Mohon tunggu...
Surya Narendra
Surya Narendra Mohon Tunggu... ASN -

Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengejek Wong Londo (Tentang Sapi)

13 November 2013   11:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:14 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sebuah artikel milik salah satu Kompasianer membuat saya tergelitik untuk memberikan komentar di bawahnya. Ternyata saya pikir komentar saya itu asyik juga kalau dipanjangkan menjadi sebuah artikel.

Artikel yang mana saya ikut berkomentar itu bercerita tentang orang Indonesia yang tinggal di Australia. Nah, kebetulan suatu saat si orang Indonesia ini kangen ingin makan sambal goreng ati. Sayangnya di Negeri Kanguru tersebut tidak ada toko yang menjual hati sapi. Bagi warga Australia hati sapi beserta organ dalam lainnya (selanjutnya saya sebut jeroan) merupakan sampah/limbah yang fungsinya sebagai makanan anjing. Mereka hanya mengambil dagingnya untuk dikonsumsi. Dan saya rasa hampir sebagian negara-negara maju lain (terutama negara barat) juga melakukan hal serupa.

Orang-orang ini telah berpikiran lebih sehat. Mereka telah memiliki visi yang bagus mengenai kesehatan makanan. Mereka menganggap bahwa jeroan sapi merupakan bahan makanan yang menjijikkan dan rentan menyebabkan penyakit-penyakit berat seperti jantung, darah tinggi, asam urat, dan lainnya. Dan “sayangnya” anggapan mereka ini ditunjang dengan hasil penelitian dari para ahli gizi.

Fakta ini membuktikan bahwa orang Indonesia ternyata masih lumayan primitif. Di Indonesia jeroan sapi ya tetap dikonsumsi. Malah kadang harganya bisa mahal. Padahal sudah banyak penelitian sekaligus bukti di sekitar kita bahwa jeroan sapi itu rentan menyebabkan penyakit-penyakit mematikan. Atau secara ekstrim bisa dikatakan bahwa sebagian besar orang Indonesia masih memakan makanan dari bahan yang oleh negara maju sudah dianggap sebagai bahan makanan yang menjijikkan.

Apakah dengan premis-premis tersebut kita bisa bilang bahwa orang Indonesia menjijikkan?

Ah, bukan orang Indonesia namanya kalau tidak bisa ngeles. Maka saya sebagai orang Indonesia punya bahan pengelesan (ini bahasa apa sih pengelesan??) yang akan meng-counter pertanyaan dan pernyataan tentang menjijikkannya orang Indonesia di bidang hidangan sapi-sapian.

Maka, Hei Orang Barat..

Okelah silakan bilang orang Indonesia menjijikkan sebagai pemakan jeroan sapi. Tapi hei, para antek-antek barat (wah, kok jadi politis gini) coba sadari satu hal ini : kalian kalah kreatif dengan orang-orang Indonesia.

Dari seekor sapi kalian hanya bisa mengolah dan memakan satu bagian saja, yaitu daging. Lihat orang-orang Indonesia. Hampir 98% bagian tubuh sapi bisa dimanfaatkan oleh orang Indonesia.

Kita mulai dari ujung depan. Hidungnya bisa dibuat rujak cingur khas Palembang, eh Surabaya maksudnya. Telinga dan kulit serta urat-urat di kepalanya bisa kami buat oseng kikil lombok ijo yang kenyal-kenyal seperti permen Yupi.

Dagingnya jelas untuk dibuat masakan yang maknyus dan top markotop. Misalnya rendang, yang bahkan kalian orang-orang Amerika dan Eropa saja mengakui kemaknyusan makanan ini. Itu baru rendang, belum gule sapi, bakso, soto sapi, atau abon sapi. Kalau cuma burger ya kalah sama rendang kami.

Paru-parunya bisa dibuat snack teman menonton film. Kalian boleh bangga dengan popcorn kalian. Itu gampang ditiru, kami juga bisa membuatnya, kami sudah banyak membuat popcorn yang kalian banggakan itu. Tapi coba rempeyek (keripik) paru yang renyahnya bukan main itu. Apa bisa kalian buat yang seperti itu?

Hati sapinya bisa dibuat sambal goreng ati seperti yang sudah saya ceritakan di awal tadi. Tekstur yang kenyal-kenyal agak keras gimana gitu dibalut kuah kental berbumbu penuh rempah yang kaya rasa.

Lambung dan ususnya, tempat menampung kotoran yang membuat kalian muntah itu, di tangan-tangan terampil chef kami bisa disulap jadi makanan yang tak kalah dengan zupasoup milik kalian. Mau yang berkuah segar? Tinggal dibuat soto babat. Mau yang berkuah kental? Bisa kami buatkan gule iso-babat. Atau mau yang digoreng? Bisa kami bacemkan lalu digoreng kering.

Melaju terus ke organ tubuh bagian belakang ada ekor yang di negara kami bisa diolah menjadi sop buntut yang heemmm..segarnya bukan main. Jangan lupa di bawah buntut utama masih ada buntut cadangan yang bisa bikin sapi betina hamil. Karena kami menjunjung adat ketimuran yang penuh sopan santun, maka saya tidak akan menyebutnya sebagai penis sapi jantan. Di daerah saya buntut cadangan itu disebut torpedo. Keren kan namanya? Seperti senjata kapal selam yang kalian orang barat suka buat.

Bagi kami, barang seperti torpedo bisa kami masak dan makan. Bahkan torpedo dipercayai sebagian orang bisa meningkatkan vitalitas seorang pria saat menjalani kewajibannya menafkahi istrinya. Viagra yang kalian bikin nggak ada apa-apanya. Jadi jangan heran kalau ada pria Indonesia bisa menghamili sapinya, eh istrinya, dengan sekali “slam dunk” gara-gara habis makan torpedo sapi.

Sudah semua mulai dari depan sampai belakang? Belum, Mister Wong Londo..masih ada tulang belulangnya yang di tangan para juru masak kami bisa diolah menjadi thengkleng khas Solo yang alamak nikmatnya.

Sudah? Belum. Kan masih sisa kulit sapinya. Dengan sedikit ketekunan, kulit sapi pun bisa kami olah jadi cemilan asyik : rambak kulit sapi. Crispy, tasty, yummy, ah keripik-keripik kentang kalian kalah asyiknya sama rambak kulit sapi bikinan kami.

Jadi apa yang tersisa? Kotorannya saja kan? Itu baru yang kami buang. Sekarang bandingkan, satu ekor sapi bagi orang Indonesia bisa diolah hampir semua organ tubuhnya menjadi beraneka ragam masakan yang jangan ditanya lagi kelezatannya. Lah kalian? Hewan segitu besarnya cuma bisa kalian olah dagingnya saja. Nggak kreatif ah..kalah kreatif sama orang Indonesia.

.

.

.

Klaten_13112013

Right or wrong, this is my country.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun