Mohon tunggu...
Rendra Amaral
Rendra Amaral Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hanya seorang penulis biasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan dan Anak Jalanan

10 Desember 2020   03:24 Diperbarui: 10 Desember 2020   03:27 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Istilah ‘anak jalanan’ pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993:9). Istilah anak jalanan yang digunakan di beberapa tempat lainnya, berbeda-beda. Di Kolombia mereka disebut gamin (urchin atau melarat) dan chinches (kutu kasur); di Rio de Jenairo disebut marginais (kriminal atau marginal); di Peru disebut pa’jaros frutero (burung pemakan buah), di Bolivia disebut polillas (ngengat); di Honduras disebut resistoleros (perampok kecil); di Vietnam disebut bui doi (anak dekil), di Rwanda disebut saligoman (anak menjijikkan); di Kamerun disebut poussing (anak ayam) atau moustique (nyamuk); di Zaire dan Kongo disebut balados (pengembara) (B.S. Bambang, 1993:9). Istilah-istilah tersebut secara tidak langsung menggambarkan posisi anak jalanan dalam masyarakat. Meskipun memiliki hak penghidupan yang layak seperti anak-anak pada umumnya, tetapi realitanya berbeda dan hampir semua anak jalanan mengalami marginalisasi pada aspek-aspek kehidupannya.

Situasi ekonomi di Indonesia yang kurang menentu ditambah dampak dari urbanisasi membuta daerah perkotaan di Indonesia menjadi sangat padat. Di sisi lain sulitnya akses pendidikan dan lapangan kerja membuat angka kemiskinan di kota cukup tinggi, ini berdampak pada salah satu permasalahan social di daerah kota yaitu anak jalanan yang lahir dari kesulitan hidup di perkotaan.

Fenomena anak jalanan menjadi salah satu permasalahan sosial yang cukup kompleks bagi kotakota besar di Indonesia. Apabila dicermati dengan baik,ternyata anak jalanan sangat mudah ditemukan pada kota-kota besar. Mulai dari perempatan lampu merah, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, bahkan mall, menjadi tempat-tempat anak jalanan melakukan aktivitasnya.

Menjadi anak jalanan bukan pilihan hidup yang diinginkan oleh setiap orang dan bukan pula pilihan yang menyenangkan, terutama terkait dengan keamanannya. Anak jalanan sering dianggap sebagai masalah bagi banyak pihak, yang disebut sebagai ‘sampah masyarakat’. Padahal anak jalanan sama dengan kita, mereka anak-anak yang sama-sama membutuhkan peran orang tua dan pendidikan bagi hidupnya. Tetapi pada faktanya menjadi anak jalanan juga suruhan dari orang tua yang tidak mampu membiayai hidup mereka, pada akhirnya mereka hidup di jalanan mencari uang kemudia menganggap pendidikan kurang penting untuk dijalani, walaupun tidak semuanya seperti itu.

Abu Huraerah (2006:78) menyebutkan beberapa penyebab munculnya anak jalanan, antara lain:

  • Orang tua mendorong anak bekerja dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga;
  • Kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orang tua semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan;
  • Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah;
  • Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah mahal/meningkat;
  • Timbulnya persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga anak terpuruk

Banyaknya anak jalanan yang tidak bisa mendapatkan pendidikan formal di sekolah cenderung disebabkan oleh factor ekonomi yang ridak menentuk di daerah perkotaan ditambah dengan diskriminasi sosial yang dilakukan pihak sekolah terhadap mereka. Banyak alasan yang dikemukakan sekolah untuk menolak keberadaan anak jalanan menempuh pendidikan di sekolahnya. Umumnya sekolah formal tidak mau menerima anak-anak jalanan, bisa dilihat dari larangan mendaftar bagi siswa yang terlihat berandal, baju kotor, dan berambut panjang bagi pria.

Anak jalanan sudah dianggap sebagai “biang” masalah dan sampah masyarakat, sudah menjadi label sehari- hari sehingga anak jalanan melakukan perilaku yang dikehendaki masyarrakat memalui label tersebut, walaupun tidak semuanya tetapi anak jalanan yang tidak mendapat pendidikan formal 9 tahun cenderung memiliki perilaku yang menyimpang pada faktanya.

Daftar Pustaka

Astri, H. (2014). Kehidupan anak jalanan di Indonesia: faktor penyebab, tatanan hidup dan kerentanan berperilaku menyimpang. Jurnal Aspirasi, 5(2), 145-155.

Jamaludin, Adon Nasrullah. 2015. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya. Jakarta: Pustaka Setia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun