Bung Hatta dulu pernah berkata bahwa di negara ini korupsi sudah membudaya. Pernyataan biasa tetapi punya makna yang luar biasa. Coba bayangkan, bisakah kita menghilangkan budaya Jawa dari tanah Jawa? Mustahil, kecuali tanah Jawa tenggelam dan orang-orangnya binasa. Nah ini yang jadi budaya adalah korupsi, termasuk gratifikasi dan kolusi. Bukankah itu luar biasa?
Bayar!
Salah satu budaya korupsi, khususnya gratifikasi di Indonesia adalah dalam hal seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Sejak kondisi ekonomi di Indonesia makin sulit, PNS menempati peringkat atas dalam daftar mata pencaharian yang menjanjikan. Tak hanya menjanjikan dalam hal finansial, tetapi juga dinilai bergengsi dalam tatanan kasta masyarakat Indonesia.
Hal inilah yang menyebabkan semua orang berlomba-lomba menjadi PNS. Segala cara dilakukan agar bisa terdaftar sebagai prajurit Korps Pegawai Republik Indonesia. Salah satu jalan tikus yang digunakan untuk menghindari kemacetan adalah jalan kekeluargaan dan jalur suap.
Saya adalah salah satu dari sekian juta orang Indonesia yang ikut berdesak-desakan untuk bisa hidup seadanya dengan gaji sekenanya sebagai PNS. Di bawah duaja pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi, saya percaya bahwa seorang anak desa yang jauh dari kata kaya seperti saya bisa jadi PNS tanpa membayar sepeser rupiahpun. Saya percaya bahwa rekrutmen korps abdi negara benar-benar bebas dari pungutan-pungutan.
Ternyata perkiraan dan harapan saya salah besar.
Sejak pendaftaran online sampai akhirnya diterima dan melakukan pemberkasan ulang agar mendapatkan NIP, saya selalu saja harus membayar ini dan itu. Pungutan di sana dan di sini bagai pompa minyak yang mengeringkan isi perut bumi.
Meskipun saya tahu akan sangat berbahaya jika saya membeberkan semua praktek pungutan itu, tapi saya siap demi transparansi.
Pungutan yang jelas dan sangat sering terjadi adalah pungutan di tukang fotocopy. Fotocopy ijasah, KTP, akta kelahiran, SKCK, dan fotocopy-fotocopy yang lain. Untuk memuluskan si tukang fotocopy dalam menggandakan dokumen yang harus saya lengkapi, ternyata saya harus membayar.
Kemudian untuk mengirim berkas dari Klaten ke Jakarta lewat pos ternyata saya juga harus membayarkan sejumlah uang. Besarnya adalah Rp 18.500,-.
Sampai di sini sebenarnya saya sudah ingin menyerah, karena saya merasa ada sesuatu yang salah. Katanya penerimaan CPNS sudah tidak ada lagi budaya bayar-membayar, ternyata masih ada. Tapi melihat binar harapan di bola mata ibu, saya jadi bersemangat kembali.
Akhirnya tibalah hari dimana saya harus mengambil kartu ujian seleksi di Jakarta. Dan lagi-lagi pungutan membegal saya. Kali ini Pertamina yang main pungut. Saya minta bensin agar mobil yang saya naiki bisa jalan, eh saya disuruh bayar. Saat tiba di Jakarta, saya mampir ke warung makan untuk mengisi lambung, disuruh bayar lagi. Pungutan lagi.
Saat melakukan tes di kantor BKN di Jakarta, saya sudah siap. Saya yakin pasti ada pungutan lagi. Pasti bayar lagi. Dan tepat 100% perkiraan saya. PT Kereta Api (Persero) ikut-ikutan menarik pungutan saat saya meminta tiket kereta api dari Klaten ke Jakarta. Saat itu saya ingat betul disuruh membayar Rp 187.500,- untuk bisa duduk di bangku KA. Gajahwong.
Kering kerontanglah rekening saya akibat pungutan-pungutan di sepanjang perjalanan saya untuk bisa jadi buruh pemerintah, padahal saya belum pasti diterima. Namun berkat doa ibu dan bapak yang terbang vertikal ke langit, akhirnya Allah “memasukkan” nama saya ke dalam daftar peserta seleksi CPNS yang lulus dan diterima.
Lega. Akhirnya urusan pungut-memungut ada hasilnya juga. Seragam warna biru sudah terbayang 5 cm di depan jidat saya. Selanjutnya saya harus melakukan pemberkasan ulang di Jakarta. Maka berangkatlah saya ke ibu kota, yang lebih susah ditaklukan daripada calon ibu mertua.
Namun peristiwa kelam itu terulang lagi. Ada pungutan lagi oleh pihak Pertamina dan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Saat di pom bensin Pertamina saya hendak menghindari pungutan atas bensin yang saya minta, eh saya malah dikira maling. Di situ kadang saya merasa seperti maling. Begitu pula saat saya berusaha menghindari pungutan tiket di stasiun kereta api, saya malah dibilang penumpang gelap. Di situ kadang saya merasa kulit saya memang agak gelap.
Tak hanya sampai disitu pungutan yang saya alami. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah juga ikut nimbrung melakukan pungutan saat saya meminta surat keterangan sehat dan surat keterangan bebas narkoba. Bayangkan saja, untuk mendapatkan surat keterangan berbadan sehat, saya harus membayar Rp 17.500,- dan Rp 95.000,- untuk mendapatkan surat keterangan bebas narkoba. Sungguh kejam pungutan-pungutan itu. Ya Allah…mau jadi apa negeri ini kalau untuk menggunakan jasa dokter saja kita harus membayar? Apa kita mau dicap sebagai negeri yang normal? Hah?! Jawab! Jangan cuma diam saja! Tolong dong ngertiin aku!
Untungnya itu adalah pungutan yang terakhir. Saya akhirnya bisa berangkat ke ibu kota yang tak secantik ibu-ibu muda. Pemberkasan juga bisa saya laksanakan dengan lancar, meskipun ada sedikit kendala yang saya anggap masih biasa.
Semoga pengalaman ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua bahwa untuk jadi CPNS ternyata tidak gratis seperti yang digembor-gemborkan selama ini. Praktek pungutan masih ada.
Jer basuki mawa bea.
Terakhir, saya ingin mengutip nasehat kakek saya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu “Jika hanya ingin hidup biasa, jadilah pegawai/karyawan. Tetapi jika ingin kaya, jadilah pengusaha.”
.
.
Klaten_06032015
No sacrifice, no victory (Archibald Witwicky-Transformer)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H