Mohon tunggu...
Surya Narendra
Surya Narendra Mohon Tunggu... ASN -

Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pasca Revolusi Mental, Mau Ngapain?

19 Juni 2014   18:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:07 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?”

Biographical info di akun Kompasiana itu sudah saya pasang sejak beberapa bulan sebelum Pemilu Presiden, bahkan Pemilu Legislatif. Bukan tanpa alasan saya menuliskan kalimat tanya itu pada kawan imajiner saya yang bernama Bejo. Saya sudah gregetan dengan negara dan pemerintahan Indonesia. Saya sudah gemas sekali ingin melihat (bahkan kalau bisa ikut serta) revolusi terjadi sekali lagi di Indonesia.

.

Reformasi = Revolusi Setengah Hati

Revolusi terakhir yang terjadi di Indonesia terjadi pada tahun 1998, ditandai dengan pendudukan Gedung MPR/DPR oleh mahasiswa dan lengsernya Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru. Meski jarang atau bahkan sama sekali tak ada yang menyebut peristiwa itu sebagai Revolusi 1998, tetapi saya tetap menganggapnya sebagai sebuah revolusi.

Berkiblat pada definisi revolusi, yaitu perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat, saya menganggap bahwa Reformasi 1998 itu masuk ke dalam ranah revelusi.

Revolusi—yang selanjutnya kita sebut saja reformasi—ini mampu mengubah kondisi sosial dan politik bangsa Indonesia waktu itu. Akan tetapi—kalau boleh saya meminjam idenya Jokowi, reformasi yang terjadi ternyata hanya sebatas reformasi institusional dan sedikit menyentuh ranah konstitusional. Reformasi 1998 “hanya” menghasilkan berakhirnya rezim Orde Baru, amandemen UUD 1945, perombakan lembaga-lembaga tinggi negara, dan kebebasan berpendapat di muka umum.

Selebihnya tak ada perubahan revolusioner ke arah yang lebih baik. Secara umum justru kondisi negara dan bangsa Indonesia makin terpuruk. Bahkan kondisi seperti ini sampai menimbulkan lawakan di belakang bak truk “Piye kabare, Bro? Isih penak jamanku to?” Anggaplah itu hanya celotehan orang pinggiran, tetapi seringkali celotehan orang pinggiran itulah yang paling jujur.

Kondisi pasca reformasi yang melelahkan ini terjadi karena Reformasi 1998 dilakukan dengan setengah hati. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sejumlah aktivis yang telah gugur memperjuangkan reformasi, saya katakan bahwa Reformasi 1998 adalah sebuah bentuk revolusi yang dilakukan setengah hati.

Setengah hati karena para aktivis 1998 cepat puas dengan hasil reformasi. Soeharto turun, presiden ganti, Orde Baru runtuh, keluarga Cendana berantakan, dan para aktivispun puas. Hanya segilintir saja yang masih terus berjuang hingga jenggotan, lumutan, bahkan berakhir di kuburan. Lebih banyak aktivis yang kemudian ikut politik praktis. Atau kalaupun tidak ikut berpolitik praktis, diam dan sibuk mengurus diri sendiri menjadi pilihan hidup setelah Reformasi 1998.

Padahal sebuah revolusi itu harus dilakukan secara berlanjutan dan bersambungan. Boleh dikatakan revolusi itu tak akan ada habisnya. Apalagi untuk negara semuda Indonesia, akhir revolusi masih jauh. Ingat! Bung Karno sampai menjelang akhir hayatnya masih mengatakan bahwa revolusi Indonesia belum habis. Revolusi tak berhenti sampai pada Proklamasi Kemerdekaan. Pun belum habis sampai pada berdirinya NKRI. Revolusi Indonesia—menurut Bung karno—masih harus terus dilakukan.

.

Revolusi Mental : Konsep yang Masih Butuh Aktualisasi

Pertanyaan kepada kawan imajiner saya, Bejo, tentang kapan akan melakukan revolusi ternyata dijawab oleh “Jo” yang lain, yaitu Jokowi. Pada 10 Mei 2014 Jokowi menulis di kolom Opini Kompas dengan judul Revolusi Mental. Saya sungguh sumringah mengetahui ada seorang Calon Presiden yang berani—setidaknya lewat tulisan—merencanakan revolusi di Indonesia.

Setelah saya baca tulisan itu, saya pahami dengan seksama, akhirnya saya sepakat dengan ide Jokowi untuk melakukan revolusi mental. Akan tetapi jujur saja saya masih kurang puas dengan revolusi yang direncanakan oleh Jokowi.

Rencana revolusi Jokowi baru sebatas perubahan yang mendadak dan signifikan dari sisi mental bangsa atau orang-orangnya Selain itu, revolusi yang dicanangkan Jokowi di lembaran Kompas itu masih terlalu ideologis dan teoritis.

Maka saya dengan penuh harap menunggu Jokowi—atau timnya—mempublikasikan lagi kelanjutan dari Revolusi Mental tersebut. Saya berharap ada semacam penjelasan teknis tentang bagaimana rencana Jokowi dalam merevolusi mental bangsa Indonesia agar berdaulat secara politik, berdaulat secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.

Selain penjelasan teknis tentang bagaimana menjalankan Revolusi Mental itu, saya juga menunggu Jokowi membagikan rencana-rencana revolusi setelahnya sebagai lanjutan atas Revolusi Mental itu. Seperti halnya Bung Karno yang tak hanya berhenti pada konsep Berdikari atau Trisakti. Setelahnya ada konsep-konsep revolusioner lainnya macam Manipol Usdek atau bahkan Nasakom.

Namun sampai saat ini rupanya harapan saya belum dikabulkan oleh Jokowi dan timnya. Ini memang bukan hal yang sangat mendesak, tetapi alangkah lebih baiknya jika konsep revolusi bikinan Jokowi itu dijabarkan ke dalam program-program yang bersifat teknis, Ibarat Jokowi itu seorang jenderal perang yang mengusung konsep gerilya saat akan menyerang musuh, ia juga harus menyiapkan rencana operasi yang nantinya rencana tersebut akan menjadi acuan bagi prajurit dalam mengeksekusi operasi.

Misalnya untuk dapat berdaulat secara politik, rencana atau langkah apa saja yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia agar mental kita bisa berrevolusi menuju kedaulatan politik. Begitu pula dengan kedaulatan ekonomi dan berkepribadian sosial-budaya.

.

Gerakan Revolusi Pasca Revolusi Mental

Saat Jokowi mencetuskan Revolusi Mental, tentunya ia berharap apa yang dicanangkannya itu akan berhasil. Meskipun dalam sebuah revolusi pasti ada pihak-pihak yang kontra revolusi, tetapi saya percaya bahwa harapan akan keberhasilan revolusi ini pasti ada dalam benak Jokowi.

Sayangnya, saya juga belum melihat adanya rencana revolusi lanjutan apabila Revolusi Mental ini bisa berhasil. Padahal gerakan revolusi lanjutan pasca Revolusi Mental sangat diperlukan. Jika saya boleh ibaratkan revolusi itu semacam meng-upgrade komputer, maka Revolusi Mental saya ibaratkan meng-upgrade processor. Apa iya, setelah prosesor kita upgrade lalu otomatis komputer kita jadi baik? Tidak. Prosesor super canggihpun harus didukung hardware yang tepat, software yang oke, dan kecepatan koneksi internet yang mumpuni. Setelah semua di-upgrade, barulah komputer kita jadi komputer yang canggih.

Kita bayangkan saja Revolusi Mental a la Jokowi berhasil dilakukan dalam waktu 3 tahun. Terlalu singkat? Tidak. Ciri khas revolusi adalah kecepatannya. Itu yang membedakan dengan evolusi. Revolusi Amerika terjadi dalam kurun waktu 8 tahun (1775-1783). Revolusi Perancis memakan waktu 10 tahun (1789-1799). Revolusi Cina agak lebih lama, 38 tahun (1911-1949). Revolusi Kuba Cuma 6 tahun (1952-1958). Dan yang terlama adalah Revolusi Industri, 100 tahun (1750-1850).

Misalnya Jokowi jadi presiden, lalu dalam 3 tahun kepemimpinannya mampu melakukan Revolusi Mental Bangsa Indonesia. Katakanlah dalam 3 tahun kepemimpinan Jokowi, mental bangsa Indonesia menjadi kuat, mandiri, dan mumpuni. Lalu setelah itu mau dipakai untuk apa mental yang sehat itu?

Itulah yang saya maksud dengan gerakan revolusi pasca Revolusi Mental. Itulah yang saya bilang revolusi berkelanjutan. Bagaimanapun juga, revolusi fisik sangat dibutuhkan setelah revolusi mental.

Kalau boleh menyarankan, saya ada beberapa pandangan mengenai revolusi fisik yang mestinya dilakukan setelah revolusi mental sukses besar, yaitu :


  1. Nasionalisasi sumber-sumber kekayaan negara yang dikuasai asing, terutama sector-sektor yang berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak (minyak, batuan mineral, kehutanan, telekomunikasi). Masih banyak sector-sektor lain yang bisa dimanfaatkan oleh investor asing, jadi jangan takut kehilangan investor asing.
  2. Perumusan pidana mati sebagai pidana maksimal untuk terdakwa kasus korupsi, gratifikasi, dan kejahatan kerah putih lainnya. Jangan takut dinilai melanggar HAM. Persetan dengan Komnas HAM. Para penjahat kerah putih itu justru pelanggar HAM paling berat.
  3. Pemangkasan gaji pejabat negeri untuk dialihkan ke kantong anggaran yang lebih bermanfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat. Negara sedang dalam keadaan terpuruk, seharusnya pejabat sebagai pelayan rakyat juga ikut hidup sederhana, urip prihatin. Jangan rakyat melulu yang disuruh hidup sederhana dan sengsara. Jangan takut miskin. Sudah banyak bukti pejabat negara yang merelakan gajinya, tidak cuma dipotong, bahkan tidak diambil sama sekali. Nyatanya mereka bisa hidup normal, tidak lantas mati kelaparan.
  4. Penghentian total impor produk-produk yang bisa diproduksi bangsa sendiri. Negara Indonesia adalah negara yang lengkap dari segi sumber daya alamnya. Hampir semua kebutuhan pokok orang Indonesia bisa diproduksi sendiri di Indonesia. Daripada menghamburkan uang dengan mengimpor, lebih baik uangnya dipakai untuk memproduksi di tanah sendiri. Beras, gula, kedelai, sayuran, buah, jangan ada yang impor. Kalau masalah kualitas, ingatlah prinsip Bung Karno “Lebih baik makan nasi jagung tapi hasil sendiri, daripada makan nasi beras tapi impor dari luar negeri”. Adapun barang lain yang memang harus impor, terpaksa impor karena di Indonesia nggak ada atau nggak bisa diproduksi, ya impor.
  5. Menghentikan (boleh sementara atau selamanya) pengalihan fungsi lahan pertanian. Negara Indonesia itu negara agraris, masa iya lahan pertanian berkurang, dan justru pabrik atau mall jumlahnya bertambah?
  6. Menghentikan (boleh sementara atau selamanya) pembangunan hunian-hunian mewah macam apartemen, dan mulai membangun perumahan-perumahan rakyat. Tak perlu mewah atau terlalu bagus, yang penting representatif dan harganya murah. Semua orang berhak memiliki rumah, bukan cuma orang kaya saja. Apakah tidak ironis ketika masih banyak orang miskin yang terlunta-lunta hidupnya, sementara orang kaya punya puluhan rumah. Lebih ironis lagi saat puluhan rumah milik orang kaya itu dikontrakkan kepada orang miskin dengan harga sewa yang tinggi. Yang kaya makin gendut, yang miskin makin sekarat.

.

Saya rasa cukup itu dulu saran saya tentang revolusi fisik yang harus dilakukan setelah revolusi mental berhasil. Semoga Jokowi memiliki pemikiran yang sama dengan saya, agar revolusi mentalnya tidak bernasib seperti Reformasi 1998.

Jika Jokowi diijinkan oleh Tuhan untuk jadi Presiden RI dan benar-benar melakukan gerakan revolusi mentalnya—meskipun saya bukan pendukung Jokowi, tapi saya akan dengan senang hati ikut serta dalam gerakan revolusi ini.

.

.

Klaten_19062014

Merdeka! Merdeka! Merdeka untuk selama-lamanya!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun