang kadang variatif yang dikombinasikan  dengan berbagai bahasa daerah tersebut, bagi generasi muda era Internet ini hanya dilihat sebagai asesori daripada esensi.

Saya jadi teringat, ketika dalam suasana kelas perkuliahan mahasiwa pasca sarjana tersebut. Disana terdapat mahasiswa Aceh dan mahasiswa asal Jawa yang duduk berdampingan (meskipun pada waktu itu konflik GAM Aceh dengan "Jakarta/Jawa" sedang hangat-hangatnya). Lalu terlihat mahasiswa asal suku Dayak dan mahasiswa Madura yang saling mengobrol tentang film yang dibintangi oleh Denzel Washington yang baru saja mereka tonton bersama, sambil menunggu dosennya memberi kuliah. Harmonisasi sosial tersebut begitu bagus, jauh dari kekhawatiran  Thomas Hobbe. Namun disisi lain, memang  tidak bisa dipungkiri juga bahwa konflik SARA dan eksploitasi ekonomi/bisnis yang masih terjadi hingga kini termasuk di Indonesia,  membuktikan bahwa hipotesa Hobbe tentang sifat "srigala" dalam asyarakat tidak salah juga. Peran pemerintah menjadi begitu strategis menyeimbangkan kekuatan masyarakat yang kecenderungannya  menjadi "srigala" dan potensi interaksi sosial manusia sebagai "malaikat".  Kalau diamati, kasus Sampit, Aceh, Irian, Poso dan lain-lain itu.   Benarkah yang terjadi itu merupakan konflik SARA yang sesungguhnya? Atau sebenarnya hal tersebut terjadi karena merupakan rekayasa politik dan intelijen pihak tertentu belaka? Yang artinya itu sebagai akibat Pemerintah pada saat-saat tertentu gagal menjaga keseimbangan sifat alamiah (natural) suatu masyarakat antara potensi sebagai "srigala" dan "malaikat" tersebut?

Berubah Karena Globalisasi

Mahasiswa di Kampus Sekeloa ini, sebagaimana komunitas kota besar lainnya, tidak terlepas dari pengaruh budaya temporer, budaya Barat, budaya Global dan apapun namanya itu. Maka asesori-asesori seperti Laptop, facebook, Twitter dan Gadget hampir jamak terlihat di kalangan mahasiswa yang berasal dari daerah ini, meskipun beberapa terlihat "gamang". Disini proses akulturasi dari  “budaya tradisonil/primordial” (daerah) yang kemudian berubah menjadi  “budaya pop” tidak selalu diartikan sebagai negatif.

Bahkan aktivitas seperti mengakses informasi dari Internet dan memiliki Alamat E-mail, Facebook, Twitter dan lain-lain tersebut kemudian juga menjadi kegiatan sehari-hari (kelaziman). Bahkan kehidupan bertahun-tahun di kota Bandung akhirnyamenjadi lifestyle mereka. Beberapa terlihat lebih maju terutama karena pergaulan yang intensif dengan buku-buku textbooks berbahasa Inggris itu. Dengan guyon kadang ikon Teknologi Informasi dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengusir kejenuhan dalam aktivitas perkuliahan klasik. Pada saat mata mulai mengantuk dan menerawang ketika kuliah di siang hari itu yang berangin sepoi-sepoi di kampus rindang tersebut…. Beberapa mahasiswa lalu iseng membunyi-bunyikan tone handphonenya, yang seolah-olah ingin protes, “Maaf Pak Profesor, waktu kuliah Bapak sudah habis maka kami mengantuk mau pulang !”. Sikap-sikap spontanitas seperti ini tampaknya menjadi ciri komunitas orang muda yang berasal dari manapun......

Dan sebagaimana halnya mahasiswa, maka masyarakat komunitas mahasiswa daerah multi-etnis ini juga memiliki karakteristik ekonomi yang sama dengan mahasiswa pada umumnya. Kemampuan akses ekonomi yang terbatas (bahkan beberapa diantaranya marginal), dan tinggal ditempat kost di gang-gang  yang sempit dan hidup sederhana.  Apalagi di kampus besar yang juga menerima mahasiswa asing (internasional). Pola interaksi sosial komunitas ini menjadi semakin sulit dibedakan “identitas kultural  primordial”nya  secara individu. Lihatlah mahasiswa yang bernama Muhamad Fachrozi misalnya, yang kemana-mana bercelana jeans dan berkaos oblong ketat itu, terlihat asyik menikmati Humberger di McDonald bersama kekasihnya yang berasal dari kota Bukit Tinggi (Sumatera Barat). Mahasiswa lain yang bernama Rocky Putiray Eluas dari Papua, dengan  bercelana jeans dan berkaos oblong terlihat sedang asyik meminum Pepsi di Kentucky Fried Chicken sambil mendengar musik MP3 dari HP nya melalui earphone.

Sama juga susahnya membedakan identitas kultural mahasiswi cantik yang bernama Cecilia Oliviera yang berasal dari jajahan Portugis di Afrika itu (Kampus ini memiliki ratusan mahasiswa asiong dari Luar negeri juga). Yang sedang kumpul belajar bersama teman-teman  sambil mendengarkan musik Mariah Cerey yang diselingi dengan musik dankdut Rhoma Irama. Lihat juga misalnya, mahasiswi yang berasal dari Kota Ternate (Maluku Utara) yang bernama Yane Rumiati yang dengan santai mengenakan kaos tank-top. Yane yang sering nangkring di taman Tugu – di Jl.Dipati Ukur kota Bandung itu, acapkali sambil “cuci mata” di sore hari menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang diberikan oleh para dosennya. Kadang dia nongkrong di cafe anak-anak muda sekitar kampus yang kini semakin menjamur itu. Sekali-kali mulutnya yang mungil mengemil kentang goreng dari Texas Fried Chicken (KFC). Globalisasi dengan budaya kontemporer ini menunjukkan sifat positifnya juga yaitu berfungsi “menghubungkan” dan meleburkan sebagian dari  identitas budaya masing-masing ke dalam media baru yang disebut dengan "Budaya Pop (Pop Culture)". Dalam budaya kontemporer ini, orientasi mereka adalah ke masa depan dan global, bukan masa lalu primordial yang dianggap sudah selesai. Kini hanya berperan sebagai asesori saja ketika mengadakan upacara adat atau momen-momen tertentu.

Memang terlihat begitu jelas, bahwa globalisasi memang telah menghampiri pekarangan  rumah masyarakat Indonesia. Mulai di masyarakat yang tinggal di kota besar hingga ke pelosok tanah air.  Juga ke kantin Bu Siti di jalan masuk menuju ke kampus Sekeloa Bandung ini. Dan juga di kantin pohon di belakang gedung A , ketika terlihat  serombongan mahasiswi Kedokteran Gigi yang masing-masing mengenakan kerudung tengah asyik menelpon temannya mahssiwa dari negara lain yang kuliah di sini (melalui telpon selular) dengan menggunakan bahasa Inggris yang lumayan fasih.

Akhir Perjalanan Komunitas

Tak terasa waktupun terus berjalan. Akhirnya membawa  semua "penumpang" peradaban "Pop Culture" ini. Komunitas dalam perjalanan budaya ini (diaspora) akhirnya harus kembali ke rumahnya masing-masing di berbagai daerah (setelah di wisuda)….  Tuntas sudah tugas mereka dalam menyelesaikan perkuliahan masing-masing di kampus besar di kota Bandung  ini sambil bermetamorposa dalam budaya baru. Tentu ada secercah harapan ketika acara wisuda itupun akhirnya usai...  "Mudah-mudahan interaksi sosial yang bercorak Pop Culture itu dapat menjadikan masyarakat Indonesia mendatang semakin matang dan tidak lagi berorientasi primordialisme. Karena  para generasi mudanya (para mahasiswa daerah) tersebut yang tanpa disadari  bertahun-tahun hidup di kota besar seperti Bandung ini telah menjadi agen perubahan di daerahnya masing-masing sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya".

***

Dari sebuah catatan kecil yang saya bawa di Kereta Api tersebut, saya kemudian memindahkan tulisan itu ke halaman terakhir Buku Kenang-kenangan Mahasiswa Pasca Sarjana Angkatan 2001 BKU Akuntansi UNPAD yang kami buat. Bunyinya begini:

"Wahai para sobat,  bahwa  jika esok rambut kita ini semakin memutih oleh waktu ..Dan bila raut wajah kita kemudian semakin menunjukkan  tanda-tanda  bahwa telah begitu jauhnya perjalanan waktu kita...(sebagaimana halnya semua akan berubah). Maka, ingatlah momen ini...! Ketika kita berada disini dalam suatu komunitas yang telah membuktikan bahwa hipotesa Thomas Hobbe tidak benar. Kita sebagai bagian dari masyarakat Pluralisme dan Global itu bukanlah "srigala" bagi sesama. Dalam budaya kontemporer yang tanpa terasa kita jalankan itu, telah menunjukkan sisi lain yang positif, yaitu mempererat interaksi sosial masyarakat primodial yang menajdi driven untuk bergerak ke arah Modenisasi (Pluralisme) masyarakat Indonesia Baru. Kita disini telah memulainya..."

[caption id="attachment_228427" align="aligncenter" width="607" caption="(Salah satu komunitas mahasiswa pasca yang berasal dari berbagai daerah dan pelosok Indonesia tersebut. Ketika selama beberapa tahun mereka berkumpul di kota Banduing mengejar ilmu, harapan dan impian./Sumber: Buku Kenang-Kenangan Mahasiwa Pasca BKU Akuntansi Angkatan 2001. Penulis merupakan bagian dari komunitas ini dan berdiri paling belakang nomor dua dari kanan)"][/caption]

===============

(Ditulis kembali oleh: Rendra trisyanto Surya - 08 Desember 2012)

Tulisan ini pertama kali saya buat sebagai tulisan/artikel pengantar untuk buku kenangan-kenangan mahasiswa Pasca Sarjana S2 UNPAD  angkatan 2001 /BKU Akuntansi diatas. Kemudian tahun 2007 saya tulis ulang dengan diubah disana-sini yang  saya publikasikan di www.RendratrisBlog.Blogspot.com. Karena kalimatnya susah dipahami banyak orangw aktu itu, maka hari ini  saya tulis ulang sekali lagi dengan perubahan lumayan banyak. Kemudian saya muat di webblog Kompasiana saya ini sebagai bahan renungan bagi siapa saja yang membacanya. Semoga bermanfaat..!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun