Ada yang berkata bahwa Kompasiana itu tempat menulis dan memamerkan tulisan. Hal pertama yang harus dilakukan jika ingin “berkarir” di Kompasiana adalah menulis dan menampilkan tulisan itu kepada khalayak.
Beberapa berpendapat bahwa Kompasiana adalah tempat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman. Tak perlu menulis, cukup dengan membaca tulisan-tulisan di Kompasiana, niscaya wawasan kita akan bertambah. Wawasan yang baik dan wawasan yang buruk ada semua.
Sebagian lagi berpendirian bahwa Kompasiana adalah media sosial. Hal utama yang dilakukan adalah berinteraksi dengan sesama Kompasianer, berteman, bersahabat, bahkan sampai bertemu secara offline dan menjalin hubungan yang lebih dekat.
Bagi saya, Kompasiana adalah semuanya. Tempat menulis, iya. Tempat belajar, iya. Sebagai media sosial, iya juga. Namun baru-baru ini saya merasa Kompasiana adalah padepokan untuk melatih kepekaan berpikir.
Selama 4 bulan saya tidak pernah sama sekali membuka Kompasiana. Bahkan melongok saja tidak saya lakukan. Selama 4 bulan saya benar-benar meninggalkan Kompasiana. Tak pernah menulis lagi, tak pernah berkomentar atau memberi vote lagi, bahkan membaca tulisan di Kompasiana saja tidak pernah.
Segalanya berawal dari sering error-nya Kompasiana, ditambah adanya revolusi besar-besaran yang terjadi pada Kompasiana Mobile Version, membuat saya malas membuka Kompasiana. Sempat terlintas niat untuk move on and let go. “Ya sudahlah…toh segala masalah pasti ada solusinya,” begitu pikir saya. Namun ternyata move on and let go itu tak segampang memencet tombol Shift+Del. Diperburuk dengan masa Pilpres yang membuat iklim di Kompasiana memanas, makin malaslah saya dengan Kompasiana. Hangat memang enak, tapi panas juga nggak nyaman.
Selama 4 bulan puasa menulis dan membaca di Kompasiana itulah yang membuat saya merasa ada hal yang hilang dari dalam diri saya : kepekaan pikir. Kehilangan kesesatan pikir itu (mungkin) bagus, tapi kalau kehilangan kepekaan berpikir? Wah..bahaya.
Dulu waktu masih aktif di Kompasiana, ada seekor semut sedang kawin saja bisa jadi inspirasi tulisan. Tetapi setelah walk out dari Kompasiana, bahkan di Bekasi ada peluncuran rudal nuklir saja, pikiran saya hanya diam. Ada hal sebesar apapun lewat di depan mata saya, ya saya biasa-biasa saja. Pikiran saya tidak berkembang. Stagnan. Mandheg. Daya pikir dan analisa saya jadi tidak segenit dulu lagi.
Optimus Prime pernah berkata, “In the end, one shall stand, one shall fall”. Sudah banyak Kompasianer yang fall. Tapi kalau akibatnya daya pikir saya jadi tumpul, saya nggak mau fall. Saya ingin tetap stand.
Maka inilah awalnya. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi awal kemauan saya untuk kembali mengasah daya pikir dan analisa lewat menulis dan membaca. Semoga para Kompasianer berkenan menerima kehadiran saya lagi. Semoga akun saya belum di-banned oleh admin gara-gara terlalu lama tidak dipakai sampai karatan. Dan semoga yang terakhir adalah : semoga saya nggak malas lagi.
.
.
Klaten_14102014
You may lose your faith in us, but never in yourself (Optimus Prime)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H