Mohon tunggu...
Surya Narendra
Surya Narendra Mohon Tunggu... ASN -

Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hikayat Pejabat Melarat (Sebuah Resensi)

28 Oktober 2014   16:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:27 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414464242158171540

Bung Hatta sangat menginginkan sepatu merek Bally yang pada tahun 1950-an sangat populer. Sebagai seorang Proklamator, Perdana Menteri RIS, Wakil Presiden pertama RI, sebenarnya Hatta bisa saja memakai kedudukannya untuk mendapatkan sepatu itu dengan mudah. Namun Hatta justru menabung sedikit demi sedikit dari uangnya sendiri. Sampai akhirnya Hatta wafat, tabungan itu belum cukup untuk membeli sepatu idamannya.

Lain halnya dengan Hamka dan keluarganya. Saat itu mereka sedang berkumpul di rumah. Tiba-tiba terjadi hujan deras yang membuat atap rumah Hamka bocor di beberapa bagian. Istri Hamka segera mencari ember, baskom, panci, dan wadah lain untuk menampung tetesan air. Istrinya mengambil kertas, melipatnya menjadi sebuah kapal-kapalan, lalu mengajak anak-anaknya bermain di air yang tertampung di wadah. Hamka dan keluarganya tidak mengeluh dengan keadaan ini, tetapi justru memanfaatkannya untuk mempererat kebersamaan keluarga.

Jika Hatta pernah jadi wakil preside, maka H. Agus Salim pernah menjadi pemimpin redaksi di harian Hindia Baroe milik orang-orang Belanda. Saat itu pula ia juga duduk sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam. Akan tetapi H. Agus Salim tidak menggunakan media yang dipimpinnya sebagai corong Partai Sarekat Islam. Ia juga tidak pernah tunduk pada kemauan pemilik media. Meski bosnya orang Belanda, H. Agus Salim tak segan-segan mengkritik Pemerintah Kolonial Belanda lewat Hindia Baroe.

Kisah Jenderal Polisi Hoegeng dan istrinya juga unik. Mereka berdua sangat ingin pergi ke Hawai. Saat menjadi Kapolri, sebenarnya Hoegeng berkali-kali mendapat tugas dinas luar ke Hawai. Namun Hoegeng tidak pernah memanfaatkan perjalanan dinas itu untuk berlibur bersama istrinya. Hoegeng berkata, “Selama melakukan perjalanan dinas, istri dan anak-anak tidak boleh ikut menggunakan fasilitas kantor.”

Beberapa nukilan cerita itu adalah kisah nyata tentang kehidupan beberapa pejabat di Indonesia jaman dulu. Pejabat-pejabat yang di dalam hatinya hanya ada satu kata, yaitu pengabdian. Para pejabat yang memegang teguh prinsip non kompromis dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme sampai akhir hayatnya. Para pejabat negara yang gara-gara prinsip itu jadi melarat.

[caption id="attachment_369903" align="aligncenter" width="603" caption="Sumber : scan pribadi"][/caption]

Cerita tentang kesederhanaan, keteguhan prinsip, pengabdian seratus persen kepada bangsa dan negara, serta sikap tak kenal kompromi dengan penyelewengan ini bisa dibaca dalam buku berjudul Dari Hatta Sampai Hoegeng (Kisah Tokoh-Tokoh Paling Jujur dan Pantang Korupsi). Dalam buku yang ditulisnya ini, Dadi Purnama Eksan memberikan gambaran pada kita bahwa Indonesia pernah memilik pejabat negara yang ideal, yang mengabdikan nyaris seluruh hidupnya demi kemajuan bangsa dan negara.

Buku ini menjadi anomali di saat sekarang banyak ditemui pejabat-pejabat negeri yang begitu serakahnya memanfaatkan posisi yang dibebankan kepadanya untuk mengeruk kepentingan dan kesenangan pribadi.

Bayangkan saja Moh. Hatta, beliau adalah orang nomor dua setelah Bung Karno pada waktu itu. Beliau pernah menjadi Perdana Menteri saat Indonesia berbentuk RIS. Beliau adalah wakil presiden pertama Indonesia. Dengan jabatannya itu bisa saja beliau membeli rumah mewah, mobil terbaru yang paling mahal, atau menikmati fasilitas-fasilitas lux yang disediakan oleh negara. Namun Hatta tak melakukan semua itu. Bahkan untuk membeli mesin jahit saja, istrinya harus menabung dari uang hasil jerih payahnya sendiri.

Dalam buku setebal 167 halaman ini juga dikisahkan bagaimana seorang AR. Fachruddin sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, menolak jabatan Menteri Agama yang ditawarkan oleh Pak Harto. Sungguh sikap yang sangat jarang kita temukan saat ini.

Buku terbitan Octopus Publishing House ini terdiri dari 33 sub judul. Masing-masing sub judul diisi dengan kisah satu orang tokoh. Tak hanya pejabat-pejabat pada masa pasca kemerdekaan saja yang ditampilkan di buku ini, tetapi juga pejabat-pejabat yang hidup dan mengabdi pada masa Orde Baru dan Reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa masa kepemerintahan bukan menjadi alasan seseorang untuk bersikap idealis. Hoegeng dan Baharuddin Lopa yang mengabdi pada masa-masa “tirani” juga masih bisa bersikap non kompromis terhadap penyelewengan. Dan pada kenyataannya mereka tetap bisa survive.

Ditinjau dari segi isinya, buku ini sangat menarik dan bermanfaat. Kisah masing-masing tokoh diceritakan dengan singkat, padat, dan straight to the point, langsung pada inti keteladanannya. Pada beberapa bagian juga dibumbui dengan latar belakang sejarah pada waktu tokoh tersebut hidup untuk memperkuat faktor true story-nya.

Namun di dalam buku ini masih terdapat beberapa kesalahan penulisan, tanda baca, typo, dan kerancuan kalimat. Meskipun hal itu tidak mengurangi esensi bukunya, tetapi sedikit banyak mengurangi kenyamanan dalam membaca.

Pasca pengumuman Kabinet Kerja Presiden Jokowi, rasanya para menteri yang baru dan pejabat-pejabat yang lain harus membaca buku ini. Selain sebagai role model pejabat yang ideal, buku ini juga bisa digunakan sebagai media untuk menyadarkan diri kita masing-masing bahwa menjadi miskin dan sengsara gara-gara menghindari penyelewengan, korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak akan mengurangi secuilpun kebahagiaan yang kita miliki. Tokoh-tokoh yang ada di dalam buku ini justru meraih kebahagian dan kehormatan setinggi-tingginya karena kemelaratannya. Kemelaratan yang didapat sebagai akibat dari pengabdian penuh pada bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.

H. Agus Salim pernah berkata bahwa leiden is lijden, memimpin adalah menderita. Jadi ketika memutuskan berani untuk mengajukan diri sebagai pemimpin, maka harus siap dan berani menderita. Jika ada pemimpin yang bermewah-mewahan sementara justru rakyatnya menderita, maka secepatnya pemimpin itu harus dijungkalkan dari tahtanya.

.

Judul Buku : Dari Hatta Sampai Hoegeng (Kisah Tokoh-Tokoh Paling Jujur dan Pantang Korupsi)

Penulis : Dadi Purnama Eksan

Penerbit : Octopus Publishing House, Yogyakarta.

Tahun Terbit : 2014 (Cetakan Pertama).

Jumlah Halaman : xiv + 153 halaman.

.

.

Klaten_28102014

Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya. (Surat wasiat Bung Hatta tertanggal 10 Februari 1975)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun