Mohon tunggu...
Rendra Prihandono
Rendra Prihandono Mohon Tunggu... -

Mantan guru Sekolah Ciputra Surabaya, Kepala SMP YPPI 2 dan SD YPPI-1 Surabaya, dan kini menjadi litbang Kurikulum & SDM di Peek A Boo & Vision School Sidoarjo. Rendra juga adalah Pembicara Publik, Motivator dan Konsultan Pendidikan.\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Baru Atau Pola Pikir Baru?

31 Oktober 2012   03:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika pertama kali Rendra mendengar tentang adanya rencana pengubahan KTSP di tahun ajaran 2013-2014, sebagai seorang mantan kepala sekolah, Rendra langsung mengerutkan kening. Sama sekali itu bukan karena Rendra ikut-ikutan tidak setuju dengan pengurangan mata pelajaran, terutama di level sekolah dasar di mana IPA dan IPS “dihilangkan”, begitu gosipnya. Padahal keduanya hanya dilebur ke dalam IPU (Ilmu Pengetahuan Umum). Juga bukan karena kurikulum yang baru lebih menekankan pada karakter di mana adanya Pancasila dan PPKN menjadi indikasi. Rendra sangat setuju bahwa kurikulum yang baru ini seharusnya memang menempatkan karakter sebagai inti dari target belajar anak-anak kita. Sudah terlalu lama sekolah-sekolah kita mengabaikan pembinaan karakter secara tersistemisasi dan terorganisir dalam kegiatan belajar. Semua daya upaya dikerahkan untuk mencapai target akademik, bahkan ketika masih sangat jauh dari Ujian Nasional.Sehingga ketika kerusakan moral dan mental itu meledak dengan tumpahnya korban tragis karena tawuran pelajar dalam beberapa minggu kemarin, tiba-tiba saja urgensi eksistensi elemen karakter dalam kurikulum mendadak mendapatkan momentumnya.

Nah, yang membuat Rendra mengerutkan kening adalah betapapun baiknya niat yang mendasari perubahan kurikulum ini, namun Rendra melihat potensi-potensi di mana nasib kurikulum akan menjadi hampir sama dengan kurikulum yang sebelumnya. Tidak usah jauh-jauh, KTSP yang semangatnya sangat baik karena ingin mendesentralisasi kurikulum agar lebih ramah terhadap konteks masing-masing daerah dimana satuan pendidikan itu berada, akhirnya juga terjerembab karena multi interpretasi yang ironisnya justru sudah terjadi sejak di tingkat pusat, yaitu dengan pemusatan penentuan kelulusan melalui mekanisme yang namanya Ujian Nasional. Walaupun toh akhirnya formula penentuan kelulusan diubah lebih ramah siswa dengan mengurangi bobot Ujian Nasional dan menaikkan arti penting Ujian Sekolah, tapi Rendra rasa esensi KTSP sebagai kurikulum yang sebenarnya ideal menjadi terkesan mandul di lapangan.

Rendra agak khawatir dengan gagasan baru ini karena sebenarnya Rendra menangkap hasrat luar biasa dari para penggagas kurikulum baru untuk membuat kurikulum nasional menjadi lebih ideal sebagaimana negara-negara lain, misalnya yang terdekat Singapura. Singapura yang sangat konvensional dalam mengelola kurikulum (walaupun prestasi individu siswanya sangat baik) akhirnya tidak bisa mengelak dari trend pendidikan yang cenderung konstrutivistik dan menekankan pada siswa sebagai subyek pembelajaran di kelas. Program revitalisasi kurikulum bernama “Teach Less, Learn More” yang digagas sejak tahun 2008 kini sedang gencar digulirkan terutama di tingkat sekolah dasar. Inti dari program ini adalah guru bukan lagi subyek utama pemberi pengetahuan, sehingga posisinya yang sangat otoritarian perlahan digeser menjadi fasilitator kelas yang sifatnya lebih demokratis. Anak didik sejak dini diperkenalkan dan dibiasakan dengan pembelajaran berbasis riset, sehingga anak-anak ini lebih mandiri dalam belajar dan punya tanggung jawab besar terhadap proses belajarnya sendiri. Pembangunan etos kerja sebagai bagian dari pembentukan karakter sangat fundamental dalam program ini, walaupun memang masih sangat terkait dengan pencapaian hasil akademik siswa.

Kurikulum Singapura sendiri tidak memperkenalkan Science atau IPA sampai anak itu masuk kelas empat. Muatan IPA sederhana diintegrasikan ke dalam Bahasa Inggris yang dikelola secara tematik dan berbasis aktivitas. Coba bandingkan dengan anak kelas empat sekolah dasar sekarang yang bahkan sudah harus menghafal jumlah dan jenis tulang manusia! Mulai lebih dulu dengan muatan lebih banyak tidak serta merta membuat anak kita lebih unggul. Bila yang dibangun adalah etos belajarnya lebih dulu, kesenangan akan belajarnya lebih dulu, serta besarnya keingintahuan anak niscaya akan lebih mudah bagi anak tersebut di jenjang berikutnya untuk belajar lebih banyak muatan. Inilah yang terbalik di pola pikir kita.

Prinsipnya Rendra kira, kurikulum yang baru ini berusaha mendorong sekolah agar lebih berpusat pada siswa (student-centered) dan juga memaksimalkan pendekatan kecerdasan majemuk (multiple intelligence) serta kontruktivis (anak mengkonstruksi pemahaman terhadap sesuatu secara aktif). Beban jam pelajaran yang terlalu tinggi memang akan menghalangi proses belajar dengan aspek-aspek di atas tersebut. Melebur mata pelajaran tertentu dengan pola tematik juga merupakan jalan masuk agar proses belajar bukan melulu satu arah dengan kecenderungan menghafal, tapi menemukan pemahaman secara aktif serta keriangan hati. Jadi, guru terkurangi dominasinya dalam kelas dan anak-anak akan lebih banyak mengambil peran untuk belajar (Teach Less, Learn More).

Inilah yang membuat kening Rendra berkerut. Perubahan ini bukan sekedar secara teknis mengurangi sesuatu untuk langsung mendapatkan sesuatu. Ini perubahan besar dalam keseluruhan pola tindak dan perilaku. Jangan sampai terulang seperti ketika CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) diberlakukan, di mana guru akhirnya melepas siswanya “belajar” dan menganggap tugasnya selesai. Akhirnya, manajemen kelas hancur, tujuan pembelajaran tidak tercapai dan yang dikambinghitamkan adalah kurikulumnya. Kurikulum dianggap tidak cocok karena siswa belum siap belajar aktif dan masih memerlukan kontrol ketat dari guru.

Yang harus dilakukan Kemdibud menurut Rendra bukan sekedar uji petik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat. Yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan pusat-pusat pelatihan dengan para mentor/coach yang siap sedia melatih dan membimbing para guru ini untuk mengarungi masa transisi dari KTSP menuju kurikulum baru yang entah apa namanya ini. Yang perlu dipersiapkan adalah pondasi berpikir yang benar dulu. Bahwa belajar aktif bukan masalah siapa yang memegang kendali, tapi bagaimana menanamkan kendali itu dalam diri anak-anak kita, yang secara terstruktur berarti adanya ritual-ritual yang dibiasakan sejak dini. Bahwa tematik dan pengintegrasian mata pelajaran atau indikator pencapaian kompetensi memerlukan kemauan untuk melakukan perancangan bersama (team-planning) sehingga kerja sama dan saling pengertian antar guru di sekolah menjadi kunci. Bahwa realita sosial kita adalah holistik dan tidak bisa sepenuhnya dibagi-bagi dalam kerangka keilmuan atau mata pelajaran. Dan terahir yang sangat penting, bahwa inti dari semua pengajaran dan pendidikan adalah tumbuhnya karakter dan etos kerja anak didik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun