Saya mengingat-ingat lalu menghitung, setidaknya ada 16 ajang pencarian bakat yang telah dan sedang disuguhkan oleh beberapa statsiun televisi kepada para pemirsanya. Di bidang tarik suara ada Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar, Kontes Dangdut Indonesia (dulunya Kontes Dangdut TPI), X-Factor Indonesia, Dangdut Academy, The Voice Indonesia, dan Mama Mia.
Di bidang memasak dan kuliner ada Master Chef Indonesia, Master Chef Junior Indonesia, dan Top Chef. Bahkan dalam bidang sulap juga ada The Master dan The Next Mentalist. Yang terbaru adalah pencarian bakat-bakat melucu, yaitu Sekolah Menjadi Komedian dan Comedy Academy. Masih ada juga Indonesia’s Got Talent dan Indonesia Mencari Bakat.
Dari sekian ajang pencarian bakat tersebut, hanya ada satu yang saya tonton dan ikuti setiap episodenya mulai dari audisi, pre show, sampai sekarang sudah menuju grand final. Stand Up Comedy Indonesia Season 4 atau yang lebih dikenal dengan SUCI 4 di Kompas TV, Inspirasi Indonesia.
Kesetiaan saya pada SUCI 4 ini bukan tanpa alasan. Saya menilai SUCI 4 adalah ajang pencarian bakat yang unik, beda daripada yang lain. Bahkan dibandingkan dengan dua ajang pencarian bakat komedian yang saya sebutkan tadi, SUCI 4 masih memiliki keunikan dan keistimewaan sendiri. Berikut ini 6 temuan saya tentang keunikan SUCI 4 Kompas TV dibandingkan dengan ajang pencarian bakat yang lain.
1. SUCI saya lihat sebagai pertama dan satu-satunya ajang pencarian comic (istilah untuk pelaku stand up comedy) di televisi swasta nasional Indonesia.
Stand up comedy telah menjadi sajian komedi alternatif bagi masyarakat Indonesia belakangan ini. Tak cuma menjadi alternatif, bahkan beberapa orang menjadikannya tayangan komedi wajib.
Sebenarnya stand up comedy telah dikenal sejak lama di dunia dan Indonesia, tetapi di Indonesia sendiri komedi jenis ini mulai booming lagi sejak adanya acara Stand Up Comedy di Metro TV. Dari situlah stand up comedy makin hari makin populer terutama di kalangan anak muda.
Namun ternyata Kompas TV—lewat Panji Pragiwaksono—menjadi yang pertama yang bisa melihat peluang dari stand up comedy lalu mengemasnya menjadi sebuah ajang pencarian bakat khusus stand up comedian (comic).
2. SUCI tidak ditayangkan secara live di televisi dalam setiap show-nya.
Hampir semua ajang pencarian bakat disiarkan secara langsung di televisi. Hal ini dilakukan untuk menambah efek reality show-nya. Dengan siaran langsung—dalam ajang menyanyi ,misalnya—tidak ada adegan yang di-cut. Baik atau buruknya suara peserta akan didengar langsung oleh pemirsa di rumah.
Namun Kompas TV ternyata tidak latah dan ikut-ikutan menyiarkan SUCI 4 Show secara live. Hal ini justru menjadikan SUCI Show di Kompas TV, yang ditayangkan tiap hari Kamis jam 10 malam, padat berisi. Dalam satu segmen ya isinya hanya penampilan komika, komentar juri, sedikit bumbu pembuka dan penutup dari host, sudah. Tidak ada adegan-adegan spontan di panggung yang tidak berguna dan hanya membuat waktu tayang makin panjang sehingga pemirsa di rumah menjadi bosan.
Penonton benar-benar fokus menyaksikan bagaimana para peserta melawak lalu dikomentari juri, sudah. Tidak ada adegan-adegan tambahan—misalnya saling bergosip antara para juri—yang terpaksa kita tonton hanya karena siarannya live.
3. Penentuan siapa yang harus tereliminasi dan siapa yang masih bisa lanjut tidak ditentukan oleh SMS atau polling dari penonton.
Dalam SUCI 4, close mic-nya seorang komika ditentukan dari penilaian para juri, bukan dari hasil pengumpulan polling para penonton. X Factor Indonesia di RCTI dulu juga menggunakan model penjurian seperti ini. Bedanya, keputusan juri X Factor banyak menimbulkan perdebatan, bahkan tak jarang cemoohan dari para penonton. Lihat saja ketika grand final juri justru memilih Fatin yang oleh beberapa orang dianggap kalah kualitas suaranya dengan Novita Dewi. Tak pelak ajang pencarian bakat yang tadinya bertujuan menghibur justru melahirkan permusuhan antar fanbase.
Hal semacam ini tidak saya lihat di SUCI 4. Keputusan siapa yang close mic dan yang tidak ditentukan oleh juri, tetapi—herannya—keputusan juri itu selau diterima oleh penonton, bahkan oleh fans para peserta. Saya sendiri merasakan bahwa keputusan dan penilaian juri terhadap para komika peserta SUCI 4 sama dengan apa yang saya rasakan dan apa yang saya nilai.
Buktinya, ketika Dodit close mic, tidak ada cemoohan atau protes keras dari para penonton terhadap juri. Padahal dari awal Dodit sangat lucu, unik, dan mampu membuat semua terpingkal. Pasti semua memprediksi Dodit juara. Tetapi menjelang akhir season ini, performa Dodit makin lama makin biasa saja, makin datar, makin mudah ditebak, dan akhirnya kalah bersaing dengan para komika lain yang makin kreatif. Bahkan teman kos saya yang fans beratnya Dodit saja mengakui bahwa penilaian para juri memang benar dan keputusan juri untuk meng-close mic-kan Dodit adalah keputusan yang objektif.
Sistem polling SMS dilakukan di SUCI 4 hanya untuk memilih komika terfavorit tiap minggunya. Komika terfavorit tersebut akan diberi keistimewaan, misalnya memilih urutan tampil atau memilih kelompok battle.
4. SUCI 4 Kompas TV tidak dipenuhi dengan adegan drama para komika pesertanya.
Selama ini banyak kita saksikan dalam tiap ajang pencarian bakat, pasti ada salah satu episode dimana kisah hidup pesertanya diungkapkan ke publik. Biasanya kisah hidup yang menyedihkan, entah itu kemiskinannya, keadaan orang tuanya, atau bahkan tragedi dalam hidupnya. Terkadang justru drama ini durasinya lebih lama daripada durasi si peserta dalam mempertunjukkan bakatnya. Akibatnya, drama ini menimbulkan simpati dari penonton yang ujung-ujungnya mendulang jumlah SMS dan polling hanya gara-gara bersimpati pada penderitaan hidup pesertanya, bukan karena bakat dan kemampuannya.
Di SUCI 4, drama murahan sejenis ini tidak berlaku. Kalaupun ada peserta yang menggandeng orang tua atau keluarganya, justru dijadikan bahan lawakan yang membuat penonton lain tertawa. Hal yang diungkap dari keluarga peserta adalah bagian unik dan lucunya, bukan bagian termehek-meheknya. David Nurbiyanto dengan Nyainya (neneknya) yang sudah sepuh tapi kocak, Abdur Arsyad dengan Mamanya yang hobi menonton sinetron sambil bawa parang, Lian dengan kelucuan kedua orang tuanya yang beretnis Cina.
Pernah suatu saat dua orang kakanya Dodit diundang ke atas panggung sebagai bentuk kejutan kepada Dodit. Apakah ada tangis haru dan drama picisan di situ? Tentu tidak. Yang ada justru keluarga ini menjadi bahan guyonan nan apik tapi tetap menempatkan nilai-nilai kehormatan di dalamnya.
5. Life after SUCI sangat diperhatikan oleh pihak Kompas TV.
Ingat Mawar AFI? Ingat Joy Tobing Idol? Dimana mereka sekarang? Itulah yang terjadi dengan selebritis jebolan ajang pencarian bakat. Memang tak sedikit juga yang akhirnya berhasil bertahan di dunia showbiz, tapi lebih banyak lagi yang terseok lalu tenggelam namanya setelah acara selesai.
Kondisi berbeda akan ditemui pada komika-komika jebolan Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV. Entah memang Kompas TV memfasilitasi para lulusan SUCI, atau para komika alumni SUCI yang mencari jalan sendiri. Akan tetapi saya tidak melihat para komika ini terlantar begitu saja. Yang jelas, David Nurbianto kemarin malam di Kompas TV mengatakan bahwa manajemen Kompas TV dan tim SUCI 4 selalu mengajarkan dan menekakankan ilmu life after SUCI. Dan itu yang membuat David merasa senang dan tenang menjadi grand finalis SUCI 4.
Sebagai bukti, Ernest Prakasa sebagai juara 3 SUCI Season I (2011) telah berhasil mengadakan tour-nya sendiri bertajuk Ilucinati Tour. Ge Pamungkas, juara I SUCI 2 telah punya acara sendiri di Kompas TV dengan judul #kepo (baca : hastag kepo) bersama Kemal Pahlevi (Juara III SUCI 2). Akbar sebagai juara II di SUCI Season I kita semua sudah tahu kini ia “laku” di ILK Trans 7 dan Tatap Mata juga di Trans 7. Belum lagi para lulusan SUCImacam Babe Cabita, Arie Kriting, Ernest Prakasa, Kemal Pahlevi, Fico Cacola, dan Ge Pamungkas yang juga bermain dalam film berjudul Comic 8. Tentunya masih banyak lagi komika-komika SUCI yang dibuatkan acara oleh Kompas TV di Kompas TV.
6. SUCI 4 menampilkan lawakan-lawakan cerdas tapi menghibur.
Di tengah keprihatinan sebagian besar masyarakat tentang maraknya komedi-komedi saru dan slapstik di televisi, SUCI 4 hadir sebagai oase yang menghidangkan lawakan lucu, bermutu, cerdas, dan berisi.
Sebut saja YKS, Pesbukers, Campur Campur, dan acara nggak jelas lainnya. Mereka banyak menampilkan lawakan-lawakan dangkal yang disesaki gerakan-gerakan slapstik cenderung bullying, candaan-candaan seksual yang mengarah bokep, dan tak lupa bumbu gosip kehidupan pribadi para pemerannya.
Dalam SUCI 4, jarang sekali—kalau tidak boleh mengatakan tidak ada—komik yang gaya lawakan dan bercandanya seperti para pelawak di acara-acara yang tadi saya sebutkan. Komika hanya mengandalkan story telling, monolog, ngomong sendirian di depan orang banyak. Tak perlu banyak gerak, tak perlu banyak tingkah, cukup dengan berbicara. Kalaupun ada komika yang mengandalkan gerak tubuh dan mimik muka (act out), itu hanya sebagai bumbu dan senjata pelengkap untuk menyempurnakan story telling-nya. Dan nyatanya komika-komika dengan ciri khas act out yang kuat justru berguguran di tengah kompetisi. Sedangkan 3 komika yang masuk 3 besar semuanya mengandalkan cara ngomong.
Dua orang komika yang masih bertahan dan akan berlaga di grand final, keduanya memiliki ciri khas lawakan cerdas, mengangkat budaya atau tradisi lokal, dan ada sisipan kritik yang menohok di tengah tawa. Abdur Arsyad selalu punya cara unik menceritakan kehidupan masyarakat timur Indonesia yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat kota di Jawa. Dengan kocaknya, ia melancarkan kritik pada pemerintah Indonesia yang dari dulu selalu pilih kasih dalam hal pembangunan terhadap wilayah timur Indonesia.
David Hariyanto, selalu konyol dengan cerita masyarakat Betawinya yang bisa dibilang masih udik. Tak lupa ia sisipkan kritik terhadap pemerintah yang semena-mena menyingkirkan tradisi Betawi demi pembangunan Jakarta metropolitan.
.
.
Akhirnya, salut untuk Kompas TV dan SUCI atas tayangan komedi asiknya. Dan selamat karena telah membuat saya—yang tadinya memandang sebelah mata acara pencarian bakat di televisi—menjadi penonton setia sebuah acara ajang pencarian bakat di televisi.
Great job, Dude..
.
.
.
Klaten_13062014
Let’s make laugh….
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI