Mohon tunggu...
Surya Narendra
Surya Narendra Mohon Tunggu... ASN -

Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kompasianer dan Konsistensi

18 November 2013   08:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah tahu ada seseorang berkata bahwa hasil tulisanmu mencerminkan sifatmu. Saya setuju dengan pernyataan ini. Sebelumnya perlu saya tegaskan bahwa hasil tulisan yang dimaksud di sini tentunya bukan bentuk huruf tulisan tangannya. Kalau itu jelas mencerminkan pribadi orangnya, bahkan sudah ada cabang ilmunya yaitu grafologi.

Hasil tulisan yang saya maksudkan adalah hasil karya-karya tulisnya. Termasuk di Kompasiana tempat kita bernaung ini. Walaupun saya juga tidak seratus persen yakin bahwa teori tulisan adalah cerminan diri itu tepat. Tetapi selama saya melahap tulisan-tulisan di website ini sekaligus berhubungan dengan para penulisnya, setidaknya sudah banyak yang terbukti bahwa sifat mereka secara tidak langsung dan tidak mereka sadari muncul dengan sendirinya lewat tuilsan-tulisan mereka. Apalagi ditambah komentar-komentarnya yang pasti lebih spontan daripada sebuah tulisan.

Dari sekian sifat Kompasianer yang saya telisik lewat tulisannya itu, ada satu sifat yang paling berbahaya, yaitu orang (atau dalam hal ini Kompasianer) yang tidak konsisten. Bahasa Jawanya, anane mung mencla karo mencle. Bahasa Arabnya, munafikun wal ngapusiyah al bohongiah. Bahasa Alaynya, ababil (anak baru labil). Ngomong-ngomong kok saya paham bahasa alay ya? Ahh sudahlah..tulisan ini bukan untuk membahas hal itu.

Mengapa saya mengatakan bahwa orang atau Kompasianer yang tidak konsisten itu berbahaya?

Pertama, karena dulu saya pernah jadi orang yang tidak konsisten, dan hal itu menimbulkan akibat yang sangat tidak enak terhadap orang lain. Tak cukup terhadap satu orang saja tetapi banyak orang, termasuk diri saya sendiri. Jadi saya tahu betul akibat yang ditimbulkan dari ketidakkonsistenan. Sampai sekarang bahkan saya masih trauma dengan akibat dari ketidakkonsistenan saya itu.

Kedua, negara ini jadi berantakan begini sebenarnya gegaranya cuma satu : banyak orang Indonesia (terutama pemimpin dan pejabatnya) yang tidak konsisten. Sumpahnya bekerja untuk kepentingan rakyat, nyatanya justru memperkaya diri sendiri dan menyengsarakan rakyat. Teriak-teriak tidak pernah korupsi sepeserpun, tapi sebulan kemudian digerebek di kamar hotel sedang menerima uang suap. Dan masih banyak contoh lain yang terlalu panjang jika saya sebutkan satu persatu di sini.

Sifat tidak konsisten yang paling umum kita temui yaitu bila seseorang itu tidak sama, tidak sejalan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukannya. Misalnya ngomong bahwa dirinya adalah orang yang tidak suka hal-hal berbau pornografi. Tetapi pada kenyataanya setiap hari mengunduh film bokep 3gp di warnet. Kenyataannya di galeri handphone-nya ada ratusan foto cewek bugil. Itu sifat tidak konsisten yang biasa kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Banyak orang yang seperti itu. Dan kalau tidak jeli, kita akan kesulitan melihat ketidakkonsistenan macam ini.

Namun dalam dunia yang kita sebut Kompasiana ini, ketidakkonsistenan seorang Kompasianer sangat mudah dilihat dan ditemukan. Mudah karena segala bukti tentang ketidakkonsistenan seorang Kompasianer terpampang sangat nyata dan gamblang di layar laptop atau smartphone kita masing-masing. Atau kalau yang gadget-nya pinjaman ya berarti terpampang di gadget pinjaman masing-masing. Yang masih kredit (termasuk saya) ya berarti terpampang di gadget kreditan masing-masing. Yang gadget-nya hasil colongan ya hati-hati, siapa tahu di belakang rumah anda ada Pak Polisi siap-siap menangkap anda.

Oke..back to business, fellas. Jadi di Kompasiana ini sangat kelihatan Kompasianer yang tidak konsisten, karena buktinya mudah didapatkan.

Misalnya seorang Kompasianer bionya bertuliskan : seorang ustadz yang sedang mencari pintu surga dengan menghindari maksiat dan nikmat duniawi. Tetapi koleksi tulisannya berisi hal-hal berbau saru, bokep, porno, free sex, memaki-maki orang lain pakai kata-kata kotor, pisuhan dan kawan-kawannya. Langsung ketahuan kan ketidakkonsistenannya?

Contoh lagi Kompasianer suatu saat membuat tulisan yang isinya anjuran untuk menghindari perkelahian. Bahkan menulis bahwa dirinya anti kekerasan, dan sebagianya. Tetapi di lain hari yang bersangkutan menulis yang isinya justru menghujat dan memaki orang atau Kompasianer lain. Lah? Tampak benar kan ketidakkonsistenannya?

Ya itu hanya sebagian contoh saja. Kalau harus saya sebutkan siapa saja Kompasianer semacam ini satu persatu, bisa-bisa kram jari saya mengetik 50 halaman A4, heuheuheu..

Ada seorang Kompasianer senior yang sempat berkomentar di akun Facebook saya. Inti komentarnya adalah kalau di Kompasiana ini ingin jadi “setan” ya jadilah sejak awal sampai Kompasiana kiamat nanti. Sebaliknya kalau mau jadi “malaikat” ya jadilah sejak awal. Jangan di awal jadi “malaikat”, tapi karena karir sebagai “malaikat” di Kompasiana kok kayanya kurang menjajikan lalu tiba-tiba jadi “setan”. Karena bagimanapun juga seperti di awal saya bilang tadi, sifat kita akan terlihat dari tulisan-tulisan kita. Sepandai-pandainya kita menyembunyikan sifat asli kita, akhirnya akan tampak juga.

Kalau saya ya lebih baik menunjukkan dari awal kalau saya ini senang bilang jancuk, gemar merokok, kadang omongannya nyerempet saru. Kalau mau berteman ayo, tidak mau ya sudah. This is me.. (kaya iklan Samsung Galaxy yak?)

Poinnya adalah saya hanya mau mengingatkan dan mengajak Kompasianer semua untuk jadi penulis yang konsisten. Kalaupun belum boleh mengingatkan Kompasianer yang ada di sini, paling tidak saya ingin mengingatkan saya sendiri. Bahwa saya juga belum seratus persen lepas dari sifat tidak konsisten. Bahwa saya juga masih dalam proses menuju orang yang konsisten. Bahwa saya pun manusia yang juga dapat jatah godaan dari setan untuk tidak konsisten.

Justru dengan hadirnya tulisan ini saya mohon bantuan dari teman-teman Kompasianer semua untuk mengingatkan saya misalnya suatu saat saya tidak konsisten. Di Kompasiana ini saya kan sering sekali mengkritik pemerintahan Indonesia yang korup nih? Nah, kalau suatu saat saya jadi pejabat Negara. Misalnya Ketua KPK (amin ya Allah..yaa Robbal’alamin) ternyata saya malah menumbuhsuburkan korupsi, maka tulisan saya ini bisa sebagai bukti untuk mengingatkan saya agar tetap konsisten dengan idealisme saya. Tolong dibantu yaak..prok..prok..prok yaak? *Pak Tarno wanna be*

Dalam menulis pun kadang saya masih suka tidak konsisten juga. Ya ini misalnya sekarang tulisannya sok bijak begini, sok santun, tapi di tulisan lain isinya pisuhan joncak-jancuk di sana-sini.

Kalau tentang jancuk sih menurut keyakinan saya atas hasil berguru dengan Mbah Sujiwo Tejo, jancuk itu bukan semata-mata misuhi (memaki) seseorang. Jancuk itu spektrumnya luas, bahkan lebih luas daripada fuck. Jancuk bisa sebagai bentuk keakraban antar teman. Jancuk juga bisa sebagai ungkapan ke-konsisten-an, kalau memang jancuk ya katakan jancuk. Ngapain di depan bilang nuwun sewu tapi di belakang bilang jancuk? Tidak konsisten namanya.

Dan untuk diingat bahwa misuh dengan misuhi itu beda. Misuh itu mengeluarkan kata makian tapi tidak ditujukan untuk siapa-siapa, tidak ada objek pisuhan atau makiannya. Sedangkan misuhi itu mengeluarkan kata makian tetapi ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Ada objek pisuhan/makiannya. Jadi, silakan misuh tapi jangan misuhi orang lain.

.

.

.

Klaten_17112013

Jadi sebenarnya tulisan ini tentang Kompasianer yang konsisten atau tentang jancuk dan pisuhan? Karena saya bingung makanya saya masukkan kanal Catatan Harian,”kanal karet” di Kompasiana..heuheuheu..

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun