Mohon tunggu...
Surya Narendra
Surya Narendra Mohon Tunggu... ASN -

Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tribute to Peristiwa Malari 1974

15 Januari 2014   13:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin hanya segelintir orang saja yang tahu dan peduli tentang sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia tepat 40 tahun yang lalu. Tanggal 15 Januari 1974 pernah terjadi salah satu peristiwa pergerakan mahasiswa menentang penguasa pada jaman itu. Tersebutlah Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), sebuah gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru (Soeharto). Para mahasiswa mengecam keras keputusan pemerintah untuk bekerjasama dengan pihak asing terkait pembangunan nasional. Para aktivis mahasiswa menganggap bahwa kerja sama asing sudah menyimpang dari konsep pembangunan untuk kepentingan rakyat.

Kronologi Peristiwa Malari (versi buku sejarah anak sekolah)

Sebenarnya pada tanggal 11 November 1973, aksi protes mahasiswa telah dimulai. Pada saat itu Indonesia kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk. IGGI adalah sebuah lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat. Akan tetapi protes yang dilakukan saat kedatangan Jan Pronk masih sebatas demonstrasi dengan membawa poster dan gambar berisi kritikan.

Puncak aksi protes mahasiswa terjadi saat Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, datang berkunjung ke Indonesia pada tanggal 14-17 januari 1974. Awalnya aksi protes akan dilakukan di Bandara Halim, tetapi karena tempat tersebut dijaga ketat oleh pihak keamanan akhirnya aksi dipindahkan ke Jakarta Pusat, kawasan Senen, dan tempat lain. Di kawasan Senen terjadi kerusuhan hebat. Pertokoan, mobil, motor dibakar habis. Barang-barang ludes dijarah oleh massa.

Dari peristiwa itulah muncul seorang aktivis mahasiswa yang menjadi icon Peristiwa Malari, dialah Hariman Siregar. Hariman kemudian dianggap—oleh Orde Baru—sebagai dalang kerusuhan Malari. Dia dianggap menggerakkan massa untuk melakukan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Bahkan Jendral Soemitro menganggap bahwa Hariman Siregar ingin melakukan usaha makar.

Dan inilah titik tolak sikap represif Soeharto dan Orde Baru terhadap segala macam kritik terhadap pemerintah.

Hariman akhirnya divonis bersalah dan dijatuhi enam tahun penjara, meskipun hanya sekitar dua tahun saja yang ia jalani. Akan tetapi selama menjalani masa tahanan itu Hariman mengalami timpaan musibah bertubi-tubi. Anak kembarnya meninggal saat dilahirkan, menyusul ayah kandungnya juga meninggal, belum lagi ayah mertuanya juga ikut dipenjara dan istrinya mengalami hilang ingatan. Namun dengan semangat menentang kesewenangan penguasa yang otoriter akhirnya Hariman mampu melewati masa-masa sulit tersebut.

Tolak Lupa Sejarah!

Menyadari bahwa hanya sedikit orang (terutama anak muda) yang tahu dan peduli dengan sejarah membuat saya geleng-geleng kepala. Indikatornya tidak perlu njlimet-njlimet, dari sekian ratus teman saya di media sosial ternyata belum ada yang meng-update status-nya tentang Peristiwa Malari. Coba bandingkan bila Super Junior atau Lady Gaga mau datang ke Indonesia, saya jamin pasti ramai orang membicarakan di media sosial.

Saya juga begitu yakin masih ada orang-orang (khususnya pemuda) yang berpikiran bahwa sejarah itu membosankan, sejarah itu bikin ngantuk, belajar sejarah itu nggak ada gunanya. dan keyakinan saya itu membuat saya berpikir bahwa pantas saja Jakarta selalu banjir.

Karena warganya tidak pernah mau belajar dari sejarah. Warga Jakarta masih enggan belajar dari kesalahan masa lalu. Mereka menuntut Jakarta bebas banjir tapi tidak mau merawat sungai, membuang sampah sembarangan, membangun ribuan kubik beton, memenggal ribuan pohon di kawasan Puncak. Kita tidak pernah mau belajar dari kejadian sekian tahun sebelumnya. Kita hanya mau enaknya saja, melimpahkan segala urusan ke orang lain. Kawan, meskipun 1000 Jokowi ada di Jakarta, kalau warganya tidak mau belajar dan memperbaiki kesalahan di masa lalu maka saya jamin banjir akan terus terjadi tiap tahun.

Pemerintah, birokrat, dan parlemen di Indonesia juga tidak pernah mau belajar dari sejarah bangkrut dan hancurnya VOC Belanda. VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bangkrut karena digerogoti oleh pejabat dan pegawainya yang korup. Tetapi sekali lagi kita malas belajar dari kesalahan di masa lampau. Kita terlalu malas mempelajari sejarah, apalagi memperbaiki perilaku agar sejarah tidak terulang.

.

.

.

Klaten_15012014

Move on bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi bagaimana memperbaiki masa sekarang agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan. (originally quoted by Surya Narendra)

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun